Ketika teman-teman seangkatan dengan bangganya memamerkan kelingking yang telah dicelup tinta ungu, saya hanya terduduk di kamar kosan sambil menonton quick count yang mulai berlangsung. Saat itu saya tinggal di Yogya, tetapi KTP saya berdomisili Jawa Barat. Saya gagal nyoblos karena terlambat mengurus berkas-berkas kepindahan. 

Peristiwa itu terjadi 10 tahun lalu, ketika saya dan generasi milenial masuk ke dalam kategori pemilih pemula yang berpartisipasi dalam pemilihan umum demokratis. Tahun 2024 ini, pemilu kembali digelar secara serentak. Demografi pemilih tak kalah menarik, sebab generasi milenial seperti saya (kelahiran 1981-1996) yang satu dekade lalu masih bau kencur, sekarang menyumbang persentase pemilih terbanyak, 32,3% alias sepertiga dari seluruh pemilih. Disusul di posisi kedua sebanyak 28,3% oleh generasi X (1964-1980), dan di posisi ketiga adalah generasi Z (1997-2007) sebanyak 21,1%. 

Tiap generasi tentunya punya preferensi yang berbeda, tetapi dalam urusan pemilu, saya yakin semua sepakat bahwa pesta demokrasi harus menghasilkan pemerintahan yang baik, yang membawa kemajuan bangsa dan negara ini. Tapi, baik seperti apa? Bukankah baik adalah spektrum yang terlalu luas untuk dijabarkan? 

Sejak Indonesia merdeka pada 1945, perjalanan negeri ini tidaklah selalu mulus. Pemilu 1955 diwarnai dengan pemberontakan separatis. Tahun-tahun setelahnya, kita menyaksikan bagaimana huru-hara terjadi, korupsi menjalar hingga berpuncak pada Reformasi. Namun, masih belum berhenti, pemilu pada era digital seperti 2014 dan 2019 alih-alih menyatukan, justru memperuncing polarisasi masyarakat. 

Jika sudah begitu, agaknya lagu bertajuk Sumbang dari Iwan Fals seolah meneguhkan keyakinan sebagian orang bahwa sukar menemukan kebaikan dalam dunia politik. Begini liriknya: Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan?

Tetapi, kita sebagai orang Kristen memiliki keyakinan berbeda. Kita menghargai proses politik dan berperan aktif untuk mengupayakan kesejahteraan yang lebih baik. Kita mungkin hanya warga negara biasa yang tak memiliki akses untuk membuat kebijakan-kebijakan publik yang tepat guna, tetapi kita bisa menjadikan lingkungan sekitar kita lebih baik. Dalam konteks pesta demokrasi yang sempat terbelah oleh polarisasi, adalah baik untuk kita merenungkan sebuah konsep yang diberi nama “politik hospitalitas”. 

Kata “hospitalitas” bisa dimaknai sederhana sebagai keramahan. KBBI mendefinisikan “ramah” sebagai “baik hati, menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan.” Istilah hospitalitas sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Latin: “hostis” yang berarti tuan rumah dan “hospis” yang berarti hubungan timbal balik yang didasarkan pada kesetaraan dan saling memberi. Maka, hospitalitas bisa dimaknai sebagai sikap penerimaan tuan rumah yang baik dan ramah bagi tamu, pengunjung, atau orang asing. Kata kuncinya di sini adalah kebaikan dan keramahan. 

Dalam iman Kristen, hospitalitas memiliki makna lebih dari sekadar menjamu teman dan keluarga, tetapi tindakan mengasihi orang lain seperti yang Yesus lakukan dan menyambut mereka ke dalam hidup kita dan keluarga Allah (Matius 25:40). Konsep ini didasarkan pada sikap Allah yang memanggil semua orang pilihan-Nya ke dalam keluarga-Nya melalui anugerah dan Roh Kudus (Yohanes 16:8; Efesus 2:8-9). Jika pemahaman ini diaplikasikan juga dalam tanggung jawab politik anak-anak Tuhan sebagai warga negara, maka di dalam partisipasi politiknya setiap orang percaya dipanggil untuk mempraktikkan kewajiban politik tersebut dalam semangat kebaikan dan keramahan. 

