Dhimas Anugrah

Hati manusia menyimpan beribu keinginan dan kerinduan. Apalagi dalam zaman yang penuh aktivitas di media sosial seperti sekarang, kita seakan terjebak dalam kontes persaingan kehidupan yang begitu cepat dan tak pernah lelah. Kencangnya arus informasi tentang barang, hiburan, dan bisnis di di dunia maya mendorong jiwa kita berhasrat meraih banyak hal, lebih dan lebih lagi. Akibatnya, tanpa disadari, banyak di antara kita tersudut pada ruang gelap kelelahan dan keresahan. Kelelahan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar secara fisik, tetapi juga mental. Kita merasa lelah karena banyak hal yang kita inginkan tidak berhasil didapatkan. Kondisi ini lantas menyekap kita pada keresahan. Resah, karena setelah sekian lama berjuang keras, bahkan berdoa, keinginan-keinginan itu tak kunjung terwujud. 

Kondisi ini tak jarang berujung pada gangguan emosional, bahkan depresi, yang merupakan kontributor utama kematian akibat bunuh diri di dunia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) mencatat bahwa prevalensi gangguan emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 6% di tahun 2013 menjadi 9,8% di tahun 2018. Tentu, situasi ini bisa dipicu oleh beragam penyebab, tetapi ada juga alasan lain yang berasal dari keinginan-keinginan yang tak terpenuhi. Ada jarak antara hasrat dan realitas, dan ini tak selalu mudah bagi siapa pun untuk menerimanya.

Lepaskan yang di Luar Kendali Kita

Filsuf Stoa bernama Epiktetus mengatakan bahwa ada hal-hal yang di dalam kendali kita, ada pula hal-hal yang di luar kendali kita. Pernyataan ini memuat sebuah kebenaran universal, di mana setiap manusia diajak belajar mengendalikan atau menahan diri dalam memilah keinginannya: Apakah keinginan itu menyangkut hal-hal yang ada di dalam kontrolnya, atau di luar kontrolnya? Belajar mengendalikan diri juga selaras dengan nasihat sabda Tuhan. 

Sebagai anak-anak Tuhan, kita diundang untuk memahami realitas ini dan menguasai diri di tengah hal-hal yang berada di dalam atau di luar kendali kita, termasuk belajar melepaskan hal-hal yang di luar kendali kita dengan pertolongan Roh Allah.

Di Galatia 5:23, salah satu ekspresi buah Roh ialah “penguasaan diri.” Kata ini dialihbahasakan dari bahasa Yunani egkrateia, artinya suatu kebajikan yang lahir dari seorang yang mengendalikan hasrat atau gairah manusiawinya, termasuk nafsu sensualnya. Secara sederhana, nats ini mengingatkan pembacanya agar berikhtiar mengendalikan atau menahan diri dalam memilah hasrat atau keinginan kita. Sebagai anak-anak Tuhan, kita diundang untuk memahami realitas ini dan menguasai diri di tengah hal-hal yang berada di dalam atau di luar kendali kita, termasuk belajar melepaskan hal-hal yang di luar kendali kita dengan pertolongan Roh Allah. 

Sebagai contoh, ketika ingin pergi jalan-jalan dan berkumpul dengan sahabat, tiba-tiba pandemi memaksa kita membatasi diri dan wajib menaati protokol kesehatan. Pandemi adalah hal yang ada di luar kontrol kita, tetapi suasana hati (mood) adalah hal yang ada di dalam kendali kita. Maka, respons yang bisa kita upayakan adalah mengelola suasana hati sedemikian rupa agar kita tidak kehilangan sukacita, meski aktivitas sosial kita (termasuk belajar maupun bekerja) dibatasi oleh peraturan yang terasa menyebalkan bagi banyak orang. 

Suatu cara untuk menyembuhkan diri dari emosi negatif (rasa iri, marah, pahit, cemas) adalah kerelaan untuk melepaskan diri dari nafsu keinginan yang tidak wajar.

