Penulis

Lihat Semua
Bill Crowder

Bill Crowder

Bill Crowder bertanggung jawab untuk isi materi pengajaran. Ia telah menulis banyak buklet Discovery Series dan buku Discovery House Publishers. Bill dan istrinya, Marlene, memiliki lima anak dan beberapa orang cucu.

Artikel oleh Bill Crowder

Momen Memalukan

Kilatan lampu dari mobil polisi menarik perhatian saya pada seorang pengendara mobil yang dipaksa menepi setelah melanggar lalu lintas. Ketika polisi yang memegang surat tilang berjalan kembali ke mobilnya, saya dapat melihat dengan jelas si pengendara mobil duduk tanpa daya di belakang setir sambil menahan malu. Dengan tangannya, wanita itu berusaha menutupi wajahnya dari pandangan orang-orang yang melintas untuk menyembunyikan siapa dirinya. Perbuatannya mengingatkan saya betapa memalukannya apabila pilihan kita yang buruk dan konsekuensinya diketahui oleh orang lain.

Berdiamlah

Eric Liddell, tokoh yang dikenang dalam film Chariots of Fire, memenangi medali emas pada Olimpiade Paris tahun 1924 sebelum kemudian ia pergi ke negeri China untuk menjadi seorang misionaris. Beberapa tahun kemudian, setelah pecah Perang Dunia II, Liddell mengungsikan keluarganya demi keamanan mereka ke Kanada, tetapi ia tetap tinggal di China. Segera setelah itu, Liddell dan sejumlah misionaris asing lainnya diasingkan oleh tentara Jepang ke dalam kamp tahanan. Setelah beberapa bulan ditahan, Liddell mengidap penyakit yang diduga para dokter sebagai tumor otak.

Ajaib!

Ketika pesawat kami sudah hendak mendarat, seorang pramugari datang dan membacakan sebuah daftar panjang tentang informasi kedatangan. Ia membacakannya seolah-olah untuk keseribu kalinya pada hari itu—tanpa emosi atau minat sembari ia terus membeberkan informasi menjelang pen-daratan dengan gaya yang monoton. Lalu, dengan suaranya yang tetap terdengar lelah dan tanpa semangat, ia mengakhiri pengumumannya dengan mengatakan, “Selamat menikmati hari yang indah ini.” Datarnya nada bicara pramugari ini sungguh bertolak belakang dengan kata-kata penutup yang diucapkannya tadi. Ia memang menyebutkan kata “indah”, tetapi dengan cara yang sama sekali tidak menunjukkan rasa takjub atas keindahan yang ada.

Batu Coade

Di seluruh penjuru kota London, terdapat banyak patung dan benda-benda lain yang terbuat dari bahan bangunan unik yang disebut batu Coade. Batu buatan yang dirancang oleh Eleanor Coade sebagai produksi usaha keluarganya di akhir abad ke-18 ini hampir tidak terhancurkan dan punya kemampuan untuk bertahan terhadap waktu, cuaca, dan polusi buatan manusia. Meski hal ini merupakan suatu penemuan yang hebat pada masa Revolusi Industri, batu Coade tidak lagi dibuat sejak 1840-an setelah kematian Eleanor, dan digantikan dengan semen Portland sebagai suatu bahan bangunan. Meski demikian, dewasa ini masih terdapat banyak karya berbahan batu keras mirip keramik ini yang telah bertahan selama lebih dari 150 tahun di tengah iklim London yang sering tak menentu.

Menjadi Saksi

Ketika saya masih remaja, saya pernah menyaksikan sebuah kecelakaan mobil. Pengalaman itu sendiri begitu mengejutkan, dan semakin diperburuk dengan apa yang harus saya jalani selanjutnya. Sebagai satu-satunya saksi atas kecelakaan itu, saya menghabiskan bulan-bulan berikutnya untuk berbicara dengan serentetan pengacara dan petugas asuransi tentang apa yang telah saya lihat. Saya tidak diminta untuk menjelaskan keadaan fisik dari mobil yang hancur atau rincian dari trauma medisnya. Saya diminta untuk hanya mengatakan apa yang telah saya saksikan.

Jalan Hikmat

Albert Einstein pernah mengatakan, “Hanya ada dua hal yang kekal. Alam semesta adalah yang pertama. Yang kedua itu kebodohan manusia, dan saya tidak begitu yakin tentang yang pertama.” Sayangnya, memang seringkali kebodohan yang kita lakukan seakan tidak mengenal batas—demikian juga kerusakan yang dihasilkan oleh kebodohan kita dan keputusan-keputusan yang mendorong kita bertindak bodoh.

Rahmat Yang Tak Berkesudahan

Ketika saya sedang berjalan-jalan menyusuri bandara O’Hare di Chicago, sesuatu memikat perhatian saya—sebuah topi yang dikenakan oleh seseorang yang melintas terburu-buru di tengah tempat terbuka dalam bandara itu. Yang memikat perhatian saya adalah pesan tertulis pada topi itu yang hanya terdiri dari dua kata: “Sangkal Semuanya”.Saya bertanya-tanya apa maksud dari kalimat pendek itu. Apakah itu berarti jangan pernah mengakui kesalahan? Atau bersikap untuk menolak kesenangan dan kemewahan hidup? Saya bertanya-tanya dalam hati sambil memikirkan apa arti dari dua kata sederhana tersebut, “Sangkal Semuanya”.

Hampir Puas?

Ketika melangkah ke tempat parkir suatu restoran setelah makan siang, saya melihat sebuah truk pick-up melaju kencang di depan semua kendaraan yang terparkir. Sementara mengamati perilaku sopir truk yang sembrono itu, saya memperhatikan kata-kata yang tercantum pada pelat nomor depan truk tersebut. Kata-kata itu tertulis, “Hampir Puas”. Setelah memikirkan tentang kata-kata tersebut dan maksud yang tersirat melaluinya, saya menyimpulkan bahwa konsep “hampir puas” itu tidak pernah ada. Pilihannya hanyalah entah kita puas atau tidak puas.

Perhatian 
Yang Melimpah

Beberapa waktu yang lalu, saya menulis sebuah artikel tentang istri saya, Marlene, dan pergumulannya dengan vertigo. Ketika artikel tersebut diterbitkan, saya tak menduga akan mendapatkan begitu banyak tanggapan dari para pembaca yang memberikan semangat, pertolongan, saran, dan terutama perhatian pada kesehatan istri saya. Pesan-pesan ini datang dari seluruh penjuru dunia dan dari orang-orang dengan beragam latar belakang. Ungkapan perhatian yang penuh kasih untuk istri saya ini membanjir sedemikian banyaknya sampai kami tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjawab semuanya. Kami takjub dan kagum ketika melihat bagaimana saudara-saudari seiman di dalam Kristus menanggapi pergumulan Marlene. Kami sangat bersyukur, dan masih terus bersyukur hingga hari ini.