Oleh Dhimas Anugrah
Pernahkah kita merasa senang saat melihat orang lain menerima hukuman, gagal, atau menderita? Saat orang lain jatuh karena kesombongannya, saat pesaing di tempat kerja gagal mendapat promosi, atau saat seorang tokoh publik yang kita anggap menjengkelkan tertangkap basah melakukan kesalahan fatal. Perasaan senang itu datang tanpa diundang, tiba-tiba muncul, dan terasa alamiah, bukan? Bahasa Jerman punya satu istilah yang dengan spesifik menggambarkan perasaan ini, schadenfreude. “Schaden” artinya penderitaan, “freude” artinya kegembiraan. Sederhananya: kegembiraan atas penderitaan orang lain.
Schadenfreude adalah pengalaman emosional yang sering kita rasakan diam-diam. Ini perasaan yang membingungkan—di satu sisi terasa seperti keadilan ditegakkan, di sisi lain seperti dendam yang diam-diam kita rayakan. Namun, mengapa kita bisa senang di atas penderitaan sesama? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam hati saat kita bersukacita atas kejatuhan orang lain? Apakah ini pertanda ada yang retak dalam hati kita—bahwa sukacita tak selalu lahir dari kebaikan, melainkan dari kejatuhan orang lain?
Kesenangan yang Cacat Moral
Pertama-tama, mari masuk ke lorong batin manusia: Mengapa kita bisa merasa puas saat orang lain jatuh?
Rasa itu muncul bukan karena kita haus penderitaan, melainkan karena ada sesuatu dalam diri kita yang terasa “seimbang kembali” ketika mereka yang lebih berhasil, lebih populer, atau lebih beruntung mengalami kegagalan.
Psikolog Paul Rozin (2003) menyebut fenomena benign masochism—kenikmatan dari pengalaman negatif yang tidak membahayakan secara nyata. Kita menonton film horor, menyantap makanan pedas, atau naik wahana ekstrem, bukan karena suka disakiti, tapi karena sensasi itu memberi adrenalin dalam ruang yang aman. Schadenfreude bekerja serupa. Kita menonton kejatuhan orang lain dari kejauhan, tidak terlibat, tapi merasakan semacam kepuasan karena itu bukan kita yang gagal. Kita lega, bukan karena mereka menderita, tapi karena dunia yang terasa tidak adil… tiba-tiba tampak lebih adil.
Penelitian dari Wilco van Dijk dan Jaap Ouwerkerk menunjukkan dua pemicu utama schadenfreude: rasa iri dan keyakinan bahwa penderitaan itu pantas. Ketika orang yang kita anggap “lebih tinggi” jatuh, kita merasa seperti dunia sedang menegakkan keadilan. Ini selaras dengan just-world hypothesis, yaitu kepercayaan bahwa setiap nasib buruk pasti ada sebabnya. Maka, kegagalan orang lain bukan hanya disambut dengan senyap, tapi sering kali dirayakan diam-diam dalam hati—sebagai kemenangan kecil atas ketimpangan yang tidak pernah bisa kita lawan secara langsung.
Namun, sering kali yang kita rayakan bukanlah keadilan, melainkan ego yang rapuh. Ketika keberhasilan orang lain melukai harga diri kita, kegagalan mereka menjadi penghiburan yang ironis. Ini dikenal sebagai downward social comparison: kita merasa lebih baik bukan karena bertumbuh, tetapi karena orang lain merosot. Dalam banyak kasus, rasa puas itu muncul bukan dari kebencian, tapi dari ketakutan. Kita ingin diyakinkan bahwa kita masih “baik-baik saja”, bahwa kegagalan bisa menimpa siapa pun—bahkan mereka yang selama ini membuat kita iri.
Lebih dari sekadar sadisme halus, schadenfreude adalah mekanisme pertahanan diri. Ia menyamar sebagai keadilan, padahal sering kali hanya menutupi luka dalam diri kita sendiri. Maka, di balik senyum puas saat melihat orang lain jatuh, tersembunyi pergumulan yang lebih dalam: rasa tidak aman, luka harga diri, dan ketakutan untuk kalah.