Contoh lain, kita terlahir dengan bentuk fisik dan warna kulit yang khas nan unik. Semua itu adalah pemberian Allah, bukan karena permintaan kita. Hal itu termasuk dalam hal yang berada di luar kendali kita. Namun, mungkin saja ada di antara kita yang mengeluh karena tidak puas dengan bentuk fisik maupun warna kulit yang Allah sudah anugerahkan di dalam hikmat dan kedaulatan-Nya. Dalam keluhan semacam ini, sabda Tuhan dengan lembut mengundang kita untuk mengendalikan diri dan mengucap syukur, seperti yang tertulis dalam 1 Tesalonika 5:18, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” 

Suatu cara untuk menyembuhkan diri dari emosi negatif (rasa iri, marah, pahit, cemas) adalah kerelaan untuk melepaskan diri dari nafsu keinginan yang tidak wajar. Tentu, ini bisa terasa tidak mudah, tetapi lewat upaya menguasai diri yang dimampukan Roh serta penyerahan diri yang total kepada kedaulatan Allah, kita dimungkinkan untuk menggapai kedamaian (shalom) dalam jiwa kita. 

Belajar Menguasai Diri

Penguasaan diri dan kerelaan untuk melepaskan keinginan akan hal-hal yang ada di luar kendali kita niscaya membawa kita menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam iman. Dengan penguasaan diri, kita tidak akan mudah terbawa arus hasrat diri dan keinginan duniawi (popularitas, kekayaan, kedudukan, dsb). Bukankah sering kali kita merasa lelah dan resah karena jiwa kita terus-menerus mengejar keinginan akan hal-hal yang ada di luar kendali kita? 

Rasul Yohanes mengingatkan kita agar waspada terhadap keinginan diri yang duniawi, karena itu tidak berasal dari Allah (1 Yohanes 2:15-17). Keinginan duniawi bisa berupa keinginan mata (keserakahan), keinginan daging (hawa nafsu), dan keangkuhan hidup (kesombongan). Tentu, seumur hidup kita akan menghadapi tantangan terhadap nafsu yang muncul dari dalam diri kita. Namun, Allah itu baik. Dia tahu kemampuan kita sangat terbatas. Ikhtiar menguasai diri bisa jadi ujian tiada akhir bagi setiap kita. Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengutus Roh Kudus untuk menolong kita dalam segala upaya menguasai diri (Yohanes 14:15-17). Bersama Roh Kuduslah kita akan menjalani dinamika perjalanan iman kita dalam hal penguasaan diri, baik itu ketika kita kuat maupun lemah.

Penguasaan diri merupakan proses panjang. Akan tetapi, kita diundang untuk setia melatih diri dalam proses itu. Seperti kata pengamsal, “Orang yang sabar melebihi pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (16:32). Petrus menggemakan lagi hal ini, “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa” (1 Petrus 4:7). Pesan ini terasa penting, terlebih risiko seorang yang takut Tuhan jatuh ke dalam nafsu dosa tetap ada. Tampaknya ini juga yang mendorong Paulus dalam ilham Roh Kudus menulis kepada anak rohaninya, “Kuasailah dirimu dalam segala hal…!” (2 Timotius 4:5). 

Kekuatan untuk melepaskan diri dari kelelahan dan keresahan yang menjelma menjadi gangguan emosi kita peroleh dari penguasaan diri yang dihasilkan oleh Roh Kudus. Semua itu diawali dengan ketajaman membedakan segala sesuatu: apa yang tergantung pada kita dan apa yang tidak tergantung pada kita. Pada titik ini, kita pun diajak memanjatkan doa yang pernah diucapkan teolog Reinhold Niebuhr, “Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang aku bisa, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.”


Baca Juga:

Mari Menjaga Kesehatan Mental

Pertanyaan “Bagaimana kabarmu?” tidak selalu mudah dijawab. Adakalanya kita sendiri tidak tahu pasti keadaan diri kita. Kiranya materi-materi yang tersedia dalam situs di bawah ini dapat menolong Anda atau siapa saja yang membutuhkan pertolongan Tuhan untuk menjaga kesehatan mental.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.