Oleh Bungaran Gultom

Pipi saya basah dengan air mata saat empat kata keluar dari sosok yang saya kenal berkepribadian sangat keras—kerap bicara tanpa memikirkan perasaan orang lain, menyakiti hati dengan tindakannya, bahkan tidak segan memukul dengan alasan yang kadang tidak masuk akal. 

“Bapak minta maaf, Amang!” (sebutan untuk anak laki-laki Batak). 

Dugh! Kalimat itu rasanya jauh lebih menghujam jantung daripada kata-kata kasar yang pernah keluar dari mulutnya saat masa kanak-kanak sampai remaja dulu. Air mata kami berdua di siang yang terik itu betul-betul tak terbendung lagi, kami berpelukan dengan sangat kuat. 

Harus saya akui bahwa tidak pernah terbayang sedikit pun kalau beliau akan melontarkan kata-kata maaf yang sungguh keluar dari hatinya. Ayah saya adalah pria yang lahir dan tumbuh sebagai yatim piatu sejak kecil di wilayah Tarutung, lalu merantau ke Jakarta dan menjadi supir truk. Saya kira kata maaf sudah tidak ada lagi di perbendaharaan katanya. Namun, kekerasan hatinya melunak setelah saya datang dalam kesadaran bahwa kami perlu rekonsiliasi. Dorongan firman Tuhan dalam sebuah retret hamba Tuhan yang terus mendorong untuk melepaskan pengampunan kepada mereka yang begitu menyakiti hati seolah memperkuat langkah untuk mengetuk pintu rumah yang cukup lama saya tinggalkan. Roh Kudus menyatakan kuasanya. 

Sambil menangis, rasanya semua beban, kepahitan dan bahkan dendam luruh, berganti dengan perasaan hangat dalam hati, dan rasa cinta yang membesar pada sosok yang sejak saat itu dengan bangga saya panggil: bapak. Kini setiap kali saya berkunjung ke rumah mereka, selalu saya cium kepalanya dan memeluk tubuhnya yang menua dan ringkih. Percakapan dengannya tidak lagi direspons dengan nada tinggi, walaupun kadang sebagai orang tua emosinya naik turun. 

Pengalaman Hidup dan Titik Balik

Sebagai anak yang dilahirkan dari keluarga Batak, lelaki satu-satunya dari lima bersaudara yang kesemuanya perempuan dengan kehidupan ekonomi yang minim, bapak tidak ingin saya tumbuh sebagai pribadi yang lemah dan cengeng. Meski tidak pernah dia katakan—dari caranya memperlakukan anak lelaki satu-satunya ini—nampak betul dia ingin memberi pesan: hidup ini keras, jangan cengeng! Disiplin yang bapak berikan, jauh lebih lembut dari hukuman yang akan diberikan dunia jika kamu lemah. Begitulah yang paling tidak pada akhirnya saya tangkap setelah peristiwa rekonsiliasi terjadi. Tidak terbesit sedikitpun maksud jahat dari setiap pukulan, dan sabetan ikat pinggang yang mendera tubuh kurus ini pada waktu remaja. 

Tidak banyak yang sebetulnya diharapkan dari seorang remaja yang sedang tumbuh pada masa itu. Kalimat dukungan yang memberikan semangat sedikit saja sudah pasti begitu berarti.  Namun, masa itu dilewati tanpa pernah ada kalimat yang mampu membangkitkan rasa percaya diri yang cukup. Kalimat yang biasanya meluncur apalagi saat bercermin adalah: sudah hitam, kurus, keriting, miskin, hidup lagi! Tentu saja, itu adalah kalimat yang keluar dari anak kemarin sore yang belum mengenal identitasnya dalam Kristus.

Namun, akibat yang paling fatal sebetulnya adalah: tumbuhnya kepahitan, kebencian dan dendam pada sosok bapak saya saat itu, dan itu terpendam selama bertahun-tahun. Kenakalan yang dilakukan di luar rumah adalah ekspresi dari pemberontakan yang mengalir secara natural dari mental yang terluka. Seperti sebuah siklus: kekerasan fisik melahirkan kebencian dan dendam dan berakhir dengan pemberontakan. Sampai akhirnya intervensi Tuhan mampu memutus rantai kebencian yang tak terungkap selama bertahun-tahun. 

Setelah memantapkan diri untuk melayani Tuhan sepenuh waktu selepas lulus SMA, saya diterima di sebuah sekolah teologi berasrama. Motivasi untuk dibentuk menjadi hamba Tuhan penuh waktu sejatinya berkelindan dengan keinginan untuk melepaskan diri dari tirani bapak di rumah. Setelah lulus dan melayani selama beberapa tahun di gereja, saya sadar bahwa kepahitan dan dendam masih bercokol dalam hati dan memengaruhi hidup dan pelayanan yang dilakukan. Roh Kudus mengingatkan agar semestinya kebencian ini dilepaskan dan diganti dengan pengampunan. Dan, peristiwa yang kemudian menjadi titik balik menuju rekonsiliasi ilahi antara saya dan bapak terjadi saat kebenaran firman Tuhan pada sebuah acara retret untuk hamba Tuhan disampaikan. Pembicara pada waktu itu mengingatkan akan kuasa pengampunan yang kita alami dalam Kristus. Kebenaran firman Tuhan mengetuk pintu ruang paling kotor dalam hati, yang selama bertahun-tahun tertutup dan tersembunyi begitu rapi dengan cara menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pelayanan.

