Semua Hal
Setiap Jumat malam, warta berita nasional yang ditonton oleh keluarga saya selalu mengakhiri siarannya dengan mengangkat kisah yang menginspirasi. Liputan penutup itu terasa bagaikan angin segar karena sangat berbeda dengan berita-berita sebelumnya yang bernada suram. Program tersebut baru-baru ini bercerita tentang seorang wartawan yang sempat terinfeksi virus COVID-19 lalu sembuh total. Ia memutuskan untuk menyumbangkan plasma darahnya agar dapat menolong orang lain yang sedang berjuang melawan virus tersebut. Waktu itu, para ahli masih memperdebatkan seberapa efektifnya antibodi seseorang dalam melawan virus. Namun, di saat banyak orang merasa tidak berdaya, bahkan ragu-ragu untuk pergi mendonorkan plasma darah mereka, si wartawan justru merasa hal tersebut sebagai “harga yang layak dibayar demi hasil yang bisa diperoleh.”
Alasan yang Baik
Kedua wanita itu duduk di kursi bagian luar yang saling berseberangan di dalam pesawat. Saya tertarik menyaksikan interaksi mereka berdua di sepanjang penerbangan kami yang berlangsung dua jam. Jelas sekali mereka saling mengenal, bahkan mungkin ada hubungan keluarga. Wanita yang lebih muda (mungkin berusia 60-an) berulang kali merogoh tas untuk mengulurkan bermacam-macam benda kepada wanita yang lebih tua (dugaan saya berusia 90-an), seperti irisan apel segar, irisan roti lapis, tisu basah untuk bersih-bersih, dan terakhir, satu eksemplar koran New York Times yang terlipat rapi. Setiap benda dipindahtangankan dengan begitu lembut dan penuh hormat. Ketika kami bersiap-siap turun dari pesawat, saya berkata kepada wanita yang lebih muda, “Dari tadi saya mengamati cara Anda mengurus beliau. Perhatian Anda sangat indah.” Wanita itu berkata, “Beliau ibu sekaligus sahabat saya.”
Doa yang Tidak Tergesa-Gesa
Alice Kaholusuna bercerita tentang bagaimana orang Hawaii biasa duduk di luar kuil penyembahan mereka lumayan lama untuk mempersiapkan diri sebelum masuk ke dalamnya. Bahkan setelah berada di dalam kuil, mereka masih merayap ke altar untuk berdoa. Sesudahnya, mereka kembali duduk lumayan lama di luar untuk “mengembuskan napas” ke dalam doa-doa mereka. Ketika para misionaris datang ke pulau tersebut, cara doa mereka sering dianggap aneh oleh orang Hawaii. Para misionaris biasa berdoa dengan berdiri, mengucapkan beberapa kalimat, menutup dengan “amin”, lalu selesai. Orang Hawaii menyebut doa-doa seperti itu sebagai “doa tanpa napas.”
Meluangkan Waktu Bersama Allah
A River Runs Through It adalah kisah indah yang ditulis Norman Maclean tentang dua anak laki-laki yang besar di wilayah barat Montana bersama ayah mereka, seorang pendeta gereja Presbiterian. Biasanya pada Minggu pagi, Norman dan adiknya, Paul, beribadah di gereja dan mendengarkan ayah mereka berkhotbah. Pada Minggu sore ada satu kali kebaktian lagi dan ayah mereka akan kembali berkhotbah. Namun, di antara kedua kebaktian tersebut, kedua anak itu mempunyai waktu bebas untuk menjelajahi bukit dan sungai bersama ayah mereka “yang ingin melepas lelah di antara pelayanan.” Sang ayah sengaja menarik diri dari kesibukannya agar “semangatnya dipulihkan dengan kekuatan yang berlimpah-limpah untuk berkhotbah pada sore harinya.”
