Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh John Blase

Lihatlah dari Buahnya

“Silakan [nama orang] yang asli berdiri.” Inilah kalimat pemungkas acara televisi To Tell the Truth. Panel berisi empat orang selebriti mengajukan serangkaian pertanyaan kepada tiga orang yang mengaku sebagai orang yang sama. Tentu saja, dua dari mereka bukan orang yang asli, tetapi juri harus menebak mana yang asli. Dalam satu episode, para selebriti mencoba menebak “Johnny Marks yang asli”, penulis lirik lagu Rudolph the Red-Nosed Reindeer. Meski sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jitu, para panelis kesulitan menebak Johnny Marks yang asli. Kedua Johnny yang palsu berhasil mengecoh mereka, sehingga menghasilkan suatu acara televisi yang sangat menghibur.

Kita Membutuhkan Pertolongan Yesus

Akhirnya hari itu tiba—hari ketika saya menyadari ayah saya bukan orang yang tidak terkalahkan. Sewaktu saya kecil, saya mengenal kekuatan dan keteguhan tekad Ayah. Namun, ketika saya beranjak dewasa, beliau mengalami cedera punggung, dan saya pun tersadar bahwa beliau hanyalah manusia biasa. Saya tinggal bersama orangtua saya agar saya dapat menolong ayah saya ke kamar mandi, membantunya berpakaian, bahkan membantunya minum. Tidak mudah bagi beliau untuk mengakui segala keterbatasan itu. Awalnya ia mencoba melakukan beberapa hal kecil sendirian, tetapi ia mengakui, “Aku tak bisa melakukan apa-apa tanpa pertolonganmu, Nak.” Akhirnya kekuatannya pulih kembali, tetapi pengalaman tadi mengajarkan hal penting bagi kami berdua. Manusia hidup saling membutuhkan. 

Percakapan Iman di Rumah

“Tiada tempat seindah rumah. Tiada tempat seindah rumah.” Ucapan Dorothy yang terkenal dalam film The Wizard of Oz tersebut memperlihatkan alur penceritaan yang terdapat juga dalam banyak film klasik lainnya, dari Star Wars hingga Lion King. Alur tersebut dikenal sebagai “perjalanan sang pahlawan”. Intinya: seorang biasa, yang sedang menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, tiba-tiba dihadapkan pada petualangan yang luar biasa. Sang tokoh meninggalkan rumah dan pergi ke dunia yang berbeda. Di sana telah menanti berbagai ujian dan tantangan, sekaligus para mentor dan penjahat. Bila sang tokoh lulus ujian dan terbukti layak disebut pahlawan, maka langkah akhirnya adalah pulang ke rumah dengan membawa hikmah dan kisah luar biasa untuk dibagikannya. Bagian akhir ini sangatlah krusial.

Bapa Kami

Hampir setiap pagi saya mengucapkan Doa Bapa Kami. Saya merasa belum siap menyambut hari yang baru sampai saya menghayati kata-kata dalam doa tersebut. Baru-baru ini, ponsel saya berdering ketika saya baru mengucapkan dua kata pertama—“Bapa kami”. Saya terkejut karena jam baru menunjukkan pukul 05.43. Siapa yang menelepon sepagi ini? Di layar ponsel muncul tulisan “Bapak”. Sebelum sempat mengangkatnya, telepon saya sudah berhenti berdering. Saya rasa ayah saya tadi salah pencet. Ternyata memang begitu. Apa itu hanya kebetulan? Bisa saja, tetapi saya percaya kita hidup dalam dunia yang diliputi belas kasihan Allah. Hari itu saya memang sedang membutuhkan kepastian hadirnya Bapa di surga.

Pengumuman dan Kepastian

Banyak acara pengumuman jenis kelamin bayi berlangsung dramatis. Di Juli 2019, sebuah mobil menghamburkan asap berwarna biru untuk mengumumkan bahwa jenis kelamin bayinya laki-laki. Kemudian, di bulan September, sebuah pesawat penyiram tanaman di Texas menumpahkan ratusan galon air berwarna merah muda sebagai pengumuman hadirnya bayi perempuan. Namun, ada “pengumuman” lain, yang mengungkapkan hal penting tentang dunia kita. Pada akhir tahun yang sama, YouVersion mengumumkan ayat yang paling banyak dibagikan, ditandai, dan disimpan tahun itu dalam versi daring dan aplikasinya adalah Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Suara Bapa

Ayah teman saya meninggal dunia baru-baru ini. Beliau jatuh sakit, lalu kondisinya menurun dengan cepat, kemudian harus berpulang dalam hitungan hari. Hubungan teman saya dan ayahnya sangat dekat, dan masih banyak yang ingin ia lakukan bersama ayahnya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab dan percakapan yang belum sempat diucapkan sebelum ayahnya tiada. Walaupun teman saya seorang konselor terlatih, yang paham benar jatuh bangun dalam masa dukacita dan sering menolong orang lain untuk menghadapi masa-masa sulit tersebut, ia tetap berkata, “Ada hari-hari ketika aku membutuhkan suara Ayah, yang mengingatkan aku akan kasihnya. Ucapannya sungguh berarti bagiku.”

Doa-doa yang Belum Dijawab

Sudah sampai, belum?/ Belum./ Sudah sampai?/ Belum. Demikianlah “permainan” kami sepanjang perjalanan mudik pertama (dan pasti bukan yang terakhir) selama enam belas jam dari Colorado ke Arkansas saat anak-anak kami masih kecil. Dua anak terbesar kami terus-menerus “memainkannya”, dan kalau ada hadiah satu dolar untuk setiap kali mereka bertanya, saya pasti sudah kaya raya. Pertanyaan itu menjadi obsesi anak-anak saya, tetapi sebenarnya saya yang mengemudikan mobil juga terobsesi dengan pertanyaan, Sudah sampai, belum? Dan jawabannya, Belum, sebentar lagi.

Memberi Selagi Masih Hidup

Seorang pengusaha sukses memutuskan untuk membagi-bagikan hartanya dalam beberapa dekade terakhir hidupnya. Sebagai seorang miliuner, ia mendonasikan uang kepada berbagai gerakan sosial, seperti usaha menciptakan perdamaian di Irlandia Utara dan upaya modernisasi sistem perawatan kesehatan di Vietnam. Tak lama sebelum meninggal dunia, ia mendonasikan 350 juta dolar untuk menjadikan Pulau Roosevelt di kota New York sebagai pusat pengembangan teknologi. Beliau berkata, “Saya percaya kita harus memberi selagi masih hidup. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda dalam memberi . . . Lagi pula, lebih bahagia memberi selagi masih hidup daripada setelah meninggal.” Memberi selagi masih hidup adalah sikap yang luar biasa.

Kita Membutuhkan Komunitas Gereja

Saya anak pertama seorang pendeta Gereja Baptis Selatan. Sudah jelas apa yang diharapkan dari saya setiap hari Minggu: saya harus ke gereja. Perkecualiannya? Mungkin kalau saya demam. Namun, terus terang saja, saya senang ke gereja, bahkan meskipun sedang demam. Namun, dunia berubah, dan jumlah jemaat yang rutin datang ke gereja tidak seperti dulu lagi. Tentu saja pertanyaannya, mengapa demikian? Jawabannya banyak dan beragam. Penulis Kathleen Norris menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang diterimanya dari seorang pendeta. Ketika ditanya, ”Mengapa kita pergi ke gereja?” pendeta itu menjawab, “Kita pergi ke gereja untuk orang lain, karena mungkin saja seseorang membutuhkan Anda di gereja.”