Ujian
Pertama kalinya saya membawa anak-anak lelaki saya mendaki Colorado Fourteener—gunung dengan ketinggian kurang lebih 14.000 kaki (4.267 m)—mereka merasa gugup. Mampukah mereka mendakinya? Mampukah mereka menerima tantangan ini? Anak bungsu saya berhenti beberapa kali di jalur pendakian untuk beristirahat. “Ayah, aku tidak sanggup lagi,” katanya berulang kali. Namun, saya yakin ujian ini baik bagi mereka, dan saya ingin mereka percaya kepada saya. Satu setengah kilometer sebelum tiba di puncak, anak saya, yang tadinya bersikeras menyatakan bahwa ia sudah tidak sanggup lagi, tiba-tiba kembali mendapat suntikan tenaga dan mendahului kami sampai ke puncak. Ia sangat senang telah mempercayai saya, bahkan di tengah rasa takutnya.
Main Hakim Sendiri
Dalam suatu pertandingan bisbol tahun 2018, pelatih klub Chicago Cubs ingin memberikan bola kepada seorang anak laki-laki yang duduk di baris paling depan. Namun, bola yang dilemparkannya ke arah anak itu kemudian disambar oleh seorang pria dewasa. Rekaman video peristiwa itu lantas menjadi viral. Surat kabar dan media sosial memberitakan “kelancangan” pria itu. Akan tetapi, para penonton video itu tidak tahu kisah selengkapnya. Sebelum peristiwa itu terjadi, pria dewasa sudah menolong anak itu dengan menangkap sebuah bola yang keluar, dan mereka sepakat untuk berbagi bola berikutnya yang mungkin mereka tangkap. Sayangnya, cerita sebenarnya itu baru muncul dua puluh empat jam kemudian. Orang-orang sudah telanjur menyerang pria yang tidak bersalah itu dengan menghakiminya habis-habisan.
Perkara yang Baik
Ketika John Lewis, seorang anggota Kongres AS dan pemimpin gerakan hak-hak sipil, meninggal dunia pada tahun 2020, orang-orang dari berbagai arus politik ikut merasakan dukacita. Pada tahun 1965, Lewis pernah melakukan unjuk rasa bersama Martin Luther King, Jr. untuk melindungi hak suara warga kulit hitam. Dalam peristiwa itu, tulang tengkorak Lewis mengalami keretakan hingga meninggalkan bekas luka yang tidak pernah hilang. “Ketika kita melihat sesuatu yang tidak benar, tidak adil, atau tidak sepatutnya,” kata Lewis, “kita memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara. Untuk berbuat sesuatu.” Ia juga berkata, “Jangan pernah sekali-kali takut bersuara dan masuk dalam masalah yang tidak enak bila memang diperlukan.”
Penolakan yang Tegas
Ketika Franz Jägerstätter direkrut oleh rezim Nazi pada masa Perang Dunia II, ia sempat menyelesaikan pelatihan dasar militer tetapi menolak mengikuti kewajiban untuk mengucapkan janji setia kepada Adolf Hitler. Pihak militer mengizinkan Franz kembali ke kampung halamannya, tetapi kemudian mereka memanggilnya kembali kepada dinas aktif. Namun, setelah melihat ideologi Nazi dari dekat dan mengetahui tentang genosida yang dilakukan rezim itu terhadap orang-orang Yahudi, Jägerstätter memutuskan bahwa kesetiaan kepada Allah membuatnya tidak akan pernah bisa berperang untuk Nazi. Ia pun ditangkap dan dihukum mati dengan meninggalkan istri dan ketiga putrinya.
Allah yang Melepaskan
Setelah mendapat pengaduan dari warga, seorang petugas polisi memacu mobilnya menyusuri rel kereta sampai lampu sorot mobilnya menerangi sebuah kendaraan yang terjebak persis di tengah rel tersebut. Kamera di dasbor mobil polisi menangkap adegan mengerikan yang memperlihatkan serangkaian kereta meluncur cepat ke arah kendaraan tersebut. “Kereta itu melaju kencang, 80 sampai 130 km per jam,” kata sang petugas. Tanpa pikir panjang, polisi itu pun menarik keluar seorang laki-laki yang pingsan dari dalam mobil, hanya beberapa detik sebelum kereta menghantam kendaraan itu.
Keadilan yang Sempurna
Pada tahun 1983, tiga remaja ditangkap atas tuduhan membunuh seorang anak berusia empat belas tahun. Laporan menyebutkan bahwa korban ditembak karena “jaket [atletik] yang dikenakannya.” Ketiga tersangka itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun, setelah tiga puluh enam tahun mereka mendekam di balik jeruji besi, muncul bukti yang menyatakan bahwa mereka tidak bersalah dan orang lain sebagai pelakunya. Hakim pun menyatakan permintaan maafnya lalu membebaskan ketiga orang itu dari segala hukuman.
Air yang Berlimpah
Di Australia, sebuah laporan menuliskan “kisah suram” tentang musim kemarau yang ekstrem, udara panas, dan kebakaran. Laporan itu menyebutkan tentang sepanjang tahun yang sangat buruk dengan curah hujan yang sangat minim, sehingga rumput kering menjadi mudah terbakar. Kobaran api yang meluas membakar kawasan pedesaan. Ikan-ikan mati. Panen gagal. Semua itu terjadi karena tidak adanya air, sumber daya alam yang sering dianggap remeh tetapi sebenarnya sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan.
Melihat dengan Sudut Pandang Baru
Sebuah permainan komputer menempatkan seratus pemain di suatu pulau virtual untuk saling bersaing hingga tersisa satu pemain. Setiap kali seseorang tersingkir oleh lawannya, ia masih dapat memantau jalannya permainan lewat sudut pandang sang lawan. Seorang jurnalis berkomentar, “Ketika seseorang menggunakan sudut pandang pemain lain, terjadi perubahan perasaan . . . dari keinginan untuk menyelamatkan diri . . . menjadi solidaritas bersama . . . Ia mulai mendukung orang asing yang baru beberapa saat sebelumnya menyingkirkannya.”
Kasih yang Mengekang
Sebagian besar pemuda Samoa diberi tato sebagai tanda tanggung jawab kepada masyarakat dan kepala suku mereka. Namun, ketika para pemain rugbi dari Samoa berkunjung ke Jepang, negara yang sebagian masyarakatnya melihat tato secara negatif, mereka menyadari bahwa simbol itu bisa menimbulkan masalah. Demi memelihara hubungan baik, para pemuda Samoa itu pun mengenakan kain panjang berwarna kulit pada lengan untuk menutupi tato mereka. “Kami menghormati dan menghargai budaya Jepang,” kata kapten tim Samoa. “Kami harap usaha kami dapat mereka terima.”