Pertarungan yang Sengit
Pada tahun 1896, seorang penjelajah bernama Carl Akeley dikejar-kejar oleh seekor macan tutul berbobot 36 kg di sebuah kawasan terpencil di Etiopia. Ia ingat macan tutul itu menerkam, mencoba “menancapkan gigi-giginya pada leherku.” Namun, macan tutul itu meleset dan gigi-giginya justru merobek lengan kanan Akely dengan ganas. Keduanya berguling-guling di pasir dalam pertarungan yang panjang dan sengit. Akeley sempat melemah, dan “tinggal menunggu, siapa yang menyerah lebih dulu.” Akhirnya, dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Akeley berhasil mencekik kucing besar itu dengan tangan kosong.
Benar-Benar Hidup
Karena Paskah baru berlalu satu minggu, putra kami yang berumur lima tahun, Wyatt, telah mendengar banyak pembicaraan tentang kebangkitan. Ia selalu punya banyak pertanyaan—dan biasanya pertanyaan yang sulit-sulit. Suatu saat, saya sedang mengemudi dan ia duduk di jok belakang dengan sabuk terpasang. Wyatt kelihatan berpikir keras sambil memandang ke luar jendela. “Ayah,” katanya, berhenti sejenak dan bersiap mengajukan pertanyaan sulit. “Waktu Tuhan Yesus bangkitkan kita, apa kita benar-benar hidup, atau cuma hidup di pikiran kita?”
Satu Hal yang Mengubah Segalanya
Jaroslav Pelikan, profesor senior di Yale yang dipandang sebagai salah seorang “ahli terbaik dalam bidang sejarah kekristenan di generasinya,” terkenal karena pengabdian akademisnya yang panjang. Ia menerbitkan lebih dari tiga puluh judul buku dan dianugerahi Kluge Prize, penghargaan pengabdian seumur hidup atas produktivitasnya dalam menulis. Namun, salah satu muridnya justru menganggap kata-kata terpenting sang guru diucapkannya menjelang kematiannya: “Jika Kristus sungguh bangkit, tidak ada yang lebih berarti. Namun, jika Kristus tidak bangkit—tidak ada lagi yang berarti.”
Hidup Berintegritas
Abel Mutai, seorang atlet lari asal Kenya, tinggal beberapa meter dari garis finis dan akan memenangi lomba lintas alam internasional. Namun, karena bingung melihat papan petunjuk dan mengira dirinya telah melewati finis, Mutai pun menghentikan larinya. Ivan Fernandez Anaya asal Spanyol yang membuntuti di posisi kedua melihat kesalahan Mutai. Namun, alih-alih memanfaatkan keadaan dan melesat ke garis finis, ia justru menghampiri Mutai, mengulurkan lengan, dan memberi isyarat agar Mutai terus berlari untuk meraih medali emasnya. Ketika ditanya oleh seorang reporter tentang alasannya berbuat demikian, Anaya menegaskan bahwa Mutai yang selayaknya menang, bukan dirinya. “Apa yang dapat dipuji dari kemenangan saya? Kebanggaan seperti apa yang saya dapatkan dari medali emas itu? Apa yang akan dipikirkan ibu saya jika saya berbuat demikian?” Sebuah berita menulis demikian: “Anaya lebih memilih jujur daripada menang.”
Kabar Baik Pembawa Sukacita
Suatu malam pada tahun 1964, gempa bumi besar dengan kekuatan 9,2 skala Richter mengguncang Alaska selama lebih dari empat menit. Di Anchorage, seluruh blok kota lenyap, hanya menyisakan kawah besar dan puing-puing. Sepanjang malam yang gelap dan menakutkan, reporter berita Genie Chance berdiri di depan mikrofonnya, menyampaikan pesan kepada orang-orang putus asa yang duduk di dekat radio mereka. Suami yang bekerja di padang mendengar kabar istrinya masih hidup; keluarga yang cemas mendengar kabar putra mereka yang pergi berkemah ternyata baik-baik saja; sepasang suami-istri mendengar kabar anak-anak mereka telah ditemukan. Siaran radio memberitakan secuplik kabar baik demi kabar baik—sungguh sukacita yang luar biasa di tengah kehancuran yang mengenaskan.