Kegembiraan yang Menyimpang
Amsal 24:17-18 berkata, “Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, dan jangan hatimu beria-ria kalau ia tergelincir, supaya TUHAN tidak melihatnya dan menganggapnya jahat, lalu memalingkan murka-Nya dari orang itu.” Ayat ini bukan sekadar teguran supaya kita jadi orang baik. Ini adalah ajakan untuk melihat dunia dengan cara Tuhan melihatnya—bahkan saat kita berhadapan dengan mereka yang menyakiti kita. Inilah undangan untuk mengenal cinta yang lebih dalam—kasih yang menolak berpesta di atas luka orang lain.
Dalam tradisi Yudaisme, ayat ini punya bobot etis yang besar. Para rabi menafsirkan bahwa saat kita bersukacita karena kejatuhan musuh, kita bukan hanya sedang merusak diri sendiri, tapi juga merusak hubungan kudus antara manusia dan Tuhan. Pesan ini sejajar dengan Amsal 24, meskipun kegagalan orang fasik tampak seperti kemenangan bagi kita, itu bukanlah alasan untuk berpesta di hadapan Tuhan.
Dalam terang iman Kristiani, kita percaya bahwa pembalasan adalah hak Allah. Roma 12:19 mengingatkan, “Janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah.” Bahkan iri hati atas keberhasilan orang lain pun ditegur dalam Galatia 5:26 (“janganlah kita . . . saling mendengki”). Tuhan tahu bahwa hati manusia mudah tertarik untuk bersaing, membandingkan, dan menilai.
Schadenfreude menjadi masalah karena kita dibuat merasa seperti hakim, posisi yang seharusnya dipegang Allah. Penderitaan orang lain seolah meneguhkan bukti kalau kita benar. Tapi, bukan ini yang Tuhan mau. Bagi Allah, pertobatan selalu lebih utama daripada penghukuman. Kita ingat bagaimana Tuhan menyuruh Yunus ke Niniwe, bukan untuk menghancurkan, tapi supaya mereka bertobat dan diselamatkan.
Saat kita merayakan kejatuhan musuh, sebenarnya kita sedang menyimpangkan makna keadilan jadi pembenaran bagi ego kita sendiri. Kita menukar belas kasih dengan rasa puas, dan penderitaan orang lain jadi panggung bagi rasa unggul kita sendiri. Padahal, keadilan Allah tidak pernah tentang merendahkan orang lain—melainkan memulihkan yang hancur.
Sebaliknya, kasih karunia mengundang kita untuk melihat sesama dengan cara yang berbeda. Kita diingatkan bahwa semua orang telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23), dan karena itu, tidak ada ruang untuk membanggakan diri atas kejatuhan orang lain. Hati yang dibentuk oleh kasih Kristus tidak lagi mencari pembenaran diri, tapi belajar berbelas kasih—seperti Allah yang lebih dulu mengasihi dan memulihkan kita.
Schadenfreude Timbul dari Hati yang Belum Dipulihkan
Ketika hati kita bersukacita karena orang lain tergelincir, itu bukan pertanda kemenangan rohani, melainkan luka yang belum sembuh. Sukacita sejati tidak mungkin muncul dari reruntuhan hidup orang lain. Sukacita yang lahir dari kegagalan orang lain bukanlah buah Roh, melainkan sisa pahit dari hati yang belum mengalami pemulihan sejati.
Hati yang dipulihkan adalah hati yang tidak merasa terancam oleh keberhasilan orang lain, dan tidak merasa dibenarkan oleh kegagalan mereka. Ia tahu bahwa kasih karunia Allah tidak bekerja dalam sistem nilai kompetitif, melainkan dalam relasi yang memulihkan. Hati yang dipulihkan bisa berduka bersama orang yang jatuh, meski dulu ia adalah lawan (Roma 12:15). Ia bisa mendoakan musuh, bukan karena sudah lupa luka lama, tapi karena tahu bahwa pemulihan tidak akan pernah terjadi jika kita tetap memelihara luka sebagai “pusaka.”
