Suku Batak yang merupakan salah satu suku asli terbesar di Sumatra, sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok etnis yang erat hubungannya. Termasuk di dalamnya adalah kelompok Batak Toba, Simalungun, Karo, Dairi, Angkola, dan Mandailing. Secara tradisi, mereka beribadah kepada para leluhur dan mempercayai roh-roh gaib. Mereka menunjukkan penghormatan terhadap banyak ilah dan roh yang diyakini hidup dalam tumbuhan, pepohonan, dan alam semesta. Mereka juga membawa persembahan kepada roh nenek moyang. Kehidupan mereka tidak terpisahkan dari berbagai ritual, ilmu sihir, dan mantra-mantra gaib—juga dari kanibalisme, yang membuat mereka dikenal sebagai suku yang patut ditakuti. Musuh yang mereka kalahkan biasanya akan dipersembahkan dalam ritual ibadah mereka, lalu dimakan.

Orang Batak di sekitar Toba selalu berperang tanpa henti. Terbagi atas suku-suku yang tinggal di perkampungan-perkampungan kecil, mereka selalu saja bertengkar. Pertengkaran itu berakar dari kuatnya identitas kesukuan dan kekerabatan yang dimiliki semua orang Batak. Hal ini juga membuat mereka sulit mempercayai kaum pendatang, terutama para misionaris. Selain menganggap misionaris sebagai bagian dari kaum penjajah Belanda, mereka juga menganggapnya sebagai ancaman terhadap budaya dan tradisi Batak. Sebagai contoh, ketika Ludwig mendirikan sebuah sekolah, penduduk tidak langsung mau menyekolahkan anak-anak mereka ke sana. Saat Ludwig menjelaskan bahwa ia ada di sana untuk menunjukkan bagaimana agar menjadi bijak dan bahagia, para penduduk itu menjawab bahwa mereka sudah cukup bijak dan bahagia.

Baru saja ia menetap di Silindung beberapa hari, Ludwig sudah mulai menghadapi perlawanan yang kuat dari orang-orang yang ingin dijangkaunya. Secara terus-menerus mereka berusaha menekan dan memojokkannya. Dengan caranya yang khas, Ludwig menghadapi semua itu dengan ketenangan yang besar. Tuhan tidak hanya memberinya kekuatan, kesabaran, dan hikmat untuk menghadapi tantangan demi tantangan, tetapi juga melindunginya secara ajaib.

Ketika Ludwig membangun tempat penampungan bagi orang-orang yang dikucilkan keluarga karena pertobatan mereka, penduduk kampung datang untuk mengganggu pembangunan itu, merusaknya, dan minta tebusan jika ia hendak mengambil kembali peralatan dan bahan-bahan yang mereka rampas dari para pekerja. Tidak kehilangan kendali diri, Ludwig menemui para kepala suku dan mengatakan bahwa ia akan “mencatat” nama-nama mereka dalam sebuah buku, sesuatu yang sangat ditakuti oleh orang-orang Batak. Menurut takhayul yang mereka yakini, tindakan itu akan membuat hidup mereka dikuasai oleh orang kulit putih tersebut.

Berulang kali mereka mencoba membunuh Ludwig. Seorang penduduk setempat, selama beberapa malam, pernah melonggarkan tali-temali yang mengikat pondok kayu sederhana tempat tinggal sang misionaris agar bangunan itu runtuh menimpanya. Namun, suatu malam, terjadi gempa bumi yang menyebabkan Ludwig lari keluar—tepat sebelum pondok itu runtuh. Dua kali ia diracuni, tetapi ia baik-baik saja. Para pelakunya ketakutan, berpikir bahwa Ludwig adalah seorang penyihir yang hebat. Belakangan, mereka mengakui kejahatan mereka kepada Ludwig, yang siap sedia mengampuni mereka. Kedua pelaku itu kemudian menjadi orang Kristen.

Di waktu lainnya, Ludwig harus menghadiri suatu pesta adat penting yang melibatkan orang Batak dari berbagai suku dan perkampungan. Dengan bijak, ia menulis kepada sejumlah kepala suku dan mendorong mereka untuk menjaga suasana damai dalam acara itu. Namun, saat pesta adat berlangsung, orang yang dianggap sebagai perantara roh leluhur mengumumkan bahwa roh itu meminta persembahan manusia; dan permintaan itu jelas terarah kepada Ludwig.

