Ditulis oleh Eliza Tan
(Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan di Our Daily Bread Ministries Singapore)
Kegelisahan dan pertanyaan dari seorang teman membuat penulis artikel ini bertanya: apakah dia telah gagal dalam ujian iman? Firman Tuhan menolongnya untuk menemukan jawaban.
Setelah 15 tahun bekerja di perusahaan pertama, aku memutuskan keluar. Alasannya, beban kerjaku yang berat membuatku kelelahan, yang akhirnya mempengaruhi kinerjaku. Atasanku juga menilai kinerjaku rendah dan tidak cocok untuk pekerjaan ini. Padahal, aku sudah naik jabatan dan berada di bawah supervisinya.
Penilaian dan kata-kata atasanku itu menghancurkan kepercayaan diriku.
Aku pun cemas dan tidak bisa tidur tiga hari berturut-turut. Meski aku sudah berdoa supaya Tuhan memberiku kelegaan lewat tidur nyenyak, tetap saja sulit untuk terlelap.
Alhasil, pergi ke kantor pun terasa jadi perjuangan berat. Ketika sampai di kantor, aku nyaris tidak bisa fokus bekerja. Kala malam, aku baru bisa tidur setelah menemui terapis dan mengobrol dengan beberapa teman yang merupakan konselor juga.
Aku tak sanggup lagi bertahan, maka kuputuskan untuk berhenti kerja. Teman-temanku lalu mengajakku makan siang sebelum hari resign-ku tiba, salah satunya Sebastian. Dia pernah bekerja bersamaku dalam sebuah proyek. Aku berterus terang padanya tentang situasi di balik keputusanku buat keluar. Setelah makan selesai dan kami pulang lagi ke kantor, Sebastian berkata dengan raut muram, “Kupikir imanmu bakal menolongmu melewati pergumulan ini.”
Aku bergeming.
Kata-kata Sebastian menghantuiku. Teringat lagi dalam benakku bagaimana aku setengah mati berjuang hanya untuk tidur dan cemas akan masa depanku yang tidak pasti. Aku pun bertanya pada diriku sendiri:
Ke mana imanku pergi? Mengapa iman itu tidak cukup kuat menolongku mengalahkan kekhawatiran? Apakah doa-doaku tidak terjawab karena aku kurang iman?
Namun, di titik ketika aku meragukan segalanya, Tuhan menolongku untuk memahami masa-masa sulit dalam hidup. Seiring aku merenungkan firman-Nya dan berdoa, Dia memberiku penghiburan yang dibutuhkan untuk mengerti apa yang sedang kualami.
Ada Masa untuk Diuji
Ketika membaca Mazmur, aku tersentak dengan sepenggal doa Daud:
“Selidikilah aku, ya Allah, dan selamilah hatiku, ujilah aku dan ketahuilah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24).
Dalam kasusku, aku menyadari bahwa Allah tidak butuh untuk mencariku supaya Dia bisa mengenali isi hati dan pikiranku. Allah sudah tahu lebih dulu. Justru akulah yang perlu mengenali hatiku sendiri.
Allah menggunakan ujian yang kualami untuk memurnikan iman dan memperdalam pengenalanku akan diri sendiri (1 Petrus 1:7). Seperti juga yang Amsal 17:3 katakan, “Kui itu untuk melebur perak dan perapian untuk melebur emas, tetapi TUHANlah yang menguji hati”.
David Cook, seorang pengajar Alkitab menuliskan pengamatannya demikian: sebagaimana api memurnikan emas dan perak dengan menyingkirkan kotoran, Tuhan memurnikan umat-Nya, memperbaiki, dan mengembangkan karakter mereka dengan mengizinkan kesulitan-kesulitan dalam hidup mereka. Betapa seringnya kita dapat bersaksi bahwa masa-masa penderitaan dan ujian juga merupakan masa-masa pertumbuhan dan kemajuan dalam kesalehan kita.
Ilustrasi ini sangat menyentuh hatiku.
Dalam proses pemurnian, pengrajin logam pertama-tama membakar emas atau perak padat hingga meleleh. Proses ini memungkinkan kotoran-kotoran di dalam logam naik ke permukaan yang kemudian bisa disingkirkan. Para pengrajin logam tahu bahwa proses pemurnian itu telah selesai ketika dia dapat melihat bayangannya sendiri yang terpantul di dalam logam yang telah meleleh itu.
Dengan cara yang sama, Allah memulihkan hati kita melalui pencobaan hingga Dia dapat melihat rupa-Nya di dalam kita. Roma 5:3-4 memberitahu kita: “Bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketabahan, ketabahan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” Allah memakai penderitaan dan ujian dalam hidup kita untuk membuat kita semakin serupa dengan Kristus, putra-Nya.
Jadi, mengapa aku harus melewati masa-masa pengujian ini?
Ketika merenungkan pertanyaan ini, aku menyadari bila ada sesuatu yang telah ditunjukkan oleh pergumulanku ini, itu adalah…
Kesombongan.
Aku meletakkan harga diriku pada kehidupan yang stabil. Aku pun merasa malu untuk menunjukkan pergumulanku kepada orang lain.
