Penulis

Lihat Semua
Marvin Williams

Marvin Williams

Marvin Williams mulai menulis untuk buku renungan Our Daily Bread sejak tahun 2007 dan juga menulis untuk buku renungan Our Daily Journey. Marvin adalah pendeta pengajar senior di Trinity Church di Lansing, Michigan. Ia dan istrinya, Tonia, memiliki tiga anak.

Artikel oleh Marvin Williams

Demi Kasih

Lari maraton menuntut pesertanya untuk memacu diri sendiri, baik secara fisik maupun mental. Namun, bagi seorang pelajar SMA, berlomba dalam maraton lintas alam berarti memacu orang lain. Dalam setiap latihan dan lomba, Susan Bergeman yang berusia empat belas tahun menjadi pendorong kursi roda kakak laki-lakinya, Jeffrey. Ketika Jeffrey berumur dua puluh dua bulan, ia sempat mengalami gagal jantung yang membuatnya menderita kerusakan dan kelumpuhan otak. Kini, Susan mengorbankan target larinya sendiri demi berlomba bersama Jeffrey. Sebuah teladan kasih dan pengorbanan yang indah!

Lebih dari Secuil Hidup Kita

Konon kita semua meninggalkan secuil diri kita ketika pindah ke tempat baru. Namun, untuk menjadi penghuni jangka panjang Villas Las Estrellas, sebuah tempat yang dingin dan terpencil di Antarktika, meninggalkan secuil diri Anda sebelum pergi ke sana adalah tindakan yang benar-benar nyata. Mengingat rumah sakit terdekat jaraknya sejauh 1.000 kilometer, seseorang akan menghadapi masalah serius jika usus buntunya pecah. Jadi setiap warga yang ingin tinggal di sana harus melakukan operasi usus buntu terlebih dahulu sebelum pindah.

Ruang Cerita

Warga di wilayah utara Spanyol memiliki cara yang indah untuk mengungkapkan rasa persatuan dan persahabatan. Kawasan pedesaan di sana sarat dengan gua-gua buatan, dan setiap kali panen selesai para petani akan duduk di dalam ruangan yang dibangun di atas sebuah gua untuk mencatat hasil panen mereka. Seiring berjalannya waktu, ruangan itu dikenal sebagai “ruang cerita”—suatu tempat berkumpul bagi teman-teman dan anggota keluarga untuk saling berbagi cerita, rahasia, dan impian mereka. Apabila seseorang membutuhkan kehadiran dan persekutuan dari sahabat-sahabat karib, ia dapat pergi ke ruang cerita tersebut.

Menemukan Kelegaan di dalam Yesus

Jiwa yang gelisah tidak akan pernah puas dengan kekayaan dan kesuksesan. Ungkapan ini telah dibuktikan kebenarannya oleh seorang tokoh musik country yang telah meninggal dunia. Ia memiliki hampir empat puluh album dan banyak lagu yang bertengger di puncak tangga musik country Billboard. Namun, ia juga pernah beberapa kali kawin cerai dan mendekam di penjara. Meskipun memiliki segudang prestasi, ia pernah mengeluh, “Ada kegelisahan dalam jiwaku yang tak pernah berhasil kutaklukkan, baik dengan kesibukan, pernikahan, atau makna . . . dan sampai taraf tertentu, kegelisahan itu masih ada. Dan itu akan terus ada sampai aku mati.” Sayang sekali, ia sebenarnya dapat menemukan kelegaan dalam jiwanya sebelum hidupnya berakhir.

Serupa Guru Agung Kita

Dalam sebuah video yang viral, seorang murid karate sabuk putih berusia tiga tahun mencoba meniru instrukturnya. Dengan penuh semangat dan keyakinan, gadis kecil itu mengucapkan kredo sebagai murid bersama sang guru. Kemudian, dengan tenang dan fokus, gadis mungil yang antusias itu menirukan semua yang dikatakan dan dilakukan gurunya dengan cukup bagus. 

Dalam Semua Urusan Kita

Pada tahun 1524, Martin Luther memperhatikan keadaan ini: “Di antara mereka sendiri, para pedagang memiliki satu aturan yang menjadi pedoman utama mereka: . . . Aku tidak peduli kepada sesamaku; asalkan aku mendapat untung dan ketamakanku terpuaskan.” Namun, lebih dari dua ratus tahun kemudian, John Woolman dari Mount Holly, New Jersey, memutuskan untuk mengutamakan komitmen kepada Yesus dalam bisnisnya sebagai penjahit. Dalam upayanya mendukung pembebasan para budak, ia menolak membeli kapas atau bahan pewarna dari perusahaan-perusahaan yang masih mempekerjakan budak. Dengan hati nurani yang tulus, ia berusaha mengasihi sesamanya, serta bersikap jujur dan menjaga integritas dalam menjalankan roda bisnisnya.

Secukupnya Saja

Dalam film Fiddle on the Roof, tokoh Tevye berbicara blak-blakan kepada Allah tentang cara kerja-Nya: “Engkau membuat banyak, banyak sekali orang miskin. Aku tahu miskin itu tidak memalukan, tetapi juga tidak terlalu terhormat! Jadi, apa salahnya kalau aku memiliki kekayaan sedikit saja? . . . Memangnya itu akan merusak suatu rencana agung dan kekal—kalau aku jadi kaya?”

Berjaga-jagalah!

Seorang pria dan beberapa temannya menyusup dan melewati gerbang sebuah resor ski yang sudah diberi peringatan “awas longsor salju” dan mulai bermain seluncur. Ketika berseluncur untuk kedua kalinya, seseorang berteriak, “Longsor!” Namun, pria itu tidak sempat menghindar dan lenyap ditelan longsoran salju. Beberapa orang mengkritik dirinya, dan menganggapnya “pemain pemula”. Sebenarnya, ia bukan pemain ski pemula, melainkan seorang pemandu bersertifikat untuk kegiatan ski di alam terbuka yang bersalju. Seorang peneliti berkata bahwa para pemain ski dan peseluncur yang paling terlatih justru yang paling mungkin melakukan kesalahan. “[Peseluncur salju itu] meninggal karena terlalu percaya diri sehingga tidak lagi waspada.”

Allah Berfirman

Pada tahun 1876, penemu Alexander Graham Bell berbicara pertama kalinya lewat telepon. Ia menelepon asistennya, Thomas Watson, dan berkata, “Watson, kemarilah. Aku ingin bertemu denganmu.” Suaranya gemerisik dan tidak jelas, tetapi dapat dimengerti. Watson menangkap ucapan Bell. Kalimat pertama yang Bell ucapkan lewat saluran telepon menandakan bahwa hari baru bagi komunikasi manusia telah tiba.