Monica Dwi Chresnayani
Januari 2021 dibuka dengan kabar duka yang menyayat hati kita: pesawat Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ-182 hilang kontak hanya empat menit setelah lepas landas pada hari Sabtu, 9 Januari. Sehari berselang, dipastikan pesawat tersebut jatuh di perairan Kepulauan Seribu dan menewaskan seluruh penumpangnya. Tangis duka sontak pecah, keluarga korban berdatangan ke bandara, ingin memastikan nasib anggota keluarga mereka. Media massa riuh rendah oleh tayangan berita tentang kecelakaan ini, meliputnya dari berbagai sisi. Kisah-kisah mengharukan tentang para korban pun silih berganti muncul di linimasa kita: ada pasangan suami-istri yang hendak berangkat ke kota tempat suami berdinas dengan membawa buah hati mereka yang baru berusia tujuh bulan, pasangan pengantin baru yang hendak menggelar resepsi kedua di kota tujuan, istri dan tiga anaknya yang hendak pergi menemui suami dan ayah mereka yang sudah lama terpisahkan karena pekerjaan di pulau lain. Tak kurang menyayat hati adalah kisah tentang co-pilot yang menukar jadwal terbangnya agar ia bisa pulang lebih awal untuk bisa pergi ke gereja esok paginya. Namun, nahas maut menjemput sebelum semua rencana itu terwujud. Kisah hidup 62 penumpang yang semula penuh rencana dan janji indah—hanya dalam tempo empat menit setelah lepas landas—hancur musnah karena petaka.
Setiap kali membaca berita tentang tragedi yang merenggut nyawa seperti ini, mungkin satu kesan yang muncul di hati kita adalah ketakutan akan betapa rapuhnya hidup ini. Tragedi bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Jangan-jangan setelah ini giliran kita? Atau, bagaimana jika itu terjadi pada keluarga kita? Membayangkannya saja kita tidak sanggup, apalagi mengalaminya!
Namun, terlepas ketakutan dan kengerian yang menghinggapi kita, harus disadari bahwa kematian adalah realitas hidup. Tidak ada kehidupan tanpa kematian. Mungkin inilah realitas yang paling menyakitkan dalam eksistensi manusia. Tak satu pun makhluk hidup di dunia ini yang tidak akan mengalaminya. Cepat atau lambat, hidup akan berakhir. Tak peduli setinggi apa pun pencapaian manusia, sehebat apa pun dia, semua akan sirna ketika kematian datang.
Kesadaran bahwa kita tidak bisa menghindari kematian itulah yang terkadang menakuti kita. Namun, justru karena kita tidak bisa menghindarinya, alih-alih menjadi takut kesadaran itu hendaknya memicu kita untuk hidup lebih baik. Ada beberapa hal yang diajarkan oleh kematian:
1. Kehidupan sangatlah berharga
“Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi” (Mazmur 103:15-16).
Ayat tersebut menegaskan kembali betapa fananya hidup manusia. Kesadaran ini haruslah membuat kita semakin menghargai keberadaan keluarga, teman, kerabat, bahkan rekan kerja, karena sewaktu-waktu, kebersamaan kita bisa berakhir.
2. Waktu terus berjalan, dan tak akan bisa diputar kembali
Waktu tak bisa ditambah atau pun dikurangi. Fakta ini seharusnya menjadikan kita lebih menghargai waktu serta memicu kita untuk melakukan yang terbaik dengan waktu kita. Saya teringat pada sebuah lagu indah yang liriknya demikian: “Hidup ini adalah kesempatan, hidup ini untuk melayani Tuhan, jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b’ri..” Hal ini senada dengan firman Tuhan dalam Mazmur 90:12 yang mengajarkan kepada kita untuk berhati-hati dengan waktu kita dan hanya menggunakannya untuk hal-hal yang bermakna, utamanya melayani Tuhan: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.”
Meski demikian, kesadaran tentang kematian tidak serta-merta membuat kita kebal dari rasa sedih bila kematian itu benar-benar datang merenggut nyawa orang-orang yang kita kasihi. Sebagai orang percaya, kita memperoleh janji hidup kekal bersama Yesus, tapi itu bukan berarti kita tidak boleh menangisi perpisahan yang terjadi. Namun, dalam duka kita, hendaklah kita ingat akan janji indah Yesus ini: bahwa Dia akan mempertemukan kita kembali kelak dengan orang-orang yang sudah meninggal. “Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (1 Tesalonika 4:14).
Proses untuk bangkit dan pulih dari kedukaan tidaklah instan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Hari-hari yang dijalani setelah mengalami dukacita, ada kalanya baik-baik saja, tetapi tiba-tiba, kesedihan itu datang lagi, bahkan memukul kita hingga rasanya kita tak sanggup lagi bertahan. Tetapi terpujilah Allah, karena ada satu janji lagi yang akan Dia nyatakan bagi kita kelak bila saatnya tiba: “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4).
Dan bagi kita yang hari ini masih diberi kesempatan bertemu dengan orang-orang terkasih, peluklah mereka dan syukuri kebersamaan ini sebagai anugerah yang sangat berharga. Biarlah sisa hidup ini kita jalani dengan sebaik-baiknya, agar kita menjadi berkat bagi banyak orang, sesuai kehendak Tuhan dalam hidup setiap kita.
Dukacita dan empati yang sedalam-dalamnya atas tragedi Sriwijaya Air SJ 182. Marilah kita bersama-sama mendoakan kerabat dan keluarga korban yang ditinggalkan, agar kasih anugerah Tuhan memeluk dan menghibur mereka dalam kedukaan yang berat ini.
Baca Juga:
Kala Musibah Melanda
Di manakah kita dapat menemukan keyakinan yang teguh untuk melanjutkan hidup kita, terutama ketika musibah melanda?
Persembahan kasih seberapa pun dari para pembaca di Indonesia memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.
Bila Anda merasa artikel ini telah memberkati Anda, Anda dapat membagikannya di sosial media agar lebih banyak orang lagi diberkati dan dikuatkan.