Dilahirkan pada tanggal 6 Februari 1834 dalam keluarga miskin di pulau Nordstrand, di distrik Schleswig-Holstein—kini bagian dari Jerman, tetapi pada masa itu dikendalikan oleh Denmark—Ludwig diharapkan untuk bekerja segera setelah ia cukup besar. Pada usia tujuh tahun, ia mulai mencari uang dengan menggembalakan angsa dan domba. Kecelakaan yang dialaminya saat berusia 12 tahun hampir saja melumpuhkan hidupnya. Ketika itu ia sedang bermain-main, dan entah bagaimana jatuh ke bawah sebuah kereta kuda yang kemudian menggilas kedua kakinya dengan roda hingga remuk. Sepertinya ia tidak akan pernah bisa berjalan lagi karena setelah setahun dirawat pun, Ludwig masih terbaring di tempat tidur. Semua dokter yang memeriksanya telah berusaha keras, tetapi kaki Ludwig tidak memberi respons terhadap pengobatan yang diberikan.

Orangtuanya, dua orang Kristen yang taat, terus meyakinkan Ludwig bahwa suatu hari nanti ia akan dapat berjalan lagi. Namun, setiap kali memandang kondisi kakinya, anak berusia 13 tahun itu sulit untuk percaya. Pada suatu hari Natal, ketika sedang membaca Alkitabnya, Ludwig terkesan dengan Yohanes 14:14: “Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya.” Dengan gemetar, ia bertanya kepada ibunya, “Apakah ini benar? Apakah mukjizat masih terjadi sekarang ini?”

Ibu Ludwig agak ragu menjawab. Semua dokter tidak yakin bahwa kaki Ludwig akan dapat sepenuhnya pulih, tetapi ia tidak tega mengecewakan putra yang disayanginya. Berusaha tampak yakin, sang ibu tersenyum dan menjawab, “Tentu saja benar, Sayang, sebab itu firman Tuhan.”

Bagi Ludwig, jawaban itu sudah cukup. Jika ibunya berkata demikian, itu pasti benar! Untuk pertama kalinya setelah sekian bulan menjalani perawatan, ia merasa ada harapan yang pasti saat ia mulai memohon agar Tuhan menyembuhkan kakinya. Jika ia sampai bisa berjalan lagi, janjinya, ia akan menjadi seorang misionaris. Ludwig percaya bahwa jika Tuhan mengembalikan fungsi kakinya, pastilah Dia punya tujuan yang spesifik.

Jawaban Tuhan datang tak lama kemudian. Beberapa waktu setelah Ludwig mulai berdoa mohon kesembuhan, seorang dokter yang adakalanya datang memeriksa, meresepkan obat baru, dan lukanya mulai sembuh. Sekitar setahun kemudian, ia sudah bisa berjalan dengan normal. Ludwig tidak ragu bahwa ada tangan Tuhan yang bekerja di balik kesembuhannya dan ia tidak melupakan janjinya. Suatu hari, ia berlutut di gereja, mengucap syukur kepada Tuhan, dan bertanya kepada-Nya, “Apakah Engkau menghendaki aku untuk menjadi seorang misionaris?”

Walaupun tidak ada suara yang muncul dan tidak ada ayat Alkitab yang melintas di benaknya, Ludwig merasa yakin bahwa Tuhan telah menjawab, “Ya.”

Walaupun Ludwig siap untuk langsung diutus sebagai misionaris, kesabaran dan tekadnya harus menjalani beberapa ujian. Pertama-tama, ayahnya meninggal. Jadi, ia harus terus bekerja untuk menopang keluarga. Setelah kakak tertuanya menikah dan bisa mengambil alih peran itu, barulah Ludwig dapat mendaftar ke Rhenish Mission Society. Di sana ia menghadapi ujian lainnya. Begitu tiba, ia disambut dengan dingin oleh salah satu direksi badan misi itu karena ia sudah datang sebelum mendapatkan panggilan resmi. Sengaja dibiarkan berdiri di pintu ruangan direksi selama dua jam, Ludwig menunggu dengan sabar. Anggota direksi itu sangat terkesan. Di kemudian hari beliau mengungkapkan penilaiannya terhadap Ludwig: “Orang yang bisa menunggu dengan sabar selama dua jam tanpa merasa tersinggung, pasti bisa melakukan banyak hal.”

Kesabaran yang besar itu nantinya menjadi salah satu kekuatan Ludwig yang paling menonjol.

Sekitar tahun 1859, Ludwig mulai mendengar bahwa dibutuhkan sejumlah misionaris untuk pergi ke Borneo dan Sumatra, dua pulau besar yang adalah bagian dari tanah jajahan Belanda di Asia Tenggara. Sejumlah misionaris telah diutus melayani ke Borneo, tetapi ketika terjadi pemberontakan penduduk asli melawan kaum asing, beberapa misionaris terbunuh dan sebagian lainnya terpaksa mengungsi. Sebagian misionaris melarikan diri ke Sumatra dan melihat potensi ladang misi di tengah suku Batak yang adalah penduduk asli daerah itu.

Semua informasi itu menginspirasi Ludwig, yang sudah lama bertanya-tanya ke mana Tuhan akan mengutusnya. “Sebelum ini aku tidak terlalu berminat pergi ke wilayah itu, tetapi sekarang aku punya keinginan yang besar untuk pergi ke sana,” tulisnya dalam salah satu surat kepada teman-temannya.6 “Darah dari saudara-saudara yang telah meninggal menjerit kepada kita, kepada kalian semua, kepada seluruh umat Kristen. Darah mereka adalah benih bagi pemberitaan Injil di tanah itu, benih yang akan menghasilkan buah seratus kali lipat.”

Setelah ditahbiskan pada tahun 1861, Ludwig mengajukan permohonan untuk diutus kepada suku Batak di Sumatra. Permohonan itu dengan cepat disetujui, dan setelah mengikuti sejumlah pelajaran bahasa di Belanda, ia pun berangkat.