Memberi Selagi Masih Hidup
Seorang pengusaha sukses memutuskan untuk membagi-bagikan hartanya dalam beberapa dekade terakhir hidupnya. Sebagai seorang miliuner, ia mendonasikan uang kepada berbagai gerakan sosial, seperti usaha menciptakan perdamaian di Irlandia Utara dan upaya modernisasi sistem perawatan kesehatan di Vietnam. Tak lama sebelum meninggal dunia, ia mendonasikan 350 juta dolar untuk menjadikan Pulau Roosevelt di kota New York sebagai pusat pengembangan teknologi. Beliau berkata, “Saya percaya kita harus memberi selagi masih hidup. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda dalam memberi . . . Lagi pula, lebih bahagia memberi selagi masih hidup daripada setelah meninggal.” Memberi selagi masih hidup adalah sikap yang luar biasa.
Kita Membutuhkan Komunitas Gereja
Saya anak pertama seorang pendeta Gereja Baptis Selatan. Sudah jelas apa yang diharapkan dari saya setiap hari Minggu: saya harus ke gereja. Perkecualiannya? Mungkin kalau saya demam. Namun, terus terang saja, saya senang ke gereja, bahkan meskipun sedang demam. Namun, dunia berubah, dan jumlah jemaat yang rutin datang ke gereja tidak seperti dulu lagi. Tentu saja pertanyaannya, mengapa demikian? Jawabannya banyak dan beragam. Penulis Kathleen Norris menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang diterimanya dari seorang pendeta. Ketika ditanya, ”Mengapa kita pergi ke gereja?” pendeta itu menjawab, “Kita pergi ke gereja untuk orang lain, karena mungkin saja seseorang membutuhkan Anda di gereja.”
Para Penyembah yang Benar
Penulis Annie Dillard akhirnya berkesempatan mengunjungi gereja itu. Di bagian terdalam dari ruang bawah tanah gereja, ia masuk ke sebuah gua kecil yang disebut grotto. Lilin-lilin memenuhi ruang sempit itu dan lampu-lampu gantung menerangi sebuah sudut pada lantai. Di sanalah terdapat sebuah bintang perak dengan empat belas titik, menutupi sebagian kecil undakan di lantai marmer. Annie sedang berada di Gua Kelahiran di Betlehem—tempat yang menandai lokasi kelahiran Kristus menurut tradisi gereja. Akan tetapi, Annie tidak begitu terkesan, sembari menyadari bahwa Allah sesungguhnya jauh lebih besar dari tempat itu.
Allah Bernyanyi Karena Kita
Tujuh belas bulan setelah anak pertama kami—laki-laki—lahir, istri saya melahirkan seorang anak perempuan. Rasa senang saya karena memiliki anak perempuan bercampur dengan perasaan kikuk, karena saya sudah terbiasa dengan anak laki-laki dan tidak begitu paham cara membesarkan anak perempuan. Kami memberinya nama Sarah, dan salah satu sukacita saya adalah meninabobokannya sampai tertidur supaya istri saya bisa beristirahat. Entah mengapa, ketika saya mulai mencoba meninabobokannya, saya memilih lagu “You Are My Sunshine” (Kaulah Cahaya Matahariku). Entah ketika saya menimangnya atau berdiri di samping tempat tidurnya, saya pasti bernyanyi karena kehadirannya, dan saya sangat menikmatinya. Sekarang putri saya sudah berumur dua puluhan tahun, tetapi saya masih memanggilnya Sunshine.
Semua Hal
Setiap Jumat malam, warta berita nasional yang ditonton oleh keluarga saya selalu mengakhiri siarannya dengan mengangkat kisah yang menginspirasi. Liputan penutup itu terasa bagaikan angin segar karena sangat berbeda dengan berita-berita sebelumnya yang bernada suram. Program tersebut baru-baru ini bercerita tentang seorang wartawan yang sempat terinfeksi virus COVID-19 lalu sembuh total. Ia memutuskan untuk menyumbangkan plasma darahnya agar dapat menolong orang lain yang sedang berjuang melawan virus tersebut. Waktu itu, para ahli masih memperdebatkan seberapa efektifnya antibodi seseorang dalam melawan virus. Namun, di saat banyak orang merasa tidak berdaya, bahkan ragu-ragu untuk pergi mendonorkan plasma darah mereka, si wartawan justru merasa hal tersebut sebagai “harga yang layak dibayar demi hasil yang bisa diperoleh.”
