Penuh Kehausan dan Rasa Syukur
Saya dan dua orang teman pernah mencoba mewujudkan salah satu impian kami, yaitu mendaki Grand Canyon. Saat memulai pendakian, kami sempat ragu apakah air minum yang kami bawa itu cukup. Benar saja, tak lama kemudian persediaan air itu pun habis, sementara perjalanan masih jauh. Sambil terengah-engah, kami pun berdoa. Kemudian, di suatu belokan, tampaklah apa yang kami sebut sebagai keajaiban. Kami melihat tiga botol air minum terselip di sela-sela batu dengan sebuah catatan: “Pasti kamu butuh ini. Selamat menikmati!” Kami hanya bisa tercengang dan saling berpandangan. Sambil mengucap syukur kepada Allah, kami minum beberapa teguk dan melanjutkan bagian akhir perjalanan. Belum pernah saya merasa begitu haus—dan begitu bersyukur—dalam hidup saya.
Nasihat dari Seorang yang Lebih Tua
“Apa yang kusesalkan?” Itulah pertanyaan yang dijawab oleh George Saunders, penulis buku terlaris New York Times, dalam pidatonya pada acara wisuda Universitas Syracuse tahun 2013. Cerita dari seseorang yang berusia lebih tua (Saunders) tentang sejumlah penyesalan yang dialami dalam hidupnya itu dimaksudkan agar mereka yang lebih muda (para wisudawan) dapat menerima hikmah dari pengalamannya. Ia menyebutkan beberapa hal yang mungkin diduga orang akan disesalinya, seperti jatuh miskin dan pengalaman bekerja yang kurang menyenangkan. Akan tetapi, Saunders sama sekali tidak menyesalkan semua itu. Yang benar-benar ia sesalkan justru adalah kegagalan untuk berbuat baik, yaitu kesempatan-kesempatan yang dimilikinya untuk berbaik hati kepada seseorang, tetapi tidak dilakukannya.
Mengasihi seperti Yesus
Ia dicintai semua orang—itulah kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan Don Guiseppe Berardelli dari Casnigo, Italia. Don sering berkeliling kota dengan sepeda motor tuanya dan senang menyapa siapa saja dengan “salam damai dan kebaikan.” Ia bekerja tanpa kenal lelah untuk kebaikan orang lain. Namun, pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ia mengalami gangguan kesehatan yang semakin parah ketika ia terinfeksi virus Corona. Melihat keadaan itu, komunitasnya membelikan sebuah alat bantu pernapasan baginya. Namun, ketika kondisinya memburuk, ia justru menolak menggunakan alat itu, dan memilih menyerahkan alat itu untuk digunakan oleh pasien lain yang lebih muda. Penolakan Don tidak mengherankan mereka yang mengenalnya, karena memang itulah karakternya sebagai seseorang yang dicintai dan dikagumi karena kasihnya kepada orang lain.
Berseru kepada Allah
Dalam buku Adopted for Life, Dr. Russell Moore menceritakan perjalanan keluarganya ke suatu panti asuhan untuk mengadopsi seorang anak. Ketika memasuki kamar anak-anak, kesunyian ruangan itu membuat mereka terkesiap. Bayi-bayi di dalam buaian itu tidak pernah menangis—bukan karena mereka tidak pernah membutuhkan apa pun, tetapi karena mereka menyadari tidak ada seorang pun yang cukup peduli untuk menanggapi mereka.
Sahabat yang Luar Biasa
Setelah beberapa tahun tidak bertemu seorang teman lama, saya mendapat kabar bahwa ia didiagnosis menderita kanker dan mulai menjalani perawatan. Secara tidak terduga, saya perlu mengunjungi kota tempat tinggalnya, sehingga saya berkesempatan untuk bertemu lagi dengannya. Ketika saya memasuki restoran tempat pertemuan kami, kami sama-sama tak kuasa menahan air mata. Sudah lama sekali kami tidak bertemu, dan sekarang kematian terasa dekat, mengingatkan kami betapa singkatnya hidup ini. Air mata kami berasal dari persahabatan panjang yang dipenuhi petualangan, canda gurau, suka duka—dan kasih. Kasih yang teramat besar itu meluap keluar dari sudut mata kami masing-masing.
