Panggilan merawat orang lain merupakan sebuah panggilan pengorbanan. Kita diharapkan untuk sepenuhnya mengedepankan orang lain dan mengabaikan kepentingan diri sendiri, rela mendedikasikan hidup untuk merawat pasangan atau orang sakit, orang tua berusia lanjut, atau anak berkebutuhan khusus. Kita dipanggil untuk memberi, memberi, dan memberi. Jika ada orang yang berkata bahwa pada akhirnya kita akan mendapatkan keuntungan dari pengalaman itu, kita mungkin akan menepisnya. “Mana ada keuntungan yang didapat dari merawat orang lain?” begitu mungkin keluhan kita.

Namun, pikirkan kemungkinan ini: merawat orang lain merupakan perjumpaan ilahi dengan Allah.

Bagaimana bisa? Pikirkanlah dua hal ini. Pertama, saat kita terus beradaptasi dengan peran kita merawat orang lain, kita didesak untuk mengevaluasi nilai-nilai dan perasaan kita, serta apa saja yang perlu diprioritaskan, dengan berusaha menyeimbangkan kebutuhan pribadi kita dengan kebutuhan orang-orang yang kita rawat. Dalam prosesnya, kita akan mengenal lebih dalam diri kita, hubungan kita dengan Allah, dan Allah sendiri.

Beban yang kita pikul dari merawat orang lain dapat membuat kita menanggalkan hal-hal yang tidak penting, sehingga kita bisa melihat motivasi, keinginan, agenda, dan prioritas kita yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, pengalaman itu dapat menunjukkan kepada kita bagaimana sesungguhnya hidup menyerupai Kristus—mengesampingkan kepentingan diri dan sepenuh hati mencurahkan seluruh hidup untuk orang lain, sama seperti yang Dia lakukan.

Kedua, ketika kita menghadapi perasaan frustrasi, kesal, marah, dan tidak berdaya yang bertumpuk-tumpuk dan membuat kita kewalahan, kita akan belajar berpaling kepada Allah agar memperoleh kekuatan untuk terus berjalan. Tentu saja, ada saat-saat ketika kita merasa beban kita terlalu berat hingga berseru kepada Allah saja terasa sulit. Ada pula saat-saat ketika kita merasa ingin menyerah saja dan meninggalkan semuanya.

Namun, justru di saat-saat seperti itulah, ketika kita berada di titik terlemah, kita berjumpa secara intim dan pribadi dengan Allah. Rasul Paulus mengalami sendiri kebenaran itu, dengan berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Dalam bagian lain dari Alkitab, Tuhan menggambarkan bagaimana sang gembala dengan penuh sukacita membopong dombanya yang hilang dan kembali ke rumah (Lukas 15:3-6). Betapa menenangkannya gambaran itu!

Bayangkan diri Anda dibopong oleh Allah, Gembala yang penuh kasih itu, saat Anda berada di titik terlemah, dan dibawa pulang dalam dekapan kasih-Nya.

Tidak heran, Nabi Yesaya dapat menulis tentang menemukan kekuatan di dalam Allah:
Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru:
Mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya;
mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.
(Yesaya 40:31)

Merawat sesama adalah perjumpaan ilahi dengan Allah.

Berdoalah:
Ya Tuhan, Kau berjanji bahwa kasih karunia-Mu cukup bagiku, karena justru dalam kelemahankulah, kuasa-Mu menjadi sempurna. Beri aku keyakinan untuk terus menemukan kekuatan di dalam-Mu, karena aku tahu Kau sanggup menggendongku di saat-saat terlemahku. Perbaruilah pandanganku agar aku melihat peranku sekarang sebagai perawat sesamaku ini sebagai perjumpaan ilahi dengan-Mu. Berilah aku pengertian baru tentang anugerah-Mu.

Diterjemahkan dari He Walks with Me: Devotions for Your Caregiving Journey with God © 2018 Our Daily Bread Ministries