Jika kita memang diselamatkan karena kasih karunia, mengapa kita perlu berbalik dari cara hidup kita yang lama?

Berabad-abad lalu, Rasul Paulus telah mengantisipasi pertanyaan itu dalam Roma 6. Dalam lima pasal sebelumnya, Paulus berargumen bahwa kebenaran kita di hadapan Allah datang melalui Yesus, bukan karena perbuatan baik kita. Kemudian, Paulus bertanya, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” (Roma 6:1). Jika kita dibenarkan di hadapan Allah melalui Yesus, bukan lewat perbuatan baik kita sendiri, mengapa kita tidak melanjutkan saja hidup lama kita dalam dosa? Jawaban singkat Paulus untuk pertanyaan tersebut: “Sekali-kali tidak!” (ay. 2). Sisa pasal tersebut berisi jawabannya yang lebih panjang. Paulus menjelaskan bahwa orang percaya telah mati terhadap dosa. Karena kita telah disatukan dengan Yesus, kita juga bersatu dengan Dia dalam kematian-Nya (ay. 2-8).

Namun, apakah artinya hal itu secara praktis? Pertama, kita perlu memahami bahwa ketika berbicara tentang “dosa” dalam pasal ini, yang Paulus maksud bukanlah perbuatan orang sehari-hari yang mengecewakan Allah, melainkan kebejatan yang menguasai seluruh umat manusia. Kita dapat melihat ini di sepanjang Roma 6, ketika disebutkan bagaimana dosa itu berkuasa, memperhamba (ay. 6,9,12,14) dan bertindak seperti tuan atas manusia (ay. 16,20). Maksudnya, jika dibiarkan, kita akan terus menjadi tawanan dari kuasa kebejatan dosa. Bagaimana kita dapat dilepaskan dari penghambaan dosa?

Kita sanggup dan juga diundang untuk menjalani hidup dengan berbeda—bebas dari kebejatan, bebas dari obsesi yang terpusat pada diri sendiri, dan bebas hidup seperti Yesus.

Jalan keluar satu-satunya adalah kematian. Maut atau kematian adalah upah dosa (Roma 6:23) sekaligus jalan kelepasan kita dari dosa. Maksud dari pernyataan bahwa orang percaya telah mati dengan Kristus adalah supaya kita dapat terluput dari kuasa kebejatan dosa. Jika kita sudah “mati” dengan Kristus, kita sudah mati terhadap dosa (ay. 2). Karena sudah mati terhadap dosa, kita pun terlepas dari kuasanya yang merusak. Jadi, jawaban Paulus atas pertanyaan “Haruskah kita terus hidup dalam dosa?” adalah Tidak—kita sudah mati dengan Kristus. Kita sanggup dan juga diundang untuk menjalani hidup dengan berbeda—bebas dari kebejatan, bebas dari obsesi yang terpusat pada diri sendiri, dan bebas hidup seperti Yesus.

Namun, apa maksudnya mati dengan Kristus? Ketika kita beriman kepada Tuhan Yesus, kita dipersatukan dengan-Nya. Akan tetapi, kita dipersatukan bukan saja dengan masa depan-Nya, tetapi juga dengan masa lalu-Nya. Kita mengambil bagian dalam kematian Yesus (seperti dijelaskan dalam Roma 6) dan dalam kebangkitan-Nya serta kenaikan-Nya (Efesus 2:5-6). Kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus bukan hanya peristiwa yang telah lama berlalu, melainkan terhubung dengan kita secara rohani karena kita terhubung dengan-Nya.

Para teolog menyebutnya sebagai “partisipasi dengan Kristus.” Itulah cara kita menerima apa yang telah diperbuat Yesus bagi kita, oleh iman. Seperti itulah partisipasi dengan Kristus—kita ikut bersama Yesus melewati kematian, penguburan, kebangkitan, dan kenaikan. Jika Anda ingin lepas dari dosa, pergilah bersama Yesus. Dia akan membawa Anda keluar dari dosa. Pengalaman-Nya—keberhasilan-Nya dalam kedatangan-Nya yang pertama—akan menjadi pengalaman kita juga.

Pengaruh apa yang dihasilkan “partisipasi dengan Kristus” bagi hidup kita? Paulus berkata bahwa melalui salib Kristus, “dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6:14). Karena Paulus mengambil bagian dalam kematian Yesus di kayu salib, dunia—dengan segala prioritas dan nilai-nilainya—tidak lagi menguasainya. Dunia yang memberontak melawan Allah telah mati bagi Paulus, dan Paulus telah mati bagi dunia.

