Kita bisa menemukan segala macam angka dalam Alkitab. Ada yang bersifat simbolis, sebagian harfiah, dan ada lagi yang bersifat simbolis sekaligus harfiah. Contoh penyebutan angka yang bersifat simbolis adalah “ketujuh Roh Allah” dalam Kitab Wahyu (1:4; 3:1; 5:6). Angka tujuh di sini melambangkan Roh Kudus dalam kesempurnaan-Nya. Contoh penyebutan angka yang bersifat harfiah adalah “seratus lima puluh tiga ekor” ikan yang ditangkap oleh murid-murid Yesus (Yohanes 21:11). Contoh penyebutan angka yang bersifat simbolis sekaligus harfiah adalah “empat puluh hari” masa puasa Yesus sebelum memulai pelayanan-Nya (Matius 4:2)—sama seperti “empat puluh hari” masa yang diberikan kepada penduduk Niniwe untuk menanggapi pesan Allah—angkanya bersifat harfiah, sekaligus merupakan simbol masa ujian bagi umat Allah.

Setiap kali menjumpai angka-angka di Alkitab, kita mungkin sering berusaha menerka apa yang diwakili oleh angka tersebut. Kita mencoba untuk memahami apakah angka itu memiliki makna penting yang tersembunyi ataukah hanya menyajikan fakta. Namun, sering kita melewatkan apa yang dikatakan angka-angka itu tentang karakter Allah—terutama ketika Allah digambarkan sedang menghitung.

Misalnya saja, saat Allah mengatakan kepada Yunus betapa Dia menyayangi penduduk Niniwe (Yunus 4:11), Dia menyebutkan angka 120.000. Angka itu tidak saja memberi tahu kita tentang populasi kota tersebut, tetapi juga menyatakan sesuatu yang mencengangkan tentang karakter Allah.

Pada masa penulisan Alkitab, para gembala memiliki cara yang menarik untuk menghitung domba-domba mereka. Domba-domba itu disuruh lewat di bawah tongkat sang gembala sambil dihitung; setiap hewan kesepuluh dikhususkan sebagai persepuluhan bagi Tuhan (Imamat 27:32). Walaupun sang gembala hanya perlu mendapatkan total jumlah ternaknya, ia tetap akan menghitung domba-dombanya satu demi satu.

Allah, Gembala kita, memperhatikan kita satu demi satu sebagai pribadi. Sama seperti seorang gembala menghitung satu demi satu domba yang lewat di bawah tongkatnya, Allah juga menghitung setiap kita.

Allah, Gembala kita, memperhatikan kita satu demi satu sebagai pribadi. Sama seperti seorang gembala menghitung satu demi satu domba yang lewat di bawah tongkatnya, Allah juga menghitung setiap kita. Dalam Yehezkiel 20:37 Allah berkata, “Aku akan membiarkan kamu lewat dari bawah tongkat gembala-Ku dan memasukkan kamu ke kandang dengan menghitung kamu.” Perhatian pribadi ini diperjelas dalam Yeremia 33:13, yang menubuatkan bahwa “kambing domba akan lewat lagi dari bawah tangan orang yang menghitungnya.” Nubuat itu menggambarkan Gembala yang secara pribadi menghitung domba-domba-Nya—bukan dengan tongkat melainkan dengan tangan-Nya sendiri. Dia menangani setiap domba dengan sentuhan pribadi.

Jadi, ketika Allah memberi tahu Yunus tentang 120.000 orang Niniwe yang disayangi-Nya, angka itu bukanlah sekadar data statistik. Penyebutan angka itu menunjukkan bagaimana Allah telah menghitung dan mengenal setiap orang di kota yang bertobat itu—tidak seorang pun yang hilang, diabaikan, atau dilupakan. Setiap penduduk dikenal Allah dan berharga bagi-Nya, sekalipun orang yang bersangkutan pernah hidup bertentangan dengan hukum-Nya. Bagi Allah, keselamatan setiap orang Niniwe adalah persoalan yang sangat pribadi, demikian juga keselamatan setiap awak kapal yang hampir tenggelam bersama Yunus di dalamnya (lih. Yunus 1).

Adakalanya kita lupa dengan cara kerja Allah. Angka-angka yang menunjukkan jumlah peserta seminar atau ibadah gereja menjadi kebanggaan dan ukuran prestasi kita. Namun, di mata Allah, angka-angka yang berhubungan dengan manusia bersifat sangat pribadi dan penting. Entah itu sekumpulan besar orang di gereja yang terkenal atau persekutuan kecil yang ibadahnya hanya dihadiri 40 orang, setiap individu penting bagi Allah.

Kita mungkin tidak mengenal setiap orang dalam lingkungan persekutuan kita, tetapi Allah secara pribadi mau menyentuh kehidupan setiap orang yang datang kepada-Nya. Menerima keselamatan adalah pengalaman yang bersifat pribadi sebagaimana yang dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, “Pada waktu itu . . . kamu ini akan dikumpulkan satu demi satu” (Yesaya 27:12).

Kita bisa saja mempercayai fakta bahwa Yesus telah mati bagi semua orang, tetapi belum tentu benar-benar menghargai kematian-Nya bagi kita. Kesadaran bahwa Yesus telah mati bagi kita secara pribadi ini diperlukan bagi terjadinya pertobatan sejati.

***

Pengalaman Yunus bisa menjadi cerita yang menghibur, sekaligus memberi pelajaran yang serius. Setiap kita juga memiliki kisah yang harus diselesaikan. Maukah kita membuka hati bagi Allah dan memberi diri untuk dibentuk oleh-Nya? Maukah kita belajar tidak hanya melakukan pekerjaan Allah untuk Allah, tetapi juga melakukannya dengan penuh sukacita bersama Dia? Maukah kita meneladani karakter dan belas kasih-Nya yang mengagumkan, dan bertumbuh makin serupa dengan Kristus? Maukah kita berbuah bagi Allah?

Dikutip dan diadaptasi dari Allah Sang Pemburu: Pelajaran-Pelajaran dari Kitab Yunus © 2017 oleh Robert M. Solomon, terbitan PT Duta Harapan Dunia

Baca Juga:

Allah Sang Pemburu: Pelajaran-Pelajaran dari Kitab Yunus

Kisah Yunus sesungguhnya adalah kisah tentang hati dan misi Allah—Sang Mahakasih yang tak pernah berhenti memburu umat-Nya. Kitab itu juga menyatakan tentang Allah Maha Pengampun yang selalu siap memberikan kesempatan kedua, tentang Allah yang penuh belas kasihan dan yang mengutus kita untuk mengasihi sesama. Jangan lewatkan kebenaran-kebenaran indah tersebut dalam buku Allah Sang Pemburu: Pelajaran-Pelajaran dari Kitab Yunus karya Robert M. Solomon.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.