Oleh Dhimas Anugrah
Bahasa daerah apa yang Anda kuasai?
Mungkin tak semua orang di Indonesia menguasai bahasa daerah, tetapi tentulah kita semua pernah mendengar teman, kerabat, atau orang lain yang berbicara dalam bahasa-bahasa lokal selain bahasa Indonesia. Statistik mencatat ada lebih dari 700 bahasa daerah yang masih dituturkan di Indonesia. Bagi kita di masa kini yang telah mengenal bahasa Indonesia modern, kita tentu setuju bahwa ratusan bahasa ini adalah kekayaan bangsa. Namun, jika kita melakukan kilas balik ke masa-masa hampir seabad lalu, ratusan bahasa yang berbeda ini sempat menjadi kendala untuk menyatukan sebuah bangsa yang kala itu masih berada di bawah naungan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Orang dari Priangan berbahasa Sunda, orang dari Jawa bagian timur berbahasa Jawa, orang dari Sumatra Utara bicara bahasa Batak, belum lagi dari berbagai daerah lain. Bagaimana bisa berkomunikasi secara jelas dan mudah dengan semua orang jika ada begitu banyak bahasa? Mempelajari masing-masing bahasa yang jumlahnya ada ratusan tentu mustahil. Maka, atas prakarsa para pemuda dari berbagai daerah, muncullah sebuah gerakan pada tahun 1928 yang kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda. Salah satu ikrarnya berbunyi demikian, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Sumpah Pemuda pun menjadi momen monumental bagi persatuan dan perjuangan bangsa menuju kemerdekaan. Pada momen ini jugalah penggunaan kata ‘Indonesia’ sebagai sebuah entitas bangsa mulai digunakan secara nasional.
Hampir seabad berselang, kita melihat dan mengalami peranan bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa yang mempersatukan. Kita dapat pergi ke Medan, Manado, Kupang, dan berbagai daerah tanpa khawatir sulit berkomunikasi, karena orang-orang di sana pun mengerti bahasa Indonesia. Untuk bisa menjadi bangsa yang bersatu tanpa bahasa pemersatu adalah hal yang mustahil.
Mencintai Bahasa Indonesia
Ibarat manusia yang lahir, tumbuh, berkembang, dan mati, bahasa pun melalui proses yang sama. Biasanya, eksistensi sebuah bahasa berkaitan pula dengan sebuah bangsa. Ketika bangsa Romawi mendirikan imperium, bahasa Latin menjadi lingua franca di seluruh wilayahnya. Namun, ketika kekaisaran Romawi meredup hingga akhirnya runtuh, bahasa Latin sekarang menjadi bahasa yang ‘mati’, masih terdapat literaturnya tetapi tidak lagi digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.
Jika kita lihat dalam konteks bangsa Indonesia, kelangsungan bahasa persatuan yang kita junjung bersama ini tergantung dari bagaimana kita memperlakukan bahasa kita.
Sineas Italia bernama Federico Fellini pernah mengatakan, “Bahasa yang berbeda adalah visi hidup yang berbeda.” Maksudnya, dalam bahasa terkandung ungkapan pemikiran khas bangsa yang menggunakan bahasa itu. Dalam konteks bangsa kita, menggunakan bahasa Indonesia sama artinya melestarikan kekayaan pemikiran, budaya, dan semangat persatuan Indonesia yang terkandung di dalamnya. Sebagai umat Kristen di negeri ini, mencintai bahasa Indonesia adalah suatu praktik iman yang layak ditumbuhkembangkan.
Tentu, kita sudah sering mendengar sabda, “Usahakanlah kesejahteraan negara di mana kamu berada, dan berdoalah untuknya itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (bdk. Yeremia 29:7). Sebagai anak Tuhan, pasti kita rindu terlibat dalam mengupayakan kesejahteraan negeri kita. Dalam sebuah tafsir, mengusahakan “kesejahteraan” juga berarti memupuk rasa cinta kepada negara dan bangsa di mana umat Tuhan itu berada. Memupuk rasa cinta kepada Tanah Air pun dapat dilakukan melalui mencintai bahasa Indonesia.