Spiritualitas yang sejati tidak pernah terburu-buru merayakan kemenangan—terutama jika kemenangan itu datang dari kekalahan orang lain. Sebab dalam Kerajaan Allah, kemenangan bukanlah soal siapa yang berdiri terakhir, tetapi siapa yang tetap mengasihi bahkan ketika berdiri sendirian. Kita tidak bisa memimpin orang ke hadirat Allah sambil memandang rendah mereka. Dan mungkin, kita juga tidak bisa tinggal dalam hadirat Allah sambil menikmati kejatuhan sesama kita.
Schadenfreude mungkin terasa wajar, bahkan manusiawi. Tapi, jalan Kristus selalu lebih tinggi dari sekadar “wajar”. Ia menuntun kita pada belas kasih yang menyembuhkan, bukan kegembiraan yang membusuk. Hati yang bersukacita atas kejatuhan orang lain adalah hati yang belum selesai dipulihkan. Tapi, hati yang berbelas kasih kepada musuh, itulah hati yang telah disentuh Tuhan Yesus Sang Juruselamat.
Jagalah Hati, Jangan Kau Nodai
Mari kita uji hati kita. Bila schadenfreude adalah sinyal, maka ia bukan sekadar isu moral, tapi undangan untuk menyelami kondisi hati kita. Ia seperti alarm lembut dari Roh Kudus yang berkata, “Ada bagian dari hatimu yang masih terluka, dan luka itu belum kamu bawa kepada-Ku.” Di sinilah gema terdalam dari tulisan ini, menyuarakan kebenaran yang sederhana namun berat: sukacita atas penderitaan orang lain, sehalus apa pun bentuknya, bukanlah tanda kemenangan. Itu adalah tanda bahwa hati kita masih butuh disentuh, dibentuk, dan dipulihkan oleh Kasih yang lebih besar dari ego, dendam, dan rasa iri.
Dunia mungkin menikmati schadenfreude, menjadikannya hiburan, bahkan komoditas. Di layar kaca, media sosial, dan percakapan sehari-hari, kejatuhan orang lain sering kali menjadi tontonan yang disambut tepuk tangan. Namun, kita dipanggil untuk hidup dengan hati yang lain, yaitu hati yang mencerminkan Kristus, bukan dunia.
Yesus tidak bersukacita melihat Petrus menyangkal-Nya. Ia menatap dengan penuh kasih, bukan cemooh. Ia tidak bergembira atas kegagalan Yudas, meski tahu betul jalan pengkhianatan yang akan diambilnya. Di kayu salib, Dia berdoa bagi mereka yang menyalibkan-Nya, bukan karena mereka pantas diampuni, tapi karena kasih-Nya lebih besar daripada kejatuhan siapa pun. Inilah hati Kristus, dan Dia memanggil kita untuk meniru-Nya (baca Matius 5:43-48).
Schadenfreude adalah sukacita yang salah alamat. Maka, saat kita melihat seseorang jatuh—bahkan jika orang itu pernah menyakiti kita—menahan diri dari tepuk tangan batin adalah sikap yang bijak. Doakanlah. Tangisilah. Sebab, siapa pun yang jatuh adalah bagian dari tubuh kemanusiaan yang kita hidupi bersama.
Saksikan Juga:
Misunderstanding Kita tentang Keadilan Tuhan
Kalau kita dijahati, rasanya ingin orang yang menyakiti kita mendapat balasan setimpal. “Karma pasti tidak salah alamat!” menjadi pembenarannya. Firman Tuhan juga berkata, “Apa yang kamu tabur, itu yang kamu tuai.” (Gal. 6:7). Tapi, apakah maknanya sama dengan karma?
Ikuti pembahasannya di Podcast KaMu: Misunderstanding Kita tentang Keadilan Tuhan | Bahas Tabur-Tuai di Zaman Now bersama Ev. Heri Subeno.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.