Oleh Dwiyanto Fadjaray

“Anak siapa dulu, dong!” 

Begitulah ungkapan bangga kami sebagai orangtua ketika melihat tingkah anak-anak kami yang sedang lucu-lucunya. Ya, di saat si kakak dan adik sedang rukun, saling menolong, penuh perhatian, tidak rebutan mainan atau alat tulis . . . ketika mereka sedang baik-baiknya, kami berdua saling berpandangan sambil tersenyum, seakan hendak mengambil kredit dari manisnya sikap anak-anak kami. Ketika segala sesuatu sedang indah dan baik, mereka adalah “anak saya”, atau setidaknya, “anak kami”.

Namun, tunggu dulu . . . dalam sekejap saja, anak-anak yang tadinya rukun bermain bersama bisa tahu-tahu berselisih bahkan sampai main tangan dan saling menyakiti. Ketika itu terjadi, respons salah satu dari kami orangtua (biasanya saya) berkata, “Tolong dong, bilangin tuh anak kamu . . . ” atau “Aduh, anak siapa sih?” (dengan nada kesal sambil melirik tajam ke pasangan). Mudah sekali bagi kami untuk mengubah sikap, dari merasa memiliki ketika semua baik-baik saja sampai ingin lepas tanggung jawab ketika keadaan memburuk dan di luar kendali.

Syukurlah, Allah Pencipta kita senang melihat kita hidup rukun, tetapi tidak lepas tangan ketika kita tidak bertingkah laku seperti yang dikehendaki-Nya! Ada hubungan istimewa antara kita dan Sang Pencipta. 

Allah sendiri yang menghendaki hadirnya manusia di dalam dunia ciptaan-Nya, dan seluruh Alkitab bercerita tentang betapa berharganya manusia di mata Allah, sehingga ketika sesat pun, mereka dicari dan diselamatkan-Nya.

Siapakah kita, manusia, di mata Allah? Alkitab berkata bahwa kita adalah “keturunan Allah” dan “buatan Allah” (Kisah Para Rasul 17:29; Efesus 2:10). Manusia adalah puncak karya cipta Allah, diciptakan pada hari terakhir dari proses penciptaan alam semesta. Berbeda dari segala makhluk hidup lainnya, manusia dibentuk “dari debu tanah” dan “nafas hidup” dihembuskan ke dalam hidungnya oleh Allah sendiri (Kejadian 2:7). Karena itu, citra diri manusia tidak mungkin dilepaskan dari Sang Pencipta yang telah menjadikan mereka “menurut gambar-Nya” sesuai keputusan Allah (Kejadian 1:26-27). Allah sendiri yang menghendaki hadirnya manusia di dalam dunia ciptaan-Nya, dan seluruh Alkitab bercerita tentang betapa berharganya manusia di mata Allah, sehingga ketika sesat pun, mereka dicari dan diselamatkan-Nya.

— 0 —

Apa implikasi dari kenyataan bahwa manusia diciptakan Allah? Yang pertama-tama harus disadari, jelas bahwa Sang Pencipta itu berbeda dari ciptaan. Yang mencipta jauh lebih unggul daripada yang diciptakan. Keduanya tidak sama secara substansi. Meski demikian, Allah memilih untuk menempatkan gambar dan rupa diri-Nya pada manusia. 1 Korintus 11:7 menyatakan bahwa manusia “menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah”. Karena manusia adalah gambar dan rupa Allah, kita patut menghargai, menjunjung, dan meneguhkan keberadaan manusia. Bahkan ketika keberadaannya telah dinodai oleh dosa, manusia tetap menyandang citra Allah pada dirinya sehingga tidak ada satu pun manusia yang seharusnya dilecehkan oleh sesamanya.

Yang kedua, Allah Pencipta berkuasa atas ciptaannya. Karena itu, manusia patut tunduk selamanya kepada Allah yang memegang seluruh keberadaannya. Menurut Alkitab, manusia diberi mandat oleh Allah untuk mengolah alam semesta dan memeliharanya sesuai kehendak dan maksud Allah. Dengan kata lain, manusia bukanlah pemilik dari dunia ini melainkan penatalayan (steward) dari apa yang telah dipercayakan kepadanya oleh Allah. Manusia bertanggung jawab kepada Allah atas dunia dan segala isinya, termasuk dalam caranya memperlakukan sesama.

Yang ketiga, Allah telah menyatakan di sepanjang proses penciptaan bahwa segala yang dijadikan-Nya itu “baik” (Kejadian 1:4,10,12,18,21,25,31). Bahkan, ketika disebutkan ada yang “tidak baik” dalam hal kesendirian Adam, Allah memperbaiki keadaan itu dengan menghadirkan lawan jenisnya, sesama manusia yang dapat menolong Adam (Kejadian 2:18, dst). Di kemudian waktu, dalam rencana Allah yang berdaulat, manusia secara khusus ditebus Allah dari kejatuhannya di dalam dosa, dan dunia ini akan diperbarui kepada keadaannya yang semula. Namun, di sisi lain, kita perlu menyadari bahwa dunia dan kita sendiri tidak sempurna. Dosa, kejahatan, dan kematian telah merusak dan menyimpangkan rancangan Allah yang baik.