Dengan segera sang misionaris berdiri dan mengatakan bahwa permintaan itu pasti datang dari Iblis, karena tidak mungkin nenek moyang manusia minta persembahan nyawa manusia, sama seperti halnya seorang kakek tidak akan menginginkan kematian cucunya. Kata-katanya yang meyakinkan menenangkan orang banyak. Namun, masalah belum selesai. Keesokan harinya, ada yang kembali menghasut orang banyak dan memicu perkelahian hingga salah satu orang terluka. Situasi makin memburuk ketika tiba-tiba badai melanda daerah itu. Petir dan halilintar tidak hanya membubarkan perkelahian yang terjadi, tetapi juga meyakinkan orang-orang Batak bahwa Tuhan yang diberitakan sang misionaris benar-benar berkuasa.

Dalam surat-surat kepada para sahabatnya, Ludwig menjelaskan bahwa ia tidak melihat alasan untuk merasa takut atas ancaman terhadap nyawanya. Ia percaya bahwa Tuhan pasti tidak akan tinggal diam karena Tuhan sendiri yang telah menyembuhkan kakinya dan membawanya menempuh jarak sedemikian jauh untuk memberitakan Injil kepada orang Batak. “Tuhan sendirilah yang memberiku keberanian dan kekuatan baru senantiasa, sehingga aku belum sampai kehilangan semangat untuk melayani,” katanya.

Ludwig pun terus membagikan kabar baik tentang Yesus. Ia berdiskusi panjang lebar tentang Tuhan bersama para penduduk kampung serta mulai menerjemahkan Alkitab dan bahan-bahan pengajaran yang mendukung ke dalam bahasa Batak. Karena ia tahu penduduk di sana suka mendengarkan cerita, ia pun mengajarkan Alkitab melalui cerita-cerita yang bisa mereka pahami. Misalnya, ia menggambarkan penebusan Kristus sebagai peperangan antara kebaikan Tuhan dan pekerjaan Iblis. Cerita itu langsung dipahami oleh para pendengarnya yang terbiasa berperang. Ia juga mendorong orang-orang yang sudah bertobat untuk menceritakan kembali Injil yang mereka dengar kepada keluarga dan teman-teman mereka.

Pada saat yang sama, Ludwig juga berusaha keras meningkatkan kualitas hidup orang Batak. Ia berusaha meyakinkan para orangtua untuk mengizinkan anak-anak mereka datang ke sekolah kecil yang didirikannya untuk belajar sejumlah keterampilan praktis, seperti matematika dan prinsip-prinsip dasar untuk hidup yang bersih dan sehat. Ia juga menerapkan sedikit pengetahuan yang dimilikinya tentang pengobatan Barat kepada mereka yang jatuh sakit, memperkenalkan vaksinasi untuk pencegahan cacar, dan melakukan mediasi bagi kepala-kepala suku yang bertikai.

Yang membuat pelayanannya sangat efektif adalah tekadnya untuk hidup sama seperti orang Batak, kepekaannya terhadap berbagai tradisi mereka, serta keyakinannya bahwa selama tidak bertentangan dengan ajaran Kristen, orang tetap dapat hidup sesuai dengan norma sosial dan budaya mereka. Ia berhati-hati untuk tidak memaksakan budaya Eropa kepada gereja lokal, tidak berkhotbah dalam pesta adat mereka, dan mendorong mereka mempertahankan budaya tradisional, kecuali jika itu berkaitan dengan sihir dan perdukunan.

Ludwig sangat menghargai adat orang Batak, yang didasarkan pada tingkatan sosial dan marga sebagaimana tampak dalam berbagai kebiasaan, ritual, dan perilaku sehari-hari mereka. Baik ketika ia sedang memberitakan Injil kepada komunitas baru maupun ketika ia sudah mulai mempersiapkan pembangunan gereja, ia akan mengikuti cara orang Batak dalam berhubungan dan berorganisasi. Salah satunya adalah dengan memberikan pengakuan dan penghormatan khusus kepada para kepala suku, yang kedudukannya paling dijunjung tinggi oleh semua orang Batak. Keputusan beberapa kepala suku setempat untuk menjadi orang Kristen memberi dampak yang sangat besar dalam pelayanan Ludwig, karena para pemimpin itu akan meyakinkan seisi kampungnya untuk mengikuti kepercayaan mereka.