Layak Kita Memuji
Sebagai lelaki yang mencoba teguh memegang prinsip, hari itu saya merasa sangat gagal. Apa yang telah saya lakukan? Saya tertidur. Masalahnya begini: saya menerapkan jam malam terhadap anak-anak saya ketika mereka keluar di malam hari. Saya percaya mereka anak-anak yang baik, tetapi saya memang terbiasa terjaga dan menunggu sampai mendengar pintu depan rumah kami dibuka. Saya harus memastikan bahwa mereka sudah pulang dengan selamat. Meski bukan keharusan, tetapi saya memilih melakukannya. Namun, suatu malam, saya dibangunkan putri saya yang berkata sambil tersenyum, “Ayah, aku sudah pulang dengan selamat. Ayah bisa masuk kamar sekarang.” Sebaik apa pun niat kita, terkadang kita tertidur selagi berjaga. Sesuatu yang wajar, dan juga sangat manusiawi.
Alasan untuk Bermegah
Bagaimana rasanya menjadi sesuatu yang nyata? Pertanyaan menggelitik itu dijawab dalam buku cerita anak The Velveteen Rabbit (Si Kelinci Beludru). Buku itu bercerita tentang mainan-mainan di ruang bermain anak dan perjalanan si kelinci beludru untuk menjadi nyata dengan mengizinkan dirinya dikasihi oleh seorang anak kecil. Salah satu mainan lainnya adalah Si Kuda Tua yang bijaksana. Diceritakan bahwa ia “telah menyaksikan mainan demi mainan mekanik datang silih berganti, berlagak jagoan, tetapi kemudian pelan-pelan rusak . . . dan akhirnya mati.” Pada awalnya gaya dan suara mereka sangat mengagumkan, tetapi akhirnya kesombongan menjadikan mereka tidak bisa dikasihi.
Perbuatan yang Sesuai Perkataan
Pendeta dan penulis Eugene Peterson pernah berkesempatan mendengarkan kuliah dari Paul Tournier, seorang dokter dan konselor pastoral asal Swiss yang sangat dihormati. Peterson telah membaca tulisan sang dokter dan mengagumi caranya membimbing orang kepada kesembuhan. Kuliah tersebut meninggalkan kesan mendalam pada diri Peterson. Sepanjang kuliah, ia merasa Tournier benar-benar menerapkan apa yang ia bicarakan, dan berbicara tentang apa yang ia terapkan. Peterson memilih kata congruence (kesesuaian) untuk menggambarkan pengalamannya.
Jangan Lewatkan Kesempatan Itu
“Ajak anak-anakmu melihat bulan purnama, jangan lewatkan kesempatan itu!” kata Ny. Webb. Sebelum kebaktian doa tengah minggu dimulai, sebagian dari kami berbincang-bincang tentang bulan purnama yang muncul malam sebelumnya. Bulan itu tampak menakjubkan, bagaikan bulatan yang sedang duduk di garis cakrawala. Ny. Webb adalah yang paling senior dalam kelompok kami dan ia sangat menyukai karya ciptaan Allah yang indah. Ia tahu saya dan istri memiliki dua anak yang masih kecil, dan ia ingin kami mengajarkan hal-hal baik kepada mereka. Ajak anak-anakmu melihat bulan purnama, jangan lewatkan kesempatan itu!
Kenangan yang Terus Hidup
Saya besar di gereja yang sarat tradisi. Salah satu tradisi itu diterapkan ketika ada anggota keluarga atau sahabat terkasih yang meninggal dunia. Sering kali, tidak lama sesudahnya, muncul lempengan tembaga yang disematkan pada bangku gereja atau lukisan yang terpajang di lorong dengan tulisan: “Untuk mengenang . . .” Nama orang yang sudah meninggal itu terukir pada lempeng tersebut sebagai kenangan atas kehidupan yang sudah berlalu. Saya menghargai kenangan semacam itu. Sampai sekarang pun masih. Namun, di saat yang sama, saya sering merenung karena benda-benda itu mati dan statis, dalam arti benar-benar “tidak hidup.” Adakah cara untuk menambahkan suatu elemen “kehidupan” pada benda kenangan tersebut?
Kembali Berharap
Apakah matahari terbit dari timur? Apakah langit berwarna biru? Apakah air laut asin? Apakah massa atom kobalt 58,9? Baiklah, pertanyaan terakhir itu mungkin hanya bisa Anda jawab apabila Anda penggemar sains atau pengetahuan umum, tetapi pertanyaan-pertanyaan lainnya memiliki jawaban yang sangat jelas: Ya. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan seperti itu biasanya dilontarkan dengan nada sedikit sinis.
Kesadaran pada Situasi
Kami sekeluarga pernah berada di kota Roma untuk liburan Natal. Belum pernah saya melihat suasana seramai itu. Saat kami berdesak-desakan menembus kerumunan orang untuk melihat-lihat tempat wisata seperti Vatikan dan Koloseum, berulang kali saya menekankan kepada anak-anak saya untuk memiliki “kesadaran pada situasi”—yaitu memperhatikan di mana mereka berada, siapa yang ada di sekitar mereka, dan apa yang sedang terjadi. Kita hidup di tengah dunia yang tidak lagi aman, baik di dalam maupun di luar negeri. Ketika anak-anak (dan juga orang dewasa) selalu sibuk dengan telepon genggam dan alat dengar, mereka tidak selalu menyadari situasi di sekeliling mereka.
Selalu Menyertai Kita
Wanita itu memusatkan perhatiannya pada rak paling atas, tempat botol-botol saus spageti dipajang. Sudah sejak tadi saya berdiri di sampingnya, memperhatikan rak yang sama dan menimbang-nimbang. Akan tetapi, wanita itu sepertinya tidak menyadari kehadiran saya dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak sulit bagi saya untuk mengambil botol dari rak paling atas karena badan saya yang lumayan tinggi. Namun, tidak demikian dengan wanita itu. Saya menyapanya sambil menawarkan bantuan. Wanita itu sempat tersentak, lalu berkata, “Ya ampun, saya tidak sadar Anda ada di sini. Terima kasih bantuannya, Pak.”
Kirimkan Lewat Surat
Seperti kebanyakan anak usia empat tahun, Ruby suka berlari, bernyanyi, menari, dan bermain. Namun, ia mulai sering mengeluh tentang rasa sakit di lututnya. Orangtua Ruby pun membawanya ke dokter. Hasilnya mengejutkan—Ruby didiagnosis menderita kanker neuroblastoma (sejenis kanker sel-sel saraf yang belum matang pada anak-anak) stadium 4. Ternyata kesehatan Ruby bermasalah dan ia langsung dirawat di rumah sakit.