Alasan yang Baik
Kedua wanita itu duduk di kursi bagian luar yang saling berseberangan di dalam pesawat. Saya tertarik menyaksikan interaksi mereka berdua di sepanjang penerbangan kami yang berlangsung dua jam. Jelas sekali mereka saling mengenal, bahkan mungkin ada hubungan keluarga. Wanita yang lebih muda (mungkin berusia 60-an) berulang kali merogoh tas untuk mengulurkan bermacam-macam benda kepada wanita yang lebih tua (dugaan saya berusia 90-an), seperti irisan apel segar, irisan roti lapis, tisu basah untuk bersih-bersih, dan terakhir, satu eksemplar koran New York Times yang terlipat rapi. Setiap benda dipindahtangankan dengan begitu lembut dan penuh hormat. Ketika kami bersiap-siap turun dari pesawat, saya berkata kepada wanita yang lebih muda, “Dari tadi saya mengamati cara Anda mengurus beliau. Perhatian Anda sangat indah.” Wanita itu berkata, “Beliau ibu sekaligus sahabat saya.”
Doa yang Tidak Tergesa-Gesa
Alice Kaholusuna bercerita tentang bagaimana orang Hawaii biasa duduk di luar kuil penyembahan mereka lumayan lama untuk mempersiapkan diri sebelum masuk ke dalamnya. Bahkan setelah berada di dalam kuil, mereka masih merayap ke altar untuk berdoa. Sesudahnya, mereka kembali duduk lumayan lama di luar untuk “mengembuskan napas” ke dalam doa-doa mereka. Ketika para misionaris datang ke pulau tersebut, cara doa mereka sering dianggap aneh oleh orang Hawaii. Para misionaris biasa berdoa dengan berdiri, mengucapkan beberapa kalimat, menutup dengan “amin”, lalu selesai. Orang Hawaii menyebut doa-doa seperti itu sebagai “doa tanpa napas.”
Meluangkan Waktu Bersama Allah
A River Runs Through It adalah kisah indah yang ditulis Norman Maclean tentang dua anak laki-laki yang besar di wilayah barat Montana bersama ayah mereka, seorang pendeta gereja Presbiterian. Biasanya pada Minggu pagi, Norman dan adiknya, Paul, beribadah di gereja dan mendengarkan ayah mereka berkhotbah. Pada Minggu sore ada satu kali kebaktian lagi dan ayah mereka akan kembali berkhotbah. Namun, di antara kedua kebaktian tersebut, kedua anak itu mempunyai waktu bebas untuk menjelajahi bukit dan sungai bersama ayah mereka “yang ingin melepas lelah di antara pelayanan.” Sang ayah sengaja menarik diri dari kesibukannya agar “semangatnya dipulihkan dengan kekuatan yang berlimpah-limpah untuk berkhotbah pada sore harinya.”
Kerajaan Allah
Ibu saya mengabdikan dirinya kepada banyak hal di sepanjang hidupnya, tetapi satu yang tidak pernah berubah adalah kerinduannya melihat anak-anak kecil diperkenalkan kepada Tuhan Yesus. Saya jarang melihat ibu saya menyatakan ketidaksetujuannya di depan umum, tetapi setiap kali beliau melakukannya adalah ketika seseorang mengajukan rencana pemotongan anggaran pelayanan anak supaya dananya dapat dipakai untuk pelayanan lain yang dianggap lebih “serius”. “Ibu hanya pernah cuti pelayanan satu kali, yaitu waktu mengandung kakak laki-lakimu, sekali itu saja,” katanya kepada saya. Jika saya hitung-hitung, ibu saya sudah aktif dalam pelayanan anak di gereja selama lima puluh lima tahun.