Penulis

Lihat Semua
Lawrence Darmani

Lawrence Darmani

Lawrence Darmani adalah novelis asal Ghana. Novel pertamanya, Grief Child, memenangi anugerah Commonwealth Writers’ Prize sebagai buku terbaik dari benua Afrika. Ia tinggal bersama keluarganya di Accra dan menjadi editor majalah Step dan CEO dari Step Publishers.

Artikel oleh Lawrence Darmani

Merefleksikan Sang Putra

Karena lokasinya yang dikelilingi pegunungan terjal dan terletak di garis lintang yang tinggi, kota Rjukan di Norwegia tidak tersinari oleh sinar matahari dari Oktober sampai Maret. Untuk menerangi kota, penduduk memasang cermin-cermin besar di sisi gunung untuk memantulkan sinar matahari dan mengarahkan sinarnya ke pusat kota. Sinar matahari dapat terus terpancar karena cermin-cermin raksasa itu berotasi sesuai dengan waktu terbit dan terbenamnya matahari.

Sebutkan Nama-Nya

Sebuah kelompok mengundang seorang pembicara Kristen untuk berkhotbah. “Bicaralah tentang Allah,” kata pemimpin kelompok itu kepada sang pembicara, “tetapi jangan sebut-sebut Yesus.”

Di Balik Layar

Kegiatan penjangkauan yang dilakukan gereja kami berpuncak dengan penyelenggaraan kebaktian kebangunan rohani yang mengundang penduduk dari seluruh wilayah kota. Ketika tim yang mengatur dan memimpin acara itu—terdiri dari kelompok musik kaum muda, para konselor, dan para pemimpin gereja—naik ke atas panggung, kami semua dengan gembira bertepuk tangan dan menyerukan apresiasi kami atas kerja keras mereka.

Harta di Surga

Instalasi kabel listrik yang buruk telah membakar habis rumah kami yang baru selesai dibangun. Api meluluhlantakkan rumah kami dalam waktu satu jam tanpa menyisakan apa pun selain puing-puing. Di lain waktu, ketika kami pulang dari gereja di hari Minggu, kami mendapati rumah kami telah dimasuki maling dan beberapa barang kami dicuri.

Kita Bisa Tahu

Saat menaiki kereta untuk pergi ke sebuah pertemuan penting, saya mulai bertanya-tanya apakah saya sudah duduk di kereta dengan jurusan yang benar. Saya belum pernah melewati rute itu sebelumnya dan lupa bertanya pada petugas. Akhirnya, karena merasa makin ragu dan tidak pasti, saya pun turun di stasiun terdekat. Setelah itu barulah saya diberi tahu bahwa saya sebenarnya sudah berada di kereta yang benar!

Pelajaran dalam Penderitaan

Gambar jarak dekat di layar raksasa itu begitu besar dan tajam, sehingga kami dapat melihat luka yang menganga pada tubuh orang tersebut. Seorang tentara memukulinya sementara kerumunan orang yang marah menertawakan pria yang mukanya sekarang berlumur darah itu. Adegan-adegan tersebut tampak begitu nyata sehingga, di tengah keheningan bioskop alam terbuka itu, saya bergidik dan meringis seakan-akan saya sendiri merasakan pedihnya penderitaan itu. Namun itu hanyalah tayangan reka ulang dari kesengsaraan yang ditanggung Yesus demi kita.

Bau Harum dan Sepucuk Surat

Setiap kali saya mendekati tanaman bunga mawar atau suatu rangkaian bunga, saya tidak mampu melawan godaan untuk mencium sekuntum bunga itu dan menikmati wanginya. Aroma bunga yang segar begitu menyenangkan hati saya dan memicu perasaan yang nyaman di dalam diri saya.

Jangan Tunda Lagi

Selama bertahun-tahun saya telah berbicara dengan sepupu jauh saya tentang kebutuhan manusia akan Juruselamat. Ketika ia mengunjungi saya baru-baru ini, saya kembali mendorongnya untuk menerima Kristus. Ia menjawab, “Aku mau saja menerima Yesus dan pergi ke gereja, tetapi belum sekarang. Aku tinggal di antara orang yang berbeda-beda keyakinan. Selama aku belum pindah dari sana, aku takkan bisa beribadah dengan bebas.” Ia menyebutkan bahwa ancaman penganiayaan, hinaan, dan tekanan dari rekan-rekannya membuatnya harus menunda keputusannya.

Ketika Kesulitan Datang

Pernyataan pertama yang sering diucapkan banyak orang ketika malapetaka menimpa mereka adalah ayat Roma 8:28. Namun ayat itu tidaklah mudah diterima di masa-masa sulit. Saat saya mendampingi seorang pria yang telah kehilangan tiga anak laki-lakinya, ia meratap, “Bagaimana mungkin bencana ini mendatangkan kebaikan untukku?” Saya tidak bisa menjawab, dan hanya bisa duduk diam dan berduka bersamanya. Beberapa bulan kemudian, dengan penuh syukur ia berkata, “Kesedihanku telah membawaku lebih dekat kepada Allah.”