Terlebih lagi, aku aktif melayani di gereja ketika pekerjaanku mulai goncang. Waktu itu aku percaya kalau aku menyembunyikan bebanku sembari tetap melayani, itu adalah tanda iman yang kuat. Aku pikir tidak ada yang dapat menggoyahkan kepercayaanku pada Tuhan.
Sayangnya, ini tidak benar. Kepercayaanku tidak sekuat yang aku kira.
Saling Menyemangati Sesama Orang Percaya
Hal lain dalam Alkitab yang juga membantuku memahami pencobaan yang aku alami adalah kisah tentang seorang tokoh yang tampaknya gagal dalam ujian iman.
Dalam Lukas 22, Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (ayat 31-32).
Simon Petrus menjawab dengan berani bahwa dia bersedia masuk penjara dan bahkan mati bagi Tuhannya (ayat 33). Namun, seperti yang dinubuatkan Yesus, rasul yang terlalu percaya diri ini akan menyangkal Dia tiga kali sebelum ayam berkokok (ayat 34, 54-60).
Mike Raiter, seorang pengkhotbah dan pengajar Alkitab menulis:
Allah mungkin mengizinkan kita untuk melewati masa-masa pemilahan. Yesus mengetahui rencana-rencana Iblis, sehingga kita dapat dikuatkan bahwa selama masa pencobaan, Tuhan berdoa untuk kita… Allah yang memulihkan Petrus juga akan memelihara kita dengan kuasa-Nya yang besar.
Iblis bermaksud menghancurkan iman Petrus dengan mencobainya, tetapi Allah menggunakan pencobaan itu untuk memurnikan Petrus. Setelah kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus memulihkan murid-murid-Nya (lihat Yohanes 21:15-19). Meskipun iman Petrus telah diuji dan dia sempat gagal, Tuhan tetap memeliharanya dan kelak akan memakainya untuk membangun gereja-Nya (Matius 16:18).
Aku percaya bahwa ujian yang aku alami telah menyingkapkan imanku yang lemah. Dan sekarang, dengan jujur aku membagikan pengalamanku kepada teman-teman dan jemaat di gereja untuk menguatkan mereka dan menceritakan kebaikan Tuhan.
Pergumulan dengan kecemasan adalah hal yang juga dialami oleh banyak orang, bahkan lebih daripada yang ada dalam bayangan kita. Kepada semua yang bergumul, dan kepada semua yang mungkin masih akan terus menghadapinya di masa depan: ingatlah bahwa Tuhan itu penuh belas kasih dan murah hati (Mazmur 103:8). Dia akan memberikan pertolongan kepada kita pada saat kita membutuhkannya (Ibrani 4:16), entah itu dalam bentuk terapi, konseling, atau bahkan sesederhana tidur.
Jadi, Apakah Aku Telah Gagal dalam Ujian Iman?
Melihat kembali ujian iman yang telah kulalui, aku ragu untuk menyebutnya sebagai sebuah kegagalan. Semua orang percaya bergumul dengan kegelisahan dari waktu ke waktu. Beberapa orang mungkin malu untuk mengakuinya agar tidak dicap sebagai orang yang gagal beriman.
Setelah mengalami semua ini, aku percaya bahwa kita tidak boleh melabeli pergumulan dengan kecemasan sebagai bukti kegagalan iman. Berpikir seperti ini hanya akan membuat orang lain terhakimi dan mencegah mereka untuk menemukan pertolongan.
Mungkin satu-satunya “kegagalan” pribadiku adalah aku tidak menyadari bahwa imanku tidak sekuat yang kukira. Aku seharusnya meneladani doa seorang ayah yang anak laki-lakinya kerasukan seperti dicatat dalam Markus 9:24 agar Tuhan menolong “aku yang tidak percaya ini!”
Aku harus menerima kenyataan bahwa tidaklah masalah untuk berada dalam posisi lemah karena di situlah aku dapat memahami kuasa Allah: “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9).
Aku tidak perlu terlihat seolah-olah aku memiliki segalanya dan semuanya berjalan baik agar dapat dicintai dan diterima. Tuhan mengizinkan pergumulan terjadi untuk mengajarkanku kerendahan hati, untuk mengingatkanku bahwa kasih karunia-Nya akan selalu ada. Seperti yang diingatkan oleh Yakobus 4:6, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi memberi anugerah kepada orang yang rendah hati.”
Berjuang melawan insomnia dan kecemasan akan pekerjaan adalah salah satu titik terendah dalam hidupku. Namun, sekarang meskipun aku diberi kemampuan untuk mengubah masa lalu, aku memilih untuk tidak menghilangkan masa-masa pergumulan ini sebab inilah masa pertumbuhan dan pembelajaran. Inilah yang membuatku belajar rendah hati dan menolongku untuk lebih berempati kepada mereka yang bergumul dengan kecemasan. Ini semualah yang memungkinkanku untuk mengalami kasih karunia Tuhan yang berlimpah.
Baca Juga:
Tolong, Saya Sedang Stres!
Pernahkah Anda merasa tidak dapat menahan tangis atau amarah? Atau, merasa ingin bersembunyi dan melarikan diri? Semua itu bisa menandakan Anda sedang stres. Namun, apakah kita harus terus stres dan khawatir seumur hidup? Temukanlah pertolongan yang disediakan Tuhan bagi kita yang sedang dilanda stres.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.