Pada masa sekarang, di mana pertukaran budaya dan informasi semakin tidak mengenal batas negara dan politik, sebagian komunitas kita mungkin memiliki tantangan khusus ketika banyak anak mudanya lebih fasih bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Tentu, mengenalkan bahasa asing kepada anak sejak dini adalah hal baik, bahkan menjadi kebutuhan di era globalisasi seperti sekarang ini. Namun, pada saat yang sama, dampak negatif bisa saja muncul ketika anak-anak lebih terbiasa menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia.
Seorang anak Tuhan pernah bersaksi bagaimana keponakannya tidak bisa berkomunikasi dengan neneknya karena sang keponakan tidak bisa berbahasa Indonesia. Bukan disebabkan sang keponakan lahir dan besar di luar negeri, karena ia lahir dan besar di Indonesia. Tetapi, karena ia dibiasakan berbahasa asing di rumahnya sejak dini. Hal ini menyebabkan munculnya halangan komunikasi yang sebenarnya bisa diantisipasi sejak awal. Tentu, artikel ini tidak menolak proses perkenalan bahasa asing kepada anak. Melainkan mengajak umat Allah di Indonesia berefleksi atas fenomena terkini yang perlu kita sikapi dengan bijak.
Bahasa asing memang penting, tetapi tak kalah penting jika seorang anak diajarkan mencintai bahasa Indonesia sejak ia kecil. Sebab, dengan mencintai dan menguasai bahasa Indonesia, setiap anak secara kultural juga akan mencintai Tanah Air mereka. “Apa jadinya bangsa tanpa bahasa ibu?” tanya Jack Edwards. Pertanyaan ini terkesan sederhana, tetapi mengandung pemikiran yang mendalam, yaitu kekuatan bahasa sebagai pemersatu bangsa. Kita melihat bangsa Tiongkok, Amerika, Rusia, Perancis dan banyak bangsa lain yang dipersatukan oleh bahasa ibu mereka. Maka, tak berlebihan ketika seorang tokoh pernah mengatakan, “Pastikan bahwa anak-anak Anda dididik dengan benar dalam bahasa ibu mereka, dan kemudian biarkan mereka melanjutkan ke cabang pembelajaran yang lebih tinggi.”
Anugerah Allah dalam Bahasa yang Satu
Bisakah Anda bayangkan jika dalam satu generasi kita tidak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan pemersatu? Niscaya, pada masa mendatang bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mati karena tidak biasa lagi digunakan. Pada momen peringatan Sumpah Pemuda, sekaligus pada bulan bahasa ini, kita diundang ikut melestarikan dan mencintai bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan anugerah umum Allah bagi rakyat Nusantara. Ia menjadi alat komunikasi yang memegang peranan penting dalam kehidupan warga negara. Dalam seratus tahun terakhir, bahasa Indonesia berperan penting terhadap perkembangan budaya masyarakat, termasuk dalam ibadah dan pelayanan Kristen. Dalam masa itu pula, pewartaan Injil dapat dirasakan lebih banyak orang dan memberkati mereka. Alkitab berbahasa Indonesia pun telah digunakan oleh orang percaya di Indonesia, sehingga tak dapat disangkal peran bahasa Indonesia begitu besar dalam pelayanan di lingkungan umat Kristen.
Kita bersyukur, sebagai orang percaya di Indonesia, Allah memberi kita kesempatan berpartisipasi merawat dan mengembangkan bahasa Indonesia, suatu alat yang memungkinkan kita berkomunikasi satu sama lain, bahkan sebagai sarana untuk mewartakan Kabar Baik bagi banyak orang. Sudah selayaknya kita melestarikan bahasa nasional kita dan mendidik anak-anak kita, sebagai generasi muda penerus bangsa, untuk mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia.
Menutup tulisan ini, ada satu kutipan yang layak untuk kita renungkan dan praktikkan dalam keseharian kita:
Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.
Baca Juga:
Dipanggil untuk Makin Memberi Dampak
Tujuh dekade lebih kita telah merdeka dan negeri ini masih dipenuhi oleh banyak masalah. Tetapi, kita tidak dipanggil untuk menjadi pesimis. Kita dipanggil untuk memberi dampak.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.