Metafora hospitalitas sangat membantu untuk menggambarkan bagaimana seorang Kristen bersikap dalam partisipasi politiknya di ranah publik. Alasannya, pertama, metafora hospitalitas menunjukkan sifat Allah. Dia Allah yang baik (Mazmur 25:8; 106:1), penuh kasih (1 Yohanes 4:8; Yohanes 3:16; Roma 5:8). Kedua, Allah menghendaki ketertiban. “Allah adalah Allah yang suka akan ketertiban; Ia bukan Allah yang suka pada kekacauan” (1 Korintus 14:33 BIMK). Roh Kudus adalah Roh yang tertib, sopan dan disiplin, maka sudah selayaknya setiap orang Kristen menerapkan laku hidup yang tertib pula, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam praktik politiknya. 

Metafora hospitalitas sangat membantu untuk menggambarkan bagaimana seorang Kristen bersikap dalam partisipasi politiknya di ranah publik.

Sejak lahir hingga wafat-Nya, Yesus sendiri bersentuhan dengan keramahan orang lain dan ajaran-Nya menekankan pentingnya hospitalitas bagi semua orang (Matius 22:39). Ketika Yesus menyembuhkan hamba perwira di Kapernaum (Matius 8:5-13), Dia sedang mengaplikasikan pengajaran-Nya, yaitu para pengikut-Nya perlu memberkati “musuh” mereka dan berdoa bagi mereka yang menganiaya mereka (Matius 5:43-48). Lukas 14 pun berisi serangkaian kisah yang mengembangkan pengajaran tentang keramahan kepada semua orang. Kisah-kisah ini menceritakan pengalaman Yesus di rumah seorang Farisi, di mana Yesus mengajarkan pentingnya kerendahan hati, bukan pemuliaan diri sendiri (Lukas 14:1-14), pun perumpamaan tentang perjamuan besar (14:15-24) yang menggambarkan sebuah penyambutan masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan sebuah pesta perayaan. Tema yang penting mengalir di dalam kedua kisah ini adalah bahawa keramahan itu diberikan kepada mereka yang tidak layak, termasuk orang-orang asing.

Dalam konteks masa kini, ketika setiap kita telah memiliki pilihan akan kandidat-kandidat mana yang kita usung, kita diundang untuk melakukan tugas demokrasi kita dengan ramah. Tapi, bagaimana jika ketidakramahan ini dilakukan oleh orang-orang yang dekat dalam relasi kita, semisal dalam grup WhatsApp? Ikut nimbrung dengan saling serang tentu akan membuat suasana makin panas. Di sinilah kita ditantang untuk memilih salah satu dari dua sikap: hospitality atau hostility; keramahan atau permusuhan? Memilih opsi keramahan berarti mendoakan lebih dulu orang tersebut agar Roh Kudus melembutkan hati dan meredakan emosinya. Selanjutnya, dengan memohon hikmat-Nya, kita bisa saling mengingatkan agar jangan sampai perbedaan pilihan bermuara jadi kebencian yang turut memutus silaturahmi di dunia nyata. Memiliki keyakinan akan pilihan kita adalah hal baik, tetapi jangan lupakan pula bahwa perbedaan dalam pilihan pun hal yang baik.

Di sinilah kita ditantang untuk memilih salah satu dari dua sikap: hospitality atau hostility; keramahan atau permusuhan?

Dalam menyambut Pemilu 2024 setiap orang percaya diundang untuk memilih parpol, wakil rakyat, dan calon pemimpin bangsa sesuai nurani maupun pertimbangan rasionalnya masing-masing. Gunakanlah hak pilih ini. Jika pada dua pemilu terdahulu penggunaan isu negatif maupun black campaign begitu marak, maka setiap kita hendaknya tidak ikut dalam praktik semacam itu. 

Kembali pada lirik lagu bertajuk Sumbang: Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang untuk menghantam? Jawabanya: tidak selalu. Dengan syarat, jika kita menerapkan seni politik hospitalitas. Kita boleh berpartisipasi dalam politik, kita bisa berbeda pandangan politik, tapi itu bisa dilakukan tanpa nyinyir, menyebarkan berita negatif, apa lagi berita bohong (hoax). 

Mari kita berpolitik dengan hospitalitas, sesuai dengan sikap yang Kristus teladankan dan kultur kita sebagai bangsa Nusantara yang ramah.


Baca Juga:

 
Siapa pun yang akhirnya terpilih lewat Pemilu, kita sebagai orang Kristen dipanggil untuk menunjukkan keramahan kepada sesama. Inilah cara kita memberikan dampak yang positif dan menjadi saksi kasih Tuhan di tengah masyarakat.

Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana Anda dapat mempraktikkan keramahan dan kebaikan hati dalam kehidupan sehari-hari, silakan kunjungi situs web ini:


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.