Panggilan untuk Berani
Di antara patung-patung tokoh pria (Nelson Mandela, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, dan lain-lain) yang dipajang di Alun-alun Gedung Parlemen London, terdapat satu-satunya patung tokoh perempuan. Perempuan tersebut adalah Milicent Fawcett, pejuang hak pilih kaum wanita. Ia diabadikan dalam rupa patung perunggu yang memegang spanduk bertuliskan kata-kata yang ia sampaikan sebagai penghargaan kepada sesama pejuang hak pilih: “Courage calls to courage everywhere” (Keberanian memanggil keberanian di mana pun). Menurut Fawcett, keberanian satu orang akan memberikan semangat bagi yang lain—memanggil jiwa-jiwa yang takut untuk segera bertindak.
Pemenang yang Tak Terduga
Mungkin peristiwa paling tak terduga dan menakjubkan dalam Olimpiade Musim Dingin 2018 adalah ketika atlet juara dunia papan seluncur salju asal Republik Ceko, Ester Ledecka, memenangi juga perlombaan cabang olahraga yang berbeda sama sekali, yaitu ski! Ia berhasil meraih medali emas meskipun ia berlomba pada giliran ke-26—sebuah upaya yang bisa dikatakan hampir mustahil.
Menanggung Beban Kesalahan
Tanggal 30 Januari 2018, setelah hampir tiga puluh delapan tahun dijebloskan ke penjara, Malcolm Alexander dibebaskan. Bukti DNA telah membebaskan Alexander, yang selama proses pengadilan tetap gigih menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Pengacara yang tidak kompeten (belakangan izin praktiknya dicabut), bukti yang tidak kuat, dan taktik penyelidikan yang meragukan telah membuat seseorang yang tidak bersalah harus mendekam dalam penjara selama hampir empat dekade. Namun, ketika dibebaskan, Alexander masih menunjukkan rasa syukur atas anugerah besar yang diterimanya. “Tidak perlu marah,” katanya. ”Saya tidak punya waktu untuk marah.”
Bertahan dengan Berani
Ketika sebagian besar pemimpin gereja di Jerman tunduk kepada Hitler, pendeta dan teolog Martin Niemöller termasuk segelintir orang yang berani menentang kejahatan Nazi. Saya ingat pernah membaca cerita tentang suatu hari di dekade 1970-an, ketika sekelompok orang tua Jerman berdiri di depan sebuah hotel besar, seorang lelaki yang terlihat lebih muda dari mereka semua terlihat sibuk mengurusi koper-koper. Seseorang bertanya tentang mereka. “Mereka para pendeta dari Jerman,” jawab seseorang. “Lalu, siapa pria yang lebih muda itu?” “Itu Martin Niemöller—umurnya sudah delapan puluh tahun. Namun, ia tetap terlihat muda karena ia tidak kenal takut.”
Mengatasi Informasi Buruk
Dalam kunjungan ke kota New York baru-baru ini, saya bersama istri ingin menikmati malam yang bersalju. Kami pun menyewa taksi untuk membawa kami ke sebuah restoran Kuba yang berjarak sekitar 5 km dari hotel. Setelah memasukkan alamat ke aplikasi pemesanan taksi, saya terbelalak melihat tarif untuk jarak sependek itu: Rp. 22.340.887. Setelah beberapa saat, saya baru sadar telah memasukkan alamat rumah kami yang jaraknya ratusan kilometer dari sana sebagai tujuan!
Masuk dalam Peristirahatan
Akhirnya, pada 8 Januari 1964, Randy Gardner yang berusia 17 tahun melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama sebelas hari dan dua puluh lima menit: ia tertidur. Ia ingin mengalahkan rekor berapa lama manusia dapat bertahan tanpa tidur dalam Guinness Book World Record. Ditemani minuman ringan, bermain basket, dan boling, Gardner berhasil bertahan tidak tidur selama 1,5 minggu. Ketika menyerah, indera pengecap, penciuman, dan pendengarannya sudah terganggu. Ternyata, beberapa puluh tahun kemudian, Gardner mengidap insomnia akut. Ia menciptakan rekor, tetapi juga membuktikan sesuatu yang pasti: tidur itu penting.
Mengoyakkan Langit
Dalam suatu percakapan baru-baru ini, seorang teman menceritakan bahwa ia telah meninggalkan imannya dengan alasan yang tak lagi asing bagi saya. Ia mengeluh, Bagaimana aku bisa percaya kepada Allah yang sepertinya tak pernah melakukan apa pun? Kebanyakan dari kita pasti pernah memikirkan pertanyaan serupa, seperti ketika melihat berita tentang tindak kejahatan maupun pengalaman pahit yang kita alami sendiri. Pergumulan yang dialami teman saya mengungkapkan kerinduannya yang besar agar Allah melakukan sesuatu baginya, dan itu adalah kerinduan yang pernah dirasakan oleh kita semua.
Allah yang Menerima
Kebaktian gereja kami diadakan di sebuah gedung sekolah dasar tua yang pada tahun 1958 pernah memilih tutup daripada mematuhi aturan pemerintah untuk berintegrasi (kesediaan menerima murid kulit hitam di sekolah yang sebelumnya hanya khusus untuk murid kulit putih). Namun, tahun berikutnya, sekolah itu dibuka kembali. Seorang jemaat gereja kami, Elva, merupakan salah satu murid kulit hitam yang dimasukkan sekelas dengan murid kulit putih di sana. “Aku dibawa keluar dari lingkungan yang aman dan para guru yang sudah akrab dengan kami,” kenang Elva, “lalu ditaruh dalam suatu lingkungan yang menakutkan, di kelas yang murid kulit hitamnya hanya dua orang.” Elva menderita karena warna kulitnya yang berbeda, tetapi seiring waktu ia berubah menjadi gadis yang kuat, beriman, dan penuh pengampunan.