Aryanto Wijaya

Ketika pandemi muncul di Indonesia setahun silam, statistik yang diberitakan setiap hari terasa hanya sekadar angka-angka yang tertera. 

Namun, hari-hari ini, setelah setahun lebih kita berjibaku—hidup berdampingan sembari melawannya—statistik itu terasa jauh lebih personal. Di balik angka-angka kasus yang tiap hari kian bertambah, ada orang-orang dalam lingkaran sosial kita di sana. Kita mendengar kabar keluarga, teman, kolega, atau kenalan kita terdeteksi positif. Media sosial kita juga tidak sepi dari kabar-kabar pilu. Dan, di dunia nyata, kita bisa mendengar sirine ambulans yang berlalu lalang lebih sering dari biasanya.

Hari-hari ini keadaannya tidak lagi biasa. Duka dan rintih telah hadir lebih dekat di sekeliling kita.

Tanpa perlu menjelaskan lebih panjang lagi, kurasa kita mungkin sepakat bahwa hari-hari ini keadaannya tidak lagi biasa. Duka dan rintih telah hadir lebih dekat di sekeliling kita. 

***

Beberapa hari lalu, keluargaku di Bandung mengabariku kalau kakakku mengalami sakit demam dan flu yang tak kunjung sembuh. 

“Aduh. Udah berapa lama ini nggak sembuh?” tanyaku lewat telepon. 

“Tiga hari, Ri,” jawabnya dengan nada lemah. 

Aku segera menaruh curiga. “Udah minum obat?”

“Udah. Minum paracetamol, tapi begini terus.” 

Kecurigaanku menjadi nyata ketika kakakku (atas desakan dari kakak lainnya) akhirnya bersedia melakukan tes usap. Hasilnya: positif! 

Efek domino pun terjadi. Suaminya turut dinyatakan positif. Kami segera melakukan pelacakan (tracing) mandiri. Kakakku mengingat lagi selama seminggu ke belakang dia telah bertemu dengan siapa saja: ada kakak pertama kami, mama kami, juga anaknya. Mereka yang telah berkontak segera melakukan karantina. Mama sempat mengomel dan menentang ketika diminta untuk mengarantina diri di rumah sampai seminggu ke depan. Dia merasa badannya sehat meskipun telah melakukan kontak erat, tapi syukurlah akhirnya dia bersedia mengikuti anjuran ini. 

Hingga ketika tulisan ini ditulis, keadaan kakakku belum stabil sepenuhnya. Saturasi oksigen menunjukkan angka normal, tetapi lambungnya cukup bermasalah. Sudah dua hari tidak bisa diisi makanan. Dari Jakarta, aku mengontak dokter rekanan dari kantorku untuk memberikan resep buat kakakku di Bandung. Setelah resep selesai dibuat, menebus obat-obat ini jadi petualangan tersendiri. Dengan posisi kakakku dan suaminya yang diisolasi, serta kakak dan mama kami yang juga melakukan karantina karena kontak erat, tak mudah menjumpai orang yang berkenan dimintai tolong. Biaya obat pun tak bisa dianggap murah: 2 juta lebih!  

Singkat cerita, obat berhasil didapat dengan bantuan seorang temanku yang apoteker di Bandung, tetapi masalah belum selesai. Meski telah diberi obat lambung, perut kakakku tetap tak kuat untuk menenggak obat-obat lainnya. Muntah. 

“Nggak bisa ini sih, harus ada penanganan dokter,” kakak pertamaku mengabariku lewat pesan suara di WhatsApp. “Tapi, semua rumah sakit penuh,” lanjutnya lagi. 

Aku sepakat dengan pendapat itu. Sembari kakak pertamaku mencari informasi mengenai prosedur membawa pasien ke RS, aku membujuk kakakku yang positif ini untuk melembutkan hatinya bersedia dirawat di RS. Tetapi, masuk RS baginya adalah momok menakutkan. Ide ini ditentangnya dengan tangisan keras. 

Aku dan kakak pertamaku pun gamang. Apakah harus memaksakan diri mencari rumah sakit di saat semua fasilitas kesehatan nyaris kolaps? Atau, tetap di rumah sembari mengupayakan konsultasi dokter via jalur daring? 