Jika kita menghayatinya, kebenaran ini berkuasa mengubah cara hidup, pola pikir, kecintaan kita, serta hubungan kita dengan Allah dan sesama.

Realitas baru Paulus memampukannya hidup terbebas dari kuasa dunia yang menawan. Ia tidak lagi diperbudak oleh kebejatan dunia, tetapi mampu hidup seturut cara Allah. Hal yang sama berlaku bagi setiap orang yang mengambil bagian dalam kematian Kristus—setiap orang yang percaya kepada-Nya. Kita telah mati bagi dunia, dan dunia telah mati bagi kita. Jika kita menghayatinya, kebenaran ini berkuasa mengubah cara hidup, pola pikir, kecintaan kita, serta hubungan kita dengan Allah dan sesama.

Pernahkah Anda terluka, tersinggung, atau merasa tidak dihargai? Tentu saja pernah. Bagaimana biasanya Anda bereaksi ketika hal-hal seperti itu terjadi pada Anda? Ketika merasa tersinggung dan tidak dihargai, reaksi kita sering kali didorong oleh keangkuhan diri yang bersifat duniawi. Secara alamiah kita terdorong untuk melindungi harga diri kita. Kita ingin memastikan orang lain menghargai kita. Namun, jika kita telah disalibkan dengan Kristus, seperti halnya Paulus, kita dapat melepaskan keangkuhan diri kita. Keangkuhan itu menuntut untuk menjadikan kita pusat segala-galanya—menuntut kita mendapatkan apa yang menjadi hak kita. Namun, dalam Yesus, hal itu tidak diperlukan lagi. Yesus sendiri yang akan memelihara kita. Dia telah berjanji untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan kita dan menjamin masa depan serta pengharapan kita (Matius 6:26; 11:28-30; 1 Petrus 5:7).

Jika apa yang kita kasihi mendapat tempat utama di hati kita, sudah sepatutnya Kerajaan Anak Allah yang terkasih menjadi yang utama di hati kita.

Kita juga telah dibangkitkan dengan Kristus, dan itu dapat mengubah prioritas-prioritas kita. Sebagaimana yang Paulus katakan, karena kita telah dibangkitkan bersama Kristus, kita patut mengarahkan hati kepada perkara yang di atas, tempat Kristus berada, duduk di sebelah kanan Allah (Kolose 3:1-2). Dibangkitkan dengan Kristus berarti kita mengutamakan hal-hal yang Allah utamakan. Jika apa yang kita kasihi mendapat tempat utama di hati kita, sudah sepatutnya Kerajaan Anak Allah yang terkasih menjadi yang utama di hati kita.

Mengutamakan “perkara di atas” berarti kita lebih menghargai sifat-sifat seperti kasih, belas kasihan, dan pengampunan daripada keangkuhan, kebencian, dan keegoisan. Kita mendahulukan belas kasihan dan kebaikan hati terhadap sesama daripada mengejar kekayaan dan kenyamanan sendiri. Tentu saja semua itu bagian dari proses pertumbuhan, tetapi kita mampu melakukannya justru karena kita berada di dalam Kristus.

Ungkapan kunci di sini adalah dengan Kristus. Jika Anda seorang Kristen, Anda telah mati dengan Kristus. Anda telah dihidupkan dengan Kristus. Anda telah dibangkitkan dan ditempatkan di surga dengan Kristus. Kita mengambil bagian dalam apa yang telah Yesus kerjakan untuk kita. Mati dan bangkit dengan Kristus juga “memindahkan alamat” kita, sehingga kita tidak lagi hidup di bawah kuasa dosa dan maut, melainkan sekarang hidup dalam Kerajaan Anak Allah. Alamat baru itu mengubah segalanya.

(diadaptasi dan dikutip dari Seri Terang Ilahi “Melekat kepada Yesus”, diterbitkan oleh Duta Harapan Dunia)

Saksikan Juga:

Kesatuan dengan Kristus

Siapa yang dapat menentukan nilai diri Anda? Bagi Mike Wittmer, jawabannya hanya Yesus. Pengajar, pendeta, teolog, dan penulis ini memahami bahwa “Identitas diri saya ada di dalam Yesus.”
 
Nilai diri kita tidak ditentukan oleh pencapaian atau kegagalan kita, karena kesatuan kita dengan Kristus itu telah menjadikan kita anak-anak Allah yang sangat dikasihi-Nya. Kita memiliki kesempatan istimewa untuk mempercayai kebenaran itu ketika kita membaca Alkitab, berdoa, dan sekadar berdiam di dalam hadirat-Nya.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.