Dhimas Anugrah

Anda mungkin pernah mendengar istilah TGIF (Thank God It’s Friday) atau “Syukurlah sekarang hari Jumat.” Itulah ungkapan yang menggambarkan kelegaan karena setelah lima hari bekerja akhirnya kini bisa memasuki libur akhir pekan. Namun, setelah akhir pekan usai, mungkin ada yang berkata, “I hate Monday!”, “Duh, sudah kembali mau kerja lagi”, atau “Kenapa ya akhir pekan rasanya terlalu singkat?” Dari gambaran ini, tersirat bahwa pekerjaan menjadi beban yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Bahkan ada pula yang menganggap bahwa pekerjaan adalah hukuman. 

Apa benar pekerjaan adalah hukuman? Mitos dan kisah-kisah kuno menceritakan bagaimana para dewa menciptakan manusia untuk melakukan pekerjaan kasar yang tidak ingin mereka kerjakan sendiri. Pekerjaan dipandang sebagai hal yang merendahkan pikiran dan tubuh manusia. Melihat pekerjaan sebagai hukuman, atau bahkan sebagai akar penderitaan manusia juga pernah diungkapkan oleh seorang aktivis sosial bernama Bob Black pada tahun 1985 dalam esainya yang berjudul The Abolition of Work

Tidak seorang pun yang harus bekerja. Bekerja adalah sumber dari hampir semua kesengsaraan di dunia ini. Hampir semua kejahatan yang bisa Anda sebutkan berasal dari bekerja atau dunia yang dirancang untuk bekerja. Untuk menghentikan kesengsaraan ini, kita harus berhenti bekerja.

Tentu, pendapat semacam itu adalah kesimpulan yang keliru dan tidak selaras dengan etika Kristen. Alkitab menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme kehidupan. Menurut pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah juga manusia bekerja. “Apabila matahari terbit . . . manusiapun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang” (Mazmur 104:19-23). Kita diajarkan firman Tuhan untuk memandang kerja sebagai bagian dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia dengan tujuan “untuk mengusahakan dan memelihara taman” yang diberikan-Nya (Kejadian 2:15). Dengan demikian, pekerjaan bukanlah hukuman, melainkan anugerah Allah. 

Krisis Profesionalitas

Menganggap pekerjaan sebagai hukuman pada gilirannya akan mendorong dunia kerja pada krisis profesionalitas, yaitu tugas dan tanggung jawab pekerjaan dipandang sebagai beban, bukan sebagai pengabdian yang membawa sukacita. Pekerjaan dijalani secara terpaksa, padahal setiap pekerjaan menuntut adanya totalitas, komitmen dan kesempurnaan, apa pun bidang kerjanya. 

Krisis profesionalitas kerja didasarkan pada pemahaman yang keliru tentang pekerjaan, di mana bekerja dipandang sebagai kewajiban buta. Akibatnya, orang jadi terpaksa bekerja. Kebahagiaan tidak tampak di raut wajah pekerja, dan orang terpaksa bekerja hanya untuk mempertahankan hidup. Kerja tidak dipandang sebagai suatu privilese, melainkan suatu beban berat atau sebuah keterpaksaan, dan bukan panggilan hidup yang mulia. Sehingga, jamak kita jumpai banyak orang yang bekerja ingin mendapat pendapatan tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan mutu kinerja yang baik. Hal ini menuntut kita mencermatinya dengan saksama.

Kita diundang untuk memandang bekerja sebagai panggilan hidup yang mulia, sehingga dapat bekerja dengan sukacita.

Seperti yang kita tahu, profesionalitas menuntut pemahaman yang tepat tentang kerja. Kita diundang untuk memandang bekerja sebagai panggilan hidup yang mulia, sehingga dapat bekerja dengan sukacita. Hanya dengan demikian totalitas dan profesionalitas bisa dibangun. Nilai ini tanpa kita sadari turut menyumbang kejayaan ekonomi dan kesejahteraan negara di mana Tuhan tempatkan kita (Yeremia 29:7).