Makna Pengampunan dalam Kristus

Salah satu ciri khusus teologi Kristen yang tidak terlalu mendapat perhatian dalam keyakinan lain adalah pengampunan. Dalam gereja Kristen, kita terus diingatkan serta didorong untuk mengampuni bukan hanya karena hal tersebut dianggap ekspresi moral tertinggi, tetapi pengampunan semacam itu mengikuti teladan hidup Tuhan Yesus Kristus yang menjadi standar utama moral umat Allah. Dengan kata lain, jika kita tidak bersedia mengampuni, maka pada dasarnya kita sedang memilih untuk menetapkan standar moral kita lebih tinggi dari standar moral Allah. Keyakinan dasar dalam pengampunan Kristus adalah bahwa Yesus Kristus, sebagai Anak Allah, datang ke dunia sebagai penebus dosa manusia. Melalui kematian-Nya di salib, Yesus Kristus menggantikan hukuman yang seharusnya ditanggung manusia karena dosa-dosa mereka. Kebangkitan-Nya dari kematian menegaskan kemenangan-Nya atas dosa dan kematian, serta memberikan harapan akan kehidupan yang kekal bagi mereka yang percaya kepada-Nya.

Penerimaan pengampunan Kristus memerlukan pertobatan, yaitu pengakuan dan penyesalan akan dosa-dosa yang dilakukan, serta iman kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi yang mampu memberikan pengampunan dan keselamatan. Dengan menerima pengampunan Kristus dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, umat Kristen percaya bahwa mereka dapat hidup dalam kehadiran Allah dan memiliki jaminan hidup kekal bersama-Nya (1 Yohanes 5:11). Pengampunan Kristus juga menunjukkan kasih karunia Allah yang tak terbatas kepada manusia. Ini adalah bukti dari kebaikan dan kemurahan hati-Nya, yang menawarkan kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengampunan dan hidup yang baru dalam Kristus (Titus 3:4-5). Oleh karena itu, pengampunan Kristus merupakan inti Injil Yesus Kristus dan menjadi dasar bagi iman dan pengharapan umat Kristen di seluruh dunia.

Menerima dan Melepaskan Pengampunan  

Kalimat paling agung yang pernah terucap dari Putra Allah, pribadi kedua Allah Tritunggal adalah: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Kalimat ini diucapkan untuk mereka yang mengkhianati dan menyalibkan-Nya. Dalam keadaan yang paling mengerikan yang pernah dialami seorang manusia, pernyataan ini merupakan salah satu refleksi paling jelas dari keilahian Yesus, Sang Anak Manusia.  

Meski demikian pengampunan yang dianugerahkan Kristus memang tidak mudah dipahami apalagi diterima. Banyak orang yang tidak dapat membayangkan bagaimana Allah yang sempurna mengampuni manusia yang berdosa. Apalagi cara yang ditempuh Allah sulit dipahami oleh akal pikiran manusia pada umumnya, dengan cara disalib—bentuk hukuman yang paling mengerikan pada zamannya. Namun, mati disalib merupakan satu-satunya cara yang ditempuh Sang Putra Allah, supaya hidup mereka yang menerima pengampunan dari Kristus mengalami transformasi yang memungkinkan mereka hidup dalam kebenaran (1 Petrus 2:24). Dan, sama seperti Kristus mengambil jalan salib untuk mengampuni kita manusia berdosa, maka satu-satunya cara untuk memperoleh pengampunan Kristus adalah dengan menerima Dia. Pengampunan tidak bersifat transaksional, sebaliknya relasional, karena karya pengampunan Kristus kepada umat-Nya membaharui relasi yang rusak yang diakibatkan dosa. Dengan paradigma yang sama, orang percaya membaharui relasi mereka dengan sesama dengan melepaskan pengampunan. 

Tidak mudah untuk melepaskan pengampunan kepada mereka yang telah menyakiti kita. Tetapi, mengingat bahwa kematian Kristus membawa pendamaian dan perdamaian bagi kehidupan kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk membiarkan ketiadaan pengampunan menggerogoti kemanusiaan kita yang telah dibaharui hari lepas hari oleh kuasa darah Kristus.

Sudahkah Anda mengampuni seseorang yang menyakiti Anda hari ini?


Saksikan Juga:

Mengampuni Memang Tidak Mudah

Mengampuni orang lain memang tidak mudah. Terkadang, kita merasa seperti mengalah atau pasrah menerima ketidakadilan, atau mungkin kita hanya ingin terus memendam rasa sakit hati. Meski sulit untuk memahami konsep pengampunan, kita dapat menerima dari Tuhan Yesus sudut pandang baru yang mengubah segalanya.

Ditulis oleh Jake Norris dan disajikan oleh Daniel Ryan Day.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.