Menjelang Natal, kita tidak asing dengan bacaan Alkitab atau pun khotbah-khotbah di gereja yang mengajak kita untuk menyambut kelahiran Kristus, Sang Raja dan Juruselamat yang dilahirkan di Betlehem. 

Di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta, ada sebuah kisah yang terjadi puluhan tahun silam. Meskipun kisah ini tidaklah bertutur mengenai momen Natal, tetapi mungkin kisah ini dapat menolong kita untuk lebih memahami Natal sebagai momen kedatangan Sang Raja ke dunia. 

Alkisah, di kaki gunung Merapi hiduplah seorang simbok penjual beras yang setiap harinya berjualan di Pasar Kranggan, Kota Yogyakarta. Untuk sampai ke pasar, setiap pagi dia menanti di pinggir jalan dan menumpang kendaraan jip yang mengarah ke kota, begitu setiap hari. Suatu pagi, dari kejauhan simbok melihat sebuah jip yang melaju ke selatan. Tangannya melambai-lambai, mengarahkan sang pengemudi untuk berhenti. 

Mobil jip itu berhenti tepat di depan simbok. Seperti biasa, simbok meminta supir untuk mengangkat beras-beras bawaannya yang entah berapa karung jumlahnya. Supir itu menurut. Semua karung beras dinaikkan ke bagian belakang jip. Setelah selesai, mereka pun meluncur menuju kota. 

Setibanya di pasar, sang supir kembali menolong simbok menurunkan semua karung berasnya. Simbok pun mengeluarkan uang dan memberikannya sebagai upah kepada sang supir. Namun, tak seperti supir-supir lainnya yang selalu menerima uang simbok, supir ini malah dengan sopan menolak uang tersebut dan mengembalikannya kepada simbok. 

Simbok salah mengira. Dipikirnya penolakan itu sebagai tindakan bahwa sang supir meminta jatah uang lebih. Simbok pun marah-marah dan membandingkan supir ini dengan supir-supir lainnya. Tanpa membalas oceah simbok, sang supir pergi meninggalkan pasar. 

Tak lama kemudian, ada seorang polisi yang kebetulan sedang berada di pasar. Dia menghampiri simbok dan bertanya, “Mbakyu, apakah mbakyu tahu siapa supir tadi?” 

Masih dalam suasana hati yang kesal, simbok menjawab, “Supir ya supir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang supir yang satu ini agak aneh.” 

Polisi itu membalas, “Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Supir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja di Ngayogyakarta ini.” 

Mendengar jawaban itu, simbok seketika pingsan dan jatuh ke tanah. Dia amat menyesali tindakannya yang tidak hormat terhadap supir jip yang sesungguhnya adalah rajanya. 

Cerita tentang seorang raja yang mengambil rupa sebagai rakyat biasa sering menjadi kisah yang menggugah hati. Rasanya ada sukacita dan harapan yang kembali hidup. Bagi kita orang biasa, adalah suatu kehormatan dan sukacita apabila ada “Raja” yang secara kedudukan dan status sosialnya jauh lebih tinggi bersedia hadir di tengah-tengah kita. Sebagai orang biasa, kita memiliki jarak yang sangat jauh dalam relasi kita dengan sang “Raja”. Kita ada di tempat yang rendah, sedangkan sang “Raja” ada di tempat yang Mahatinggi. Namun, hati kita takjub bergetar manakala sang Raja yang dari tempat tinggi tersebut sudi melawat dan hadir secara nyata di tengah-tengah kita. 

Inilah yang sejatinya terjadi pada peristiwa Natal. Hari yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember sesungguhnya bukanlah hari yang berbicara tentang gemerlap lampu, diskon belanja, atau pun tentang liburan panjang. Natal ada hari peringatan yang seharusnya mengingatkan kita kembali akan keberdosaan dan ketidakberdayaan kita hingga Allah, sang Raja di atas segala raja, datang ke dunia untuk menyelamatkan kita. 

“Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:5-7).

“Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28).

Di Betlehem, dua ribu tahun lalu, Sang Raja hadir di dunia. Sang Raja menanggalkan segala kemuliaan-Nya dan menjadi serupa dengan kita. Sang Raja yang tanpa dosa hadir secara nyata di tengah-tengah kumpulan manusia berdosa yang tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Pertanyaannya bagi kita saat ini adalah: sudahkah kita menerima Kristus yang lahir di Betlehem hadir dalam hati kita? Apakah berita Natal yang tersiar di Betlelehem diwartakan dalam hidup kita dan mengubah hidup kita?

Natal kali ini, undanglah Kristus untuk “lahir” kembali dalam hati kita. Izinkanlah Dia memerintah dan menjadi Raja atas hidup kita.