Penulis

Lihat Semua
Joe Stowell

Joe Stowell

Joe Stowell menjabat sebagai presiden Cornerstone University di Michigan dan telah menulis sejumlah buku. Ia dan istrinya, Martie, adalah orangtua dari tiga anak yang telah dewasa dan kakek-nenek bagi sejumlah cucu.

Artikel oleh Joe Stowell

Persekutuan dengan Yesus

Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman istimewa untuk duduk di sebelah penginjil besar Billy Graham pada sebuah acara makan malam. Saya merasa terhormat sekaligus agak gugup memikirkan apa yang sepantasnya saya katakan kepadanya. Saya pikir menarik juga jika saya membuka percakapan dengan menanyai beliau tentang apa yang paling memberinya sukacita dalam pelayanannya selama bertahun-tahun. Kemudian saya mencoba untuk mengusulkan beberapa kemungkinan jawaban: Apakah waktu Anda mengenal banyak pemimpin negara di dunia? Atau waktu memberitakan Injil kepada jutaan orang di seluruh dunia?

Sikap Hati yang Bersyukur

Pada hari pernikahan kami, saya dan Martie dengan tulus dan gembira mengucapkan janji untuk setia “di saat senang maupun susah, saat sehat maupun sakit, saat berkelimpahan atau saat kekurangan.” Mungkin terasa aneh bahwa di tengah suasana hari pernikahan yang ceria, kedua mempelai mengucapkan janji tentang hadirnya masa-masa yang buruk, sakit-penyakit, dan kekurangan. Namun, janji itu menegaskan fakta bahwa di dalam hidup ini kita memang sering menghadapi masa-masa yang “buruk”.

Langkah yang Radikal

Beberapa tahun lalu, sahabat saya sempat kehilangan putra kecilnya saat berjalan menerobos kerumunan orang di salah satu stasiun kereta di pusat kota Chicago. Sungguh pengalaman yang menakutkan. Dengan kalang kabut, ia meneriakkan nama anaknya dan berlari balik ke eskalator untuk menelusuri langkahnya kembali dengan harapan akan menemukan putranya. Berpisah selama beberapa menit terasa seperti berjam-jam, dan syukurlah, putranya tiba-tiba menyeruak dari kerumunan dan berlari menuju dekapannya.

Kasih kepada yang Berbeda

Salah satu gereja yang saya cintai dimulai beberapa tahun lalu dengan tujuan melayani para mantan narapidana yang sedang belajar untuk kembali berkarya di tengah masyarakat. Hingga kini gereja tersebut berkembang dengan jemaat yang datang dari beragam latar belakang kehidupan. Saya mencintai gereja itu karena melaluinya saya diingatkan tentang bayangan saya akan suasana surga yang penuh dengan beragam orang, yakni para pendosa yang telah diselamatkan dan dipersatukan oleh kasih Yesus Kristus.

Mengarungi Derasnya Arus

Awalnya saya menikmati pengalaman pertama saya berarung jeram, tetapi kemudian saya mendengar debur arus air yang deras di depan saya. Emosi saya pun bercampur aduk—rasa ketidakyakinan, ketakutan, dan ketidakamanan muncul bersamaan. Mengarungi jeram merupakan pengalaman yang sangat menggentarkan! Namun kemudian, tiba-tiba saja, semua itu selesai. Pemandu kami yang duduk di bagian belakang rakit telah berhasil memandu kami melewati jeram itu. Saya aman—setidaknya sampai menghadapi jeram-jeram berikutnya.

Pengaruh Jangka Panjang

Beberapa tahun lalu, saya dan istri pernah tinggal di sebuah penginapan yang menyediakan sarapan di daerah terpencil bernama Yorkshire Dales di Inggris. Di sana juga tinggal empat pasangan lain yang semuanya orang Inggris dan tidak pernah kami kenal sebelumnya. Saat duduk di ruang tamu sembari menikmati kopi setelah makan malam, obrolan kami mengarah pada pekerjaan. Pada saat itu saya masih melayani sebagai presiden dari Moody Bible Institute di Chicago, dan saya mengira tak ada seorang pun dari mereka yang tahu tentang institut itu maupun pendirinya, D. L. Moody. Setelah menyebutkan nama sekolah itu, saya terkejut melihat respons mereka yang begitu cepat. “Moody dan Sankey . . . Moody yang terkenal itu?” Tamu lainnya menambahkan, “Di rumah kami ada sebuah buku himne yang ditulis Sankey dan keluarga kami sering berkumpul untuk menyanyikan pujian dari buku itu dengan iringan piano.” Saya takjub! Penginjil Dwight Moody dan musikus yang mengiringinya, Ira Sankey, pernah mengadakan sejumlah kebaktian kebangunan rohani di Kepulauan Britania lebih dari 120 tahun yang lalu, dan pengaruh mereka masih terasa sampai kini.

Lomba Mengucap Syukur

Di setiap musim gugur, kami mengadakan perayaan Thanksgiving yang seru di kampus Universitas Cornerstone. Mahasiswa kami sangat menyukainya! Tahun lalu sekelompok mahasiswa melakukan permainan dengan menantang satu sama lain untuk berlomba mengucapkan syukur dalam waktu kurang dari tiga detik tanpa boleh mengulang apa yang sudah dikatakan oleh rekan-rekannya. Yang ragu dan terlalu lama memberikan jawaban harus keluar dari permainan.

Menenangkan Jiwa

Sewaktu menghadiri sebuah konser, benak saya mengembara saat memikirkan kesulitan yang terus-menerus menyita perhatian saya. Syukurlah gangguan itu segera berlalu ketika saya mulai menghayati lirik dari sebuah himne pujian yang indah. Kelompok pria yang bernyanyi akapela itu sedang melantunkan himne “Be Still, My Soul” (Tenang dan Sabarlah). Air mata saya mengalir ketika saya mendengarkan lantunan liriknya dan merenungkan tentang ketenangan dari damai sejahtera yang hanya bisa diberikan oleh Allah.

Warisan Kehidupan

Ketika menginap di sebuah hotel di suatu kota kecil, saya melihat gereja di seberang jalan sedang mengadakan kebaktian. Gereja sudah begitu penuh tetapi masih ada sekerumunan orang dari muda sampai tua berdiri di luar gereja sampai ke trotoar. Setelah melihat sebuah mobil jenazah diparkir di pinggir jalan, barulah saya menyadari bahwa itu adalah kebaktian penghiburan. Melihat banyaknya orang di situ, saya mengira kebaktian tersebut diadakan untuk mengenang hidup dari seorang tokoh yang berjasa besar di daerah itu—mungkin seorang pengusaha kaya atau orang terkenal. Karena penasaran, saya bertanya kepada petugas hotel, “Banyak sekali orang yang datang ke kebaktian itu; pastilah yang meninggal itu orang terkenal di kota ini.”