Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Winn Collier

Terang yang Besar 

Pada tahun 2018 di Thailand, dua belas anak laki-laki dan pelatih sepak bola mereka masuk ke dalam gua yang berlika-liku, dengan maksud untuk menikmati petualangan di sore hari. Karena air pasang yang tidak terduga menggenangi gua itu, mereka terpaksa masuk semakin dalam dan tidak bisa keluar lagi. Dibutuhkan waktu dua setengah minggu untuk menyelamatkan mereka. Meski dirintangi permukaan air yang tinggi, regu penyelam terus berusaha menyelamatkan mereka, sementara anak-anak itu duduk di atas batu dengan hanya diterangi enam senter yang sekarat. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam dalam gelap, sambil berharap terang—dan bantuan—akan datang. 

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Pada zaman keemasan radio, Fred Allen (1894–1956) menggunakan lawakan bernada pesimis untuk menghibur generasi yang hidup di era depresi ekonomi dan dunia yang dilanda perang. Selera humornya lahir dari penderitaan pribadi yang dialaminya. Setelah kehilangan ibunya sebelum ia berusia tiga tahun, ia pun hidup jauh dari ayahnya yang kecanduan. Suatu kali, Fred pernah menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki di tengah lalu lintas kota New York yang ramai. Ia menegur anak itu dengan caranya yang khas, “Apa yang salah denganmu, Nak? Apakah kamu tidak mau tumbuh besar dan punya banyak masalah?” 

Perkasa dan Penuh Kasih

Pada tahun 2020, gunung berapi Sangay di Ekuador meletus. Kantor berita BBC mengabarkan bahwa “kolom abunya yang berwarna gelap mencapai ketinggian lebih dari 12.000 meter.” Muntahan berupa abu dan debu vulkanik menyelimuti hingga empat provinsi (seluas kira-kira 800 kilometer persegi). Langit berubah gelap dan suram, dan udara menjadi pekat sehingga membuat napas sesak. Seorang petani bernama Feliciano Inga menggambarkan suasana yang mencekam itu kepada surat kabar El Comercio: “Kami tidak tahu dari mana semua debu ini berasal . . . . Kami melihat langit menjadi gelap dan kami pun takut.”

Ujian

Pertama kalinya saya membawa anak-anak lelaki saya mendaki Colorado Fourteener—gunung dengan ketinggian kurang lebih 14.000 kaki (4.267 m)—mereka merasa gugup. Mampukah mereka mendakinya? Mampukah mereka menerima tantangan ini? Anak bungsu saya berhenti beberapa kali di jalur pendakian untuk beristirahat. “Ayah, aku tidak sanggup lagi,” katanya berulang kali. Namun, saya yakin ujian ini baik bagi mereka, dan saya ingin mereka percaya kepada saya. Satu setengah kilometer sebelum tiba di puncak, anak saya, yang tadinya bersikeras menyatakan bahwa ia sudah tidak sanggup lagi, tiba-tiba kembali mendapat suntikan tenaga dan mendahului kami sampai ke puncak. Ia sangat senang telah mempercayai saya, bahkan di tengah rasa takutnya.

Main Hakim Sendiri

Dalam suatu pertandingan bisbol tahun 2018, pelatih klub Chicago Cubs ingin memberikan bola kepada seorang anak laki-laki yang duduk di baris paling depan. Namun, bola yang dilemparkannya ke arah anak itu kemudian disambar oleh seorang pria dewasa. Rekaman video peristiwa itu lantas menjadi viral. Surat kabar dan media sosial memberitakan “kelancangan” pria itu. Akan tetapi, para penonton video itu tidak tahu kisah selengkapnya. Sebelum peristiwa itu terjadi, pria dewasa sudah menolong anak itu dengan menangkap sebuah bola yang keluar, dan mereka sepakat untuk berbagi bola berikutnya yang mungkin mereka tangkap. Sayangnya, cerita sebenarnya itu baru muncul dua puluh empat jam kemudian. Orang-orang sudah telanjur menyerang pria yang tidak bersalah itu dengan menghakiminya habis-habisan. 

Perkara yang Baik

Ketika John Lewis, seorang anggota Kongres AS dan pemimpin gerakan hak-hak sipil, meninggal dunia pada tahun 2020, orang-orang dari berbagai arus politik ikut merasakan dukacita. Pada tahun 1965, Lewis pernah melakukan unjuk rasa bersama Martin Luther King, Jr. untuk melindungi hak suara warga kulit hitam. Dalam peristiwa itu, tulang tengkorak Lewis mengalami keretakan hingga meninggalkan bekas luka yang tidak pernah hilang. “Ketika kita melihat sesuatu yang tidak benar, tidak adil, atau tidak sepatutnya,” kata Lewis, “kita memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara. Untuk berbuat sesuatu.” Ia juga berkata, “Jangan pernah sekali-kali takut bersuara dan masuk dalam masalah yang tidak enak bila memang diperlukan.”

Penolakan yang Tegas

Ketika Franz Jägerstätter direkrut oleh rezim Nazi pada masa Perang Dunia II, ia sempat menyelesaikan pelatihan dasar militer tetapi menolak mengikuti kewajiban untuk mengucapkan janji setia kepada Adolf Hitler. Pihak militer mengizinkan Franz kembali ke kampung halamannya, tetapi kemudian mereka memanggilnya kembali kepada dinas aktif. Namun, setelah melihat ideologi Nazi dari dekat dan mengetahui tentang genosida yang dilakukan rezim itu terhadap orang-orang Yahudi, Jägerstätter memutuskan bahwa kesetiaan kepada Allah membuatnya tidak akan pernah bisa berperang untuk Nazi. Ia pun ditangkap dan dihukum mati dengan meninggalkan istri dan ketiga putrinya. 

Allah yang Melepaskan

Setelah mendapat pengaduan dari warga, seorang petugas polisi memacu mobilnya menyusuri rel kereta sampai lampu sorot mobilnya menerangi sebuah kendaraan yang terjebak persis di tengah rel tersebut. Kamera di dasbor mobil polisi menangkap adegan mengerikan yang memperlihatkan serangkaian kereta meluncur cepat ke arah kendaraan tersebut. “Kereta itu melaju kencang, 80 sampai 130 km per jam,” kata sang petugas. Tanpa pikir panjang, polisi itu pun menarik keluar seorang laki-laki yang pingsan dari dalam mobil, hanya beberapa detik sebelum kereta menghantam kendaraan itu.

Keadilan yang Sempurna

Pada tahun 1983, tiga remaja ditangkap atas tuduhan membunuh seorang anak berusia empat belas tahun. Laporan menyebutkan bahwa korban ditembak karena “jaket [atletik] yang dikenakannya.” Ketiga tersangka itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun, setelah tiga puluh enam tahun mereka mendekam di balik jeruji besi, muncul bukti yang menyatakan bahwa mereka tidak bersalah dan orang lain sebagai pelakunya. Hakim pun menyatakan permintaan maafnya lalu membebaskan ketiga orang itu dari segala hukuman.