Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh John Blase

Kenangan yang Terus Hidup

Saya besar di gereja yang sarat tradisi. Salah satu tradisi itu diterapkan ketika ada anggota keluarga atau sahabat terkasih yang meninggal dunia. Sering kali, tidak lama sesudahnya, muncul lempengan tembaga yang disematkan pada bangku gereja atau lukisan yang terpajang di lorong dengan tulisan: “Untuk mengenang . . .” Nama orang yang sudah meninggal itu terukir pada lempeng tersebut sebagai kenangan atas kehidupan yang sudah berlalu. Saya menghargai kenangan semacam itu. Sampai sekarang pun masih. Namun, di saat yang sama, saya sering merenung karena benda-benda itu mati dan statis, dalam arti benar-benar “tidak hidup.” Adakah cara untuk menambahkan suatu elemen “kehidupan” pada benda kenangan tersebut?

Kembali Berharap

Apakah matahari terbit dari timur? Apakah langit berwarna biru? Apakah air laut asin? Apakah massa atom kobalt 58,9? Baiklah, pertanyaan terakhir itu mungkin hanya bisa Anda jawab apabila Anda penggemar sains atau pengetahuan umum, tetapi pertanyaan-pertanyaan lainnya memiliki jawaban yang sangat jelas: Ya. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan seperti itu biasanya dilontarkan dengan nada sedikit sinis.

Kesadaran pada Situasi

Kami sekeluarga pernah berada di kota Roma untuk liburan Natal. Belum pernah saya melihat suasana seramai itu. Saat kami berdesak-desakan menembus kerumunan orang untuk melihat-lihat tempat wisata seperti Vatikan dan Koloseum, berulang kali saya menekankan kepada anak-anak saya untuk memiliki “kesadaran pada situasi”—yaitu memperhatikan di mana mereka berada, siapa yang ada di sekitar mereka, dan apa yang sedang terjadi. Kita hidup di tengah dunia yang tidak lagi aman, baik di dalam maupun di luar negeri. Ketika anak-anak (dan juga orang dewasa) selalu sibuk dengan telepon genggam dan alat dengar, mereka tidak selalu menyadari situasi di sekeliling mereka.

Selalu Menyertai Kita

Wanita itu memusatkan perhatiannya pada rak paling atas, tempat botol-botol saus spageti dipajang. Sudah sejak tadi saya berdiri di sampingnya, memperhatikan rak yang sama dan menimbang-nimbang. Akan tetapi, wanita itu sepertinya tidak menyadari kehadiran saya dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak sulit bagi saya untuk mengambil botol dari rak paling atas karena badan saya yang lumayan tinggi. Namun, tidak demikian dengan wanita itu. Saya menyapanya sambil menawarkan bantuan. Wanita itu sempat tersentak, lalu berkata, “Ya ampun, saya tidak sadar Anda ada di sini. Terima kasih bantuannya, Pak.”

Kirimkan Lewat Surat

Seperti kebanyakan anak usia empat tahun, Ruby suka berlari, bernyanyi, menari, dan bermain. Namun, ia mulai sering mengeluh tentang rasa sakit di lututnya. Orangtua Ruby pun membawanya ke dokter. Hasilnya mengejutkan—Ruby didiagnosis menderita kanker neuroblastoma (sejenis kanker sel-sel saraf yang belum matang pada anak-anak) stadium 4. Ternyata kesehatan Ruby bermasalah dan ia langsung dirawat di rumah sakit.

Telinga untuk Mendengar

Aktris Diane Kruger pernah ditawari sebuah peran yang akan membuat namanya tenar. Ia diminta untuk memerankan istri sekaligus ibu muda yang kehilangan suami dan anaknya. Karena belum pernah mempunyai pengalaman semacam itu, ia tak tahu apakah bisa memerankannya dengan baik. Diane tetap menerima tawaran tersebut, dan dalam persiapannya, ia pun menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk memberikan dukungan bagi orang yang sedang berduka.

Yesus Selalu Dekat

Putri saya sudah siap berangkat ke sekolah lebih cepat daripada biasanya. Ia pun bertanya apakah kami bisa mampir ke kedai kopi dalam perjalanan ke sekolah. Saya setuju. Ketika mendekati jalur “lantatur” (layanan tanpa turun), saya berkata, “Kamu mau membagikan sedikit sukacita pagi ini?” “Mau, Pa,” jawabnya.

Bertanya itu Baik

Ayah saya punya ketajaman arah yang tidak saya miliki. Hanya dengan naluri, ia bisa mengetahui di mana utara, selatan, timur, dan barat. Sepertinya, kepekaan itu adalah bawaan lahir, dan sejauh ini ia tidak pernah salah. Hingga suatu hari, ia keliru.