Teologi Kerja

Alkitab mencatat bahwa Tuhanlah yang merancang manusia untuk bekerja (Kejadian 2:15). Ini sebabnya secara naluriah manusia butuh bekerja. Tim Keller dengan tepat menyatakan dalam bukunya Every Good Endeavour bahwa,

Pekerjaan adalah kebutuhan dasar manusia seperti halnya makanan, kecantikan, istirahat, persahabatan, doa, dan seksualitas; Pekerjaan bukanlah sekadar obat, tetapi makanan bagi jiwa kita. Tanpa pekerjaan yang bermakna, kita merasakan kehilangan dan kekosongan batin yang signifikan. Orang-orang yang diberhentikan dari pekerjaan karena alasan fisik atau lainnya akan dengan cepat merasakan betapa mereka membutuhkan pekerjaan untuk bertumbuh secara emosional, fisik, dan spiritual.

Sejak pasal awal Kejadian Allah digambarkan sebagai Pekerja. Dia adalah Aktor utama dalam penciptaan dunia (Kejadian 1:1-15). Jika Tuhan adalah yang pertama kali melakukan pekerjaan di bumi, maka semua pekerjaan yang baik pun mencerminkan aktivitas Allah. Mazmur 19 menunjukkan bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepada dunia melalui pekerjaan-Nya. Nats ini merupakan undangan bagi kita untuk memahami betapa pekerjaan memiliki nilai spiritual yang luhur. Setiap orang Kristen yang sehat jasmani dan rohani di usia produktif wajib bekerja. Kitab Suci menolak kemalasan. Rasul Paulus mengatakan, “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman” (1 Timotius 5:8; bdk. Amsal 18:9).

Bekerja sebagai dokter, pengacara, pengusaha, pegawai negeri, asisten rumah tangga, tidak kurang rohani dari pekerjaan di gereja. Sebab, semuanya diwajibkan melakukan pekerjaannya dengan prinsip keutamaan dan etika yang luhur.

Pada saat yang sama, kita diajak memahami bahwa jika seluruh aspek kehidupan seseorang sejatinya adalah spiritualitas, maka tidak perlu lagi ada dikotomi hal spiritual dan non spiritual. Tidak ada pembedaan pekerjaan rohani maupun sekuler. Kolose 3:23 menyatakan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Bekerja sebagai dokter, pengacara, pengusaha, pegawai negeri, asisten rumah tangga, tidak kurang rohani dari pekerjaan di gereja. Sebab, semuanya diwajibkan melakukan pekerjaannya dengan prinsip keutamaan dan etika yang luhur. Mari memandang pekerjaan sebagai pelayanan, di mana kita dapat bekerja sama dengan Tuhan dan melayani orang lain di dunia. Bekerja merupakan anugerah dari Allah. Dengan bekerja, kita diberkati (Mazmur 127:1-5; Pengkhotbah 3:12-13; Amsal 14:23) dan orang lain pun diberkati melalui pekerjaan kita (Keluaran 23:10-11; Ulangan 15:7-11; Efesus 4:28). Sebagai orang Kristen, kita diajak memandang pekerjaan sesuai apa yang Kitab Suci katakan—anugerah dan panggilan Allah.


Podcast KaMu “Kerja-Kerja-Tipes”

Strategi menggapai sukses yang sering kita lakukan adalah kerja keras dan kerja cerdas. Namun, tak jarang hasrat berjuang itu malah seperti bumerang.

Bagi kita yang sedang meniti jalan menuju suksesnya masing-masing, apa arti sukses yang sebenarnya? Bagaimana kita bisa meraih sukses itu, sembari tetap memiliki ritme kehidupan yang baik?

Yuk, temukan jawabannya di Podcast KaMu “Kerja-Kerja-Tipes”


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.