Yang keempat, sebagai makhluk ciptaan Allah yang segambar dan serupa dengan-Nya, manusia dikaruniai sifat yang juga dimiliki oleh Allah, meskipun tentu dalam kadar yang tidak sama. Seperti sebuah lukisan merupakan ekspresi dari pikiran sang pelukis atau anak-anak memperlihatkan kemiripan sifat orangtuanya, demikian pula manusia mempunyai di dalam dirinya sesuatu yang menggambarkan atau mewakili sifat Allah. Salah satu aspek dari keserupaan ini adalah kesanggupan khusus yang diberikan kepada manusia untuk berhubungan secara pribadi dengan Allah. Allah berkenan menyatakan kehendak dan maksud-Nya kepada manusia, dan manusia dapat bersyukur, menyembah, dan menikmati Allah. 

— 0 —

Melalui kehidupan ini, kita diberikan tanggung jawab untuk mewakili Allah, Raja semesta, sebagai duta dan pelayan-Nya bagi dunia dan sesama. Lewat kasih kekal yang kita terima dari Allah, kita pun mengasihi sesama supaya orang lain boleh mengenal Allah yang kita sembah.

Jadi, bagaimana gambaran yang diberikan Alkitab tentang hubungan Allah dengan kita? Kita percaya bahwa harga diri dan harkat manusia ditetapkan oleh Allah yang menciptakan mereka. Istilah yang sering digunakan adalah “kesakralan hidup” (sanctity of life), dan kita percaya itu tidak berasal dari diri manusia itu sendiri melainkan dari Allah yang menetapkan nilai sakral tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam permulaan kitab Kejadian. Kita pun adalah makhluk yang mempunyai rasio dan kehendak yang kompleks. Kepada manusia juga diberikan moral, sehingga ia dapat mengetahui mana yang baik dan yang tidak. Melalui kehidupan ini, kita diberikan tanggung jawab untuk mewakili Allah, Raja semesta, sebagai duta dan pelayan-Nya bagi dunia dan sesama. Lewat kasih kekal yang kita terima dari Allah, kita pun mengasihi sesama supaya orang lain boleh mengenal Allah yang kita sembah. Ternyata, segala sesuatu yang kita hidupi mempunyai kaitan erat dengan keberadaan kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang mulia.

Menarik, cara C. S. Lewis dalam bukunya, The Weight of Glory, menggugah pikiran kita tentang cara kita memandang sesama. Lewis menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang biasa. Orang yang kita ajak bicara bukanlah makhluk fana yang biasa-biasa saja. Setiap pribadi yang kita ajak bergurau, yang bekerja bersama kita, yang kita nikahi, bahkan yang kita tolak atau kita manfaatkan adalah makhluk-makhluk yang abadi. Dalam pandangan iman Kristen, sekalipun citra Allah dalam diri manusia telah dirusak oleh dosa, tetapi citra itu tidak dienyahkan atau dihancurkan sama sekali. Manusia berdosa masih bisa berpikir, menggunakan rasio, mempunyai kehendak untuk kebaikan, dan memiliki perasaan bagi sesamanya. Citra—gambar dan rupa—Allah itu tetap ada.

Lebih dari sekadar ciptaan Allah, orang yang sudah percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya menjadi ciptaan baru yang terus menerus diperbarui hingga semakin serupa dengan Sang Tuan. Hanya dengan mempercayai Kristus dan menyerahkan diri untuk dibentuk ulang oleh-Nya, manusia dapat kembali kepada gambar dan rupa Allah yang sejati. Manusia memang masih menyandang citra Allah di dalam keadaannya yang berdosa, tetapi kepadanya telah diperdengarkan karunia Allah yang sanggup merangkul dan mengubahnya, supaya ia tidak lagi sama dan tetap berada dalam keadaan tersebut, melainkan diubahkan menjadi “manusia baru, yang sedang diperbarui terus-menerus oleh Penciptanya, yaitu Allah, menurut rupa-Nya sendiri” (Kolose 3:10 BIMK).

Saya dan istri mungkin melihat anak-anak kami sebagai “citra” diri kami (melalui wawasan, didikan, bimbingan, ajaran, dan keyakinan iman yang kami teruskan kepada mereka), tetapi Allah sungguh berkenan menaruh citra-Nya sendiri dalam diri kita. Sungguh suatu kehormatan dan anugerah yang teramat besar! Biarlah kita menjadi anak-anak Allah yang bangga sekaligus rendah hati menyandang citra Bapa kita, supaya dunia menyadari kehadiran-Nya dan mengenal Dia melalui hidup kita.


Baca Juga:

Ketika Hubungan Lepas Kendali

Mungkin Anda tidak asing dengan istilah kodependensi, yaitu ketergantungan yang berlebihan pada orang lain. Orang kodependen terlalu membutuhkan orang lain dan lebih percaya pada kekuatan sendiri daripada kepada Allah.
 
Buku digital menarik berjudul “Ketika Hubungan Lepas Kendali” ini khusus bagi Anda. Ditulis oleh seorang konselor bernama Jeff Olson, buku ini menawarkan cara-cara, bagaimana Anda dapat terbebas dari tekanan dan kecemasan akibat kodependensi.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.