Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh John Blase

Bapa Kami

Hampir setiap pagi saya mengucapkan Doa Bapa Kami. Saya merasa belum siap menyambut hari yang baru sampai saya menghayati kata-kata dalam doa tersebut. Baru-baru ini, ponsel saya berdering ketika saya baru mengucapkan dua kata pertama—“Bapa kami”. Saya terkejut karena jam baru menunjukkan pukul 05.43. Siapa yang menelepon sepagi ini? Di layar ponsel muncul tulisan “Bapak”. Sebelum sempat mengangkatnya, telepon saya sudah berhenti berdering. Saya rasa ayah saya tadi salah pencet. Ternyata memang begitu. Apa itu hanya kebetulan? Bisa saja, tetapi saya percaya kita hidup dalam dunia yang diliputi belas kasihan Allah. Hari itu saya memang sedang membutuhkan kepastian hadirnya Bapa di surga.

Pengumuman dan Kepastian

Banyak acara pengumuman jenis kelamin bayi berlangsung dramatis. Di Juli 2019, sebuah mobil menghamburkan asap berwarna biru untuk mengumumkan bahwa jenis kelamin bayinya laki-laki. Kemudian, di bulan September, sebuah pesawat penyiram tanaman di Texas menumpahkan ratusan galon air berwarna merah muda sebagai pengumuman hadirnya bayi perempuan. Namun, ada “pengumuman” lain, yang mengungkapkan hal penting tentang dunia kita. Pada akhir tahun yang sama, YouVersion mengumumkan ayat yang paling banyak dibagikan, ditandai, dan disimpan tahun itu dalam versi daring dan aplikasinya adalah Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Suara Bapa

Ayah teman saya meninggal dunia baru-baru ini. Beliau jatuh sakit, lalu kondisinya menurun dengan cepat, kemudian harus berpulang dalam hitungan hari. Hubungan teman saya dan ayahnya sangat dekat, dan masih banyak yang ingin ia lakukan bersama ayahnya. Banyak pertanyaan yang belum terjawab dan percakapan yang belum sempat diucapkan sebelum ayahnya tiada. Walaupun teman saya seorang konselor terlatih, yang paham benar jatuh bangun dalam masa dukacita dan sering menolong orang lain untuk menghadapi masa-masa sulit tersebut, ia tetap berkata, “Ada hari-hari ketika aku membutuhkan suara Ayah, yang mengingatkan aku akan kasihnya. Ucapannya sungguh berarti bagiku.”

Doa-doa yang Belum Dijawab

Sudah sampai, belum?/ Belum./ Sudah sampai?/ Belum. Demikianlah “permainan” kami sepanjang perjalanan mudik pertama (dan pasti bukan yang terakhir) selama enam belas jam dari Colorado ke Arkansas saat anak-anak kami masih kecil. Dua anak terbesar kami terus-menerus “memainkannya”, dan kalau ada hadiah satu dolar untuk setiap kali mereka bertanya, saya pasti sudah kaya raya. Pertanyaan itu menjadi obsesi anak-anak saya, tetapi sebenarnya saya yang mengemudikan mobil juga terobsesi dengan pertanyaan, Sudah sampai, belum? Dan jawabannya, Belum, sebentar lagi.

Memberi Selagi Masih Hidup

Seorang pengusaha sukses memutuskan untuk membagi-bagikan hartanya dalam beberapa dekade terakhir hidupnya. Sebagai seorang miliuner, ia mendonasikan uang kepada berbagai gerakan sosial, seperti usaha menciptakan perdamaian di Irlandia Utara dan upaya modernisasi sistem perawatan kesehatan di Vietnam. Tak lama sebelum meninggal dunia, ia mendonasikan 350 juta dolar untuk menjadikan Pulau Roosevelt di kota New York sebagai pusat pengembangan teknologi. Beliau berkata, “Saya percaya kita harus memberi selagi masih hidup. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda dalam memberi . . . Lagi pula, lebih bahagia memberi selagi masih hidup daripada setelah meninggal.” Memberi selagi masih hidup adalah sikap yang luar biasa.

Kita Membutuhkan Komunitas Gereja

Saya anak pertama seorang pendeta Gereja Baptis Selatan. Sudah jelas apa yang diharapkan dari saya setiap hari Minggu: saya harus ke gereja. Perkecualiannya? Mungkin kalau saya demam. Namun, terus terang saja, saya senang ke gereja, bahkan meskipun sedang demam. Namun, dunia berubah, dan jumlah jemaat yang rutin datang ke gereja tidak seperti dulu lagi. Tentu saja pertanyaannya, mengapa demikian? Jawabannya banyak dan beragam. Penulis Kathleen Norris menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang diterimanya dari seorang pendeta. Ketika ditanya, ”Mengapa kita pergi ke gereja?” pendeta itu menjawab, “Kita pergi ke gereja untuk orang lain, karena mungkin saja seseorang membutuhkan Anda di gereja.”

Para Penyembah yang Benar

Penulis Annie Dillard akhirnya berkesempatan mengunjungi gereja itu. Di bagian terdalam dari ruang bawah tanah gereja, ia masuk ke sebuah gua kecil yang disebut grotto. Lilin-lilin memenuhi ruang sempit itu dan lampu-lampu gantung menerangi sebuah sudut pada lantai. Di sanalah terdapat sebuah bintang perak dengan empat belas titik, menutupi sebagian kecil undakan di lantai marmer. Annie sedang berada di Gua Kelahiran di Betlehem—tempat yang menandai lokasi kelahiran Kristus menurut tradisi gereja. Akan tetapi, Annie tidak begitu terkesan, sembari menyadari bahwa Allah sesungguhnya jauh lebih besar dari tempat itu.

Allah Bernyanyi Karena Kita

Tujuh belas bulan setelah anak pertama kami—laki-laki—lahir, istri saya melahirkan seorang anak perempuan. Rasa senang saya karena memiliki anak perempuan bercampur dengan perasaan kikuk, karena saya sudah terbiasa dengan anak laki-laki dan tidak begitu paham cara membesarkan anak perempuan. Kami memberinya nama Sarah, dan salah satu sukacita saya adalah meninabobokannya sampai tertidur supaya istri saya bisa beristirahat. Entah mengapa, ketika saya mulai mencoba meninabobokannya, saya memilih lagu “You Are My Sunshine” (Kaulah Cahaya Matahariku). Entah ketika saya menimangnya atau berdiri di samping tempat tidurnya, saya pasti bernyanyi karena kehadirannya, dan saya sangat menikmatinya. Sekarang putri saya sudah berumur dua puluhan tahun, tetapi saya masih memanggilnya Sunshine.

Semua Hal

Setiap Jumat malam, warta berita nasional yang ditonton oleh keluarga saya selalu mengakhiri siarannya dengan mengangkat kisah yang menginspirasi. Liputan penutup itu terasa bagaikan angin segar karena sangat berbeda dengan berita-berita sebelumnya yang bernada suram. Program tersebut baru-baru ini bercerita tentang seorang wartawan yang sempat terinfeksi virus COVID-19 lalu sembuh total. Ia memutuskan untuk menyumbangkan plasma darahnya agar dapat menolong orang lain yang sedang berjuang melawan virus tersebut. Waktu itu, para ahli masih memperdebatkan seberapa efektifnya antibodi seseorang dalam melawan virus. Namun, di saat banyak orang merasa tidak berdaya, bahkan ragu-ragu untuk pergi mendonorkan plasma darah mereka, si wartawan justru merasa hal tersebut sebagai “harga yang layak dibayar demi hasil yang bisa diperoleh.”