Kekuatan Cinta
Dua lansia berusia delapan puluhan, satu dari Jerman dan satu lagi dari Denmark, adalah pasangan yang unik. Sebelum menjadi janda dan duda, masing-masing dari mereka pernah menikmati enam puluh tahun masa pernikahan. Meski hanya terpisah jarak lima belas menit, rumah mereka berada di negara yang berbeda. Namun demikian, mereka jatuh cinta dan sering memasak serta menghabiskan waktu bersama. Sayangnya, pada tahun 2020, karena COVID-19, pemerintah Denmark menutup perbatasan negara. Namun, mereka tidak menyerah. Setiap hari pukul 15.00, mereka bertemu di perbatasan, pada suatu jalan pedesaan yang sunyi, dan duduk di sisi negara masing-masing untuk melakukan piknik bersama. “Kami di sini karena cinta,” si pria menjelaskan. Cinta mereka lebih kuat daripada perbatasan, lebih teguh daripada pandemi.
Kefanaan dan Kerendahan Hati
Cendekiawan kuno Hieronimus (Jerome) dan Tertulianus pernah bercerita bagaimana dalam dunia Romawi kuno, setelah seorang jenderal meraih kemenangan yang gilang-gemilang, ia akan diarak di atas kereta berkilauan sepanjang jalan-jalan protokol ibu kota, sejak fajar hingga matahari terbenam. Orang banyak bersorak-sorai mengelukannya. Jenderal tersebut bersimbah puja-puji, menikmati kehormatan terbesar dalam hidupnya. Akan tetapi, konon ada seorang pelayan yang selalu berdiri di belakang sang jenderal, dengan sepanjang hari berbisik di telinganya, Memento mori (“Ingatlah kamu akan mati”). Di tengah semua pujian itu, sang jenderal sangat membutuhkan kerendahan hati dengan mengingat bahwa dirinya manusia fana.
Investasi yang Tidak Masuk Akal
Pada tahun 1929, ketika perekonomian Amerika Serikat ambruk, jutaan orang kehilangan segalanya. Namun, tidak begitu dengan Floyd Odlum. Ketika semua orang panik dan menjual saham mereka dengan harga murah, Odlum terlihat bodoh dengan membeli semua saham di tengah kondisi masa depan bangsa yang hancur berantakan. Namun, perspektif Odlum yang “bodoh” itu justru membuahkan hasil, karena tindakannya menjadi investasi yang menguntungkan selama puluhan tahun.
Diselamatkan dari Musuh yang Kuat
Pada tahun 2010, di usia 94 tahun, George Vujnovich dianugerahi medali Bronze Star atas jasanya mengorganisir yang disebut oleh koran New York Times sebagai “salah satu upaya penyelamatan terbesar pada Perang Dunia II”. Vujnovich, putra imigran Serbia, adalah anggota Angkatan Darat AS. Ketika datang kabar bahwa para penerbang Amerika yang tertembak jatuh dilindungi oleh para pemberontak di Yugoslavia, Vujnovich kembali ke negeri leluhurnya, dengan melakukan terjun payung di hutan untuk menemukan pilot-pilot tersebut. Ia membagi para tentara ke dalam beberapa kelompok kecil, lalu mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya membaur dengan warga Serbia (mengenakan pakaian dan makan makanan Serbia). Berbulan-bulan lamanya ia mengantar kelompok kecil demi kelompok kecil ke pesawat angkut C-47 yang menunggu di landasan pendaratan kecil yang mereka bangun di tengah hutan. Vujnovich menyelamatkan 512 pria yang senang dan gembira karena bisa diselamatkan.