Kami menemukan kesepakatan. Apabila sampai tengah malam tidak ada kemajuan pada kondisi fisiknya, kami akan mengupayakannya mendapat perawatan di RS. Tetapi jika ada kemajuan, opsi tetap di rumah akan kami pilih. 

Kutelepon lagi dokter dan menceritakan keluhannya. Obat tambahan sekaligus pengganti pun diresepkan, dan puji syukur, Tuhan bekerja melalui proses ini. Gejolak di perutnya mulai mereda. Makan sedikit-sedikit mulai bisa masuk. Hingga tengah malam, keadaannya telah jauh membaik meskipun tetap membutuhkan pengawasan khusus. 

***

Cerita di atas hanyalah sekelumit dari ribuan narasi tentang perjuangan mendapatkan pengobatan di tengah badai pandemi hebat yang tengah mengguncang negeri kita. Banyak kisah lainnya diakhiri dengan getir. Dengan kondisi fisik yang terdapat penyakit penyerta, mereka yang berjuang melawan virus ini tak mampu bertahan, meninggalkan orang-orang terkasihnya dalam kedukaan yang terasa aneh—tak ada upacara pemakaman, tak ada dekap dan peluk, tak ada kehadiran fisik dari orang-orang tersayang. 

Bagi kita yang menyadari fatalitas dari pandemi ini, atau bagi yang telah merasakan dampaknya secara langsung, kita mungkin semakin mengelus dada ketika mendapati media sosial semakin keruh dengan orang-orang yang menggelontorkan narasi kusut tentang konspirasi. 

Kita telah tiba di titik di mana musuh telah masuk menjebol berlapis-lapis dinding pertahanan kita, tetapi ini bukan berarti kita telah kalah. Kita masih bisa mengubah jalan cerita dari perjuangan melawan pandemi ini.  

Mungkin pandemi ini telah menjadikan kita kehilangan banyak hal: orang terkasih, pekerjaan, atau kebebasan kita, tetapi kiranya kita tidak tawar hati.

Sekadar percaya bahwa virus-virus tak kasat mata ini ada tidaklah banyak menolong jika tidak kita imbangi dengan aksi nyata: memakai masker dobel, membatasi mobilitas dan pertemuan fisik jika memang tugas dan tanggung jawab kita bisa mengakomodirnya, serta mengikuti semua anjuran dan instruksi dari pihak-pihak yang kredibel. Dan, yang paripurna adalah: jangan lepaskan jangkar kepercayaan kita pada Allah. 

Mungkin pandemi ini telah menjadikan kita kehilangan banyak hal: orang terkasih, pekerjaan, atau kebebasan kita, tetapi kiranya kita tidak tawar hati. 

Allah yang menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus tidaklah jauh dari kita. Yesus turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan Dia pun telah dicobai, tetapi Dia tidak berbuat dosa (Ibrani 4:15). Ketika manusia mencoba mencari-cari jawaban atas segala penderitaan mereka, Allah menjawabnya dengan hadir ke dalam dunia, merasakan segala penderitaan itu dalam wujud dan indera yang sama dengan kita, meratap bersama kita, dan menebus upah dosa hingga tuntas di atas kayu salib (dikutip dari artikel Kasih Tuhan di Masa Corona), hingga kita beroleh keselamatan yang sejati.

Sampai hari ini kita mungkin tidak tahu bagaimana dan bilamana pandemi ini akan berakhir. Tetapi, setiap kita yang telah ditebus oleh Kristus dan menjadi murid-murid-Nya diminta untuk tetap memelihara iman. 

Iman itu dapat kita tunjukkan pada dunia dengan menolong dan berempati dengan penderitaan orang lain, serta semampu kita mengedukasi orang-orang yang abai terhadap protokol kesehatan. 

Kiranya kita semua senantiasa dalam pemeliharaan-Nya.


Baca Juga:

Menemukan Kedamaian Tuhan di Tengah Kesusahan

Dalam menggumuli masa-masa sulit, kita dapat meluangkan waktu sejenak untuk menjelajahi kitab Mazmur. Jauh di balik untaian katanya terkandung jawaban atas pergumulan hidup manusia yang setiap harinya tak luput dari penderitaan.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.