Kerajaan Allah
Ibu saya mengabdikan dirinya kepada banyak hal di sepanjang hidupnya, tetapi satu yang tidak pernah berubah adalah kerinduannya melihat anak-anak kecil diperkenalkan kepada Tuhan Yesus. Saya jarang melihat ibu saya menyatakan ketidaksetujuannya di depan umum, tetapi setiap kali beliau melakukannya adalah ketika seseorang mengajukan rencana pemotongan anggaran pelayanan anak supaya dananya dapat dipakai untuk pelayanan lain yang dianggap lebih “serius”. “Ibu hanya pernah cuti pelayanan satu kali, yaitu waktu mengandung kakak laki-lakimu, sekali itu saja,” katanya kepada saya. Jika saya hitung-hitung, ibu saya sudah aktif dalam pelayanan anak di gereja selama lima puluh lima tahun.
Berjalan, Bukan Berlari
Saya memperhatikan ada seorang wanita di wilayah kami yang setiap hari sudah aktif sebelum fajar menyingsing. Ia adalah seorang pejalan cepat (power walker). Setiap kali saya mengantar anak-anak ke sekolah, ia selalu sudah ada di bahu jalan. Dengan mengenakan headphones berukuran besar dan kaos kaki selutut berwarna-warni, ia berjalan dengan lengan dan kaki terayun bergantian, dengan salah satu kaki selalu menapak tanah. Olahraga ini berbeda dengan lari atau jogging. Jalan cepat jenis ini melibatkan teknik-teknik yang sengaja dibatasi untuk mengekang keinginan alamiah tubuh untuk berlari. Meski kesannya tidak demikian, sebenarnya jalan cepat juga membutuhkan energi, fokus, dan kekuatan sebanyak yang diperlukan untuk berlari atau jogging. Hanya dalam jalan cepat, semua itu terkendali.
Melayani yang Paling Hina
Namanya Spencer. Namun, semua orang memanggilnya “Spence.” Ia juara lomba lari tingkat SMA di negara bagiannya, lalu diterima masuk universitas bergengsi dengan beasiswa penuh. Spencer kini tinggal di salah satu kota terbesar di Amerika Serikat dan menjadi ahli teknik kimia yang sangat disegani. Akan tetapi, jika ditanya tentang prestasi tertingginya, Spencer tidak akan menyebutkan hal-hal tadi. Dengan penuh semangat ia akan bercerita tentang perjalanan yang ditempuhnya beberapa bulan sekali ke Nikaragua untuk menengok kondisi anak-anak dan guru-guru dalam program pendidikan yang ia bantu dirikan di salah satu daerah termiskin di negara itu. Ia juga akan bercerita bagaimana hidupnya telah diperkaya dengan melayani mereka.
Alasan Penulisan
“Tuhan adalah kota bentengku . . . Kami meninggalkan kamp sambil menyanyikannya.” Tanggal 7 September 1943, Etty Hillesum menuliskan kata-kata tersebut pada sehelai kartu pos dan melemparkannya dari atas kereta api. Itulah catatan terakhir darinya. Tanggal 30 November 1943, ia mati dibunuh di Auschwitz. Di kemudian hari, catatan harian Hillesum tentang pengalamannya di kamp konsentrasi diterjemahkan dan diterbitkan. Catatan tersebut merangkum pengalamannya melihat kengerian dari pendudukan Nazi berpadu dengan keindahan dunia ciptaan Allah. Tulisan Hillesum yang telah diterjemahkan ke dalam enam puluh tujuh bahasa itu menjadi berkat bagi setiap pembacanya yang mempercayai adanya kebaikan di tengah segala kejahatan yang merebak.
Percayalah Kepada Terang
Prakiraan cuaca menyebut akan terjadi bomb cyclone. Itu adalah angin topan besar yang terjadi ketika intensitas badai musim dingin meningkat dengan cepat karena turunnya tekanan udara di atmosfer. Badai salju yang terjadi pada malam hari membuat jalan raya menuju bandara Denver hampir tidak terlihat. Hampir. Namun, karena anak perempuan saya terbang mengunjungi kami, saya rela melakukan apa saja baginya. Dengan membawa pakaian ekstra dan cadangan air minum (persiapan kalau-kalau saya terjebak badai di jalan), saya mengemudikan mobil dengan sangat pelan sambil tidak henti-hentinya berdoa dan mengandalkan sorot lampu mobil. Dengan begitu, hal yang hampir mustahil pun dapat dilakukan.