Tempat Perlindungan Kita
Awalnya lahan itu menjadi tempat bison berkeliaran di Amerika Utara. Lalu datanglah suku-suku Indian Plains ke tempat itu, diikuti oleh para pemukim yang membawa ternak dan palawija. Di kemudian hari, lahan itu dijadikan tempat pembuatan bahan kimia setelah peristiwa pengeboman Pearl Harbor pada masa Perang Dunia II, bahkan berlanjut menjadi tempat demiliterisasi senjata pada masa Perang Dingin. Namun, pada suatu hari di sana ditemukan sebuah sarang elang botak, dan tak lama kemudian didirikanlah Suaka Margasatwa Nasional Rocky Mountain Arsenal—suatu padang rumput, lahan basah, dan area hutan seluas lima belas ribu hektar di tepi kota Denver, Colorado. Sekarang tempat itu adalah salah satu suaka margasatwa perkotaan terbesar di Amerika Serikat—tempat yang aman dan terlindung bagi lebih dari tiga ratus spesies hewan, mulai dari musang berkaki hitam, burung hantu penggali, hingga elang botak, dan satu lagi: bison yang hidup bebas.
Tidak Kehilangan Kontak
Penulis rohani, Madeleine L’Engle, membiasakan diri menelepon ibunya seminggu sekali. Beberapa tahun kemudian, setelah ibunya makin lanjut usia, Madeleine lebih sering lagi menelepon, “supaya tidak kehilangan kontak.” Karena alasan yang sama, Madeleine senang jika anak-anaknya menelepon dan tetap menjaga hubungan dengannya. Kadang-kadang, obrolan mereka panjang dan berisi percakapan penting. Di lain waktu, mereka menelepon hanya untuk memastikan bahwa nomor yang digunakan masih aktif. Seperti yang Madeleine tulis dalam bukunya, Walking on Water, “Sungguh baik bila anak-anak tidak kehilangan kontak dengan kita. Begitu juga kita semua, anak-anak Allah. Sungguh baik bila kita tidak kehilangan kontak dengan Bapa kita.”
Siraman Semangat
Saya menyebutnya sebagai keajaiban “dari gersang menjadi subur”. Hal ini terjadi setiap musim semi selama lebih dari lima belas tahun. Setelah bulan-bulan musim dingin, rumput di halaman kami penuh dengan debu dan berwarna cokelat pekat, sampai-sampai orang yang melihatnya mungkin mengira rumput itu sudah mati. Colorado memang memiliki pegunungan yang bersalju, tetapi iklim di dataran rendahnya selalu kering, bahkan pada musim panas daerah itu selalu terancam kekeringan. Namun, sekitar akhir Mei setiap tahun, saya menyalakan alat penyiram yang mengeluarkan sedikit air tetapi konsisten. Lalu, dalam waktu dua minggu, rumput yang semula kering dan cokelat berubah menjadi lebat dan hijau.
Tetapi Aku Berkata Kepadamu
“Ibu tahu apa yang mereka katakan. Tapi, Ibu bilang sama kamu . . .” Waktu masih kecil, mungkin ribuan kali saya mendengar ibu saya mengucapkan petuah seperti itu. Konteksnya selalu soal tekanan dari teman sebaya. Ibu mencoba mengajarkan kepada saya untuk tidak begitu saja ikut arus. Namun, meski bukan anak-anak lagi, mentalitas untuk ikut arus masih cukup kuat bercokol dalam diri ini. Contohnya nasihat ini: “Tempatkanlah dirimu di antara orang-orang yang berpandangan positif.” Meski kalimat itu sudah umum, kita patut mengujinya dengan bertanya: “Apakah itu sesuai dengan ajaran Kristus?”