Awal dekade yang baru dibuka dengan berita getir: banjir menggenang dan menerjang sejumlah wilayah di Jabodetabek. Bagi warga yang tinggal di daerah langganan banjir, bencana ini lebih terasa seperti rutinitas tahunan ketimbang musibah. Namun, meskipun ada sebagian warga yang tampaknya menyikapi santai bencana ini, di wilayah lain seperti Lebak dan Bogor, banjir menjadi tragedi memilukan yang merenggut nyawa orang-orang terkasih.

Mungkin pertanyaan yang terlintas di benak kita menyikapi fenomena ini adalah: salah siapa?

Media sosial lantas dipenuhi dengan polemik akan siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab atas bencana ini. Namun, terlepas dari polemik itu, fakta-fakta ilmiah menunjukkan data yang valid bagi kita bahwa dunia yang kita tinggali saat ini tidak sedang baik-baik saja. Perubahan iklim akibat pemanasan global telah membuat tatanan alam yang sebelumnya teratur menjadi berubah. Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat dalam 150 tahun terakhir terjadi peningkatan curah hujan, dan curah hujan di hari tahun baru yang lalu (mencapai 260 mm/hari) adalah curah hujan terekstrem. Tak hanya di Indonesia, Australia pun mengalami kebakaran yang melahap habis 1,2 juta hektar hutan. Dampak bencana ini dikhawatirkan memusnahkan spesies-spesies hewan di sana, dan asap yang menjadi polusi.

Selain bencana alam tersebut, bumi kita pun semakin merana dengan semakin menggunungnya polusi plastik yang meracuni tanah dan samudera. Di Samudera Pasifik ditemukan satu gugusan sampah plastik seluas 1,6 juta kilometer persegi mengapung di lautan. Sampah-sampah yang dihasilkan manusia itu berakhir di lautan, meracuni dan membunuh biota laut. Semua ini adalah bencana lingkungan. Meskipun mungkin saat ini kita tidak mengalami dampak langsung, tetapi mungkin kehidupan di generasi mendatang akan menanggung akibat yang berat dari ketidakcakapan generasi-generasi sebelumnya dalam merawat lingkungan.

Sejak awal dunia diciptakan, Alkitab mencatat bahwa Allah memberi perintah kepada manusia untuk menatalayani bumi dengan sebaik-baiknya (Kejadian 1:27-28). Allah telah mempercayakan bumi kepada tangan manusia di bawah pengawasan dan kendali-Nya yang penuh kasih dan berdaulat.

Namun, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, manusia pun lalai akan tugas dan tanggung jawabnya untuk merawat bumi dengan baik. Meskipun bencana lingkungan yang terjadi saat ini skalanya mungkin dirasa terlalu luas, tetapi bisa jadi kita memang memiliki andil di dalamnya. Gaya hidup kita yang boros sumber daya: menggunakan banyak materi plastik sekali pakai, kendaraan pribadi ke mana-mana, menggunakan air secara berlebihan, dan sebagainya, mungkin menjadi andil dalam kerusakan itu. Jika jutaan orang melakukan hal yang serupa, apa yang tampaknya kecil tentu menjadi besar.

Di bilangan Jakarta Selatan, ada seorang warga yang geram dengan aktivitas warga yang membuang sampah ke sungai. Setiap hari, dia membersihkan sungai yang ada dekat rumahnya dari sampah hingga suatu ketika, setelah bertahun-tahun, warga mulai menyadari kesalahan mereka dan berbalik mendukungnya untuk merawat sungai. Saat ini, buah dari “pelayanan”-nya adalah lahirnya hutan kota dan kelompok tani di sekitar Kali Pesanggrahan. Kehadiran hutan kota dan komunitas lokal ini menjadi oase yang segar di tengah kerusakan lingkungan yang terus terjadi kian hari.

Apa yang dilakukan warga tersebut mengingatkan kita bahwa Allah-lah yang empunya bumi dan kitalah yang bertugas merawatnya. Martin Luther pernah mengatakan bahwa: Injil yang ditulis Allah bukan hanya kita lihat pada Kitab Suci, tetapi juga pada pohon, bunga dan bintang-bintang. Pernyataan ini jelas, cara kita mengelola lingkungan memperlihatkan pula kesaksian hidup kita sebagai orang percaya sekaligus penatalayanan yang dipercaya untuk mengelola bumi ini.

Jika kita tidak berhikmat dalam menjaga lingkungan tempat tinggal kita, bahkan berkontribusi dalam kerusakan lingkungan, bukankah ini menunjukkan bahwa kita kurang peduli terhadap kesaksian yang kita tunjukkan kepada dunia ini?

Setiap perubahan dimulai dengan sebuah langkah sederhana. Membangun kesadaran bahwa kita adalah umat Allah yang diberi kepercayaan untuk menjadi pengelola bumi adalah permulaan yang baik yang menolong kita untuk menginisiasi kebiasaan yang baik. Kita dapat mulai dengan memilah sampah sesuai dengan kategorinya, mengurangi konsumsi benda-benda plastik sekali pakai, menanam pohon di lingkungan sekitar kita, dan bagi kita yang tinggal di wilayah urban, meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi dengan beralih ke transportasi publik. Mungkin apa yang kita lakukan tampak sederhana, tetapi jika teladan ini diikuti oleh jutaan orang, tentu dampaknya akan lebih terlihat.

Kita belum terlambat untuk membenahi bumi tempat tinggal kita bersama, dan semuanya itu dimulai dari kita.