Philip Manurung
Jika ingatan saya tidak keliru, jemaat kecil kami mengadakan kebaktian secara daring (e-worship) mulai tanggal 22 Maret. Ketika itu, sesuai keputusan sidang para penatua, seluruh kebaktian gereja dialihkan ke format online untuk dua minggu berturut-turut. Sejarah mencatat kemudian, bahwa situasi berkembang (atau tidak ada perkembangan) sedemikian rupa hingga menjelang awal Mei 2020, kami masih harus bersabar mengikuti kebaktian secara dua dimensi.
Dalam peringatan satu bulan peralihan ke format e-worship ini, ada hal khusus yang mulai menarik perhatian saya; sebuah kecenderungan yang membentuk pola. Awalnya, itu terlihat pada beberapa anggota jemaat yang saya kenal pribadi mulai memperlihatkan gejala kejenuhan dan kehilangan antusiasme dalam beribadah.
Namun, harus saya akui, belakangan gejala itu mulai saya rasakan sendiri. Hari Minggu kemarin adalah kali kedua saya mengabaikan semua instruksi dari liturgis daring. Saya tidak berdiri ketika diminta, tidak bernyanyi dengan bersuara, tidak menggumamkan ayat Alkitab, dan mencari air minum ketika waktunya berdoa. Satu-satunya panduan yang tetap saya ikuti adalah duduk. Daging saya hanya ingin menyingkat kebaktian itu: berdoa, transfer persembahan, dengar khotbah, selesai. Entah sejak kapan.
Saya mulai menganalisis, dengan tujuan untuk membenarkan diri. Mungkin, menurut rasionalisasi saya, itu karena saya bukan generasi milenial. Di satu sisi, saya, sebagaimana 80% jemaat yang bukan generasi milenial, tidak memiliki kelekatan dengan dunia maya. Saya tumbuh besar dengan bermain yoyo, petak umpet, lompat tali, gobak sodor, batalyon, dan khususnya, terlatih dalam mengejar layangan putus. Satu-satunya keintiman saya dengan alam dua dimensi adalah buku kertas dan layar televisi. Generasi saya menginginkan kontak fisik secara langsung: sentuhan, jabatan, rangkulan, pukulan, gendongan, tamparan, bisikan, ciuman, belaian, dsb. Kami terbiasa—lebih tepatnya, hidup—di alam tiga dimensi. Saya benar-benar tidak bisa mengonversi jiwa saya ke dalam satuan megabit dan megapiksel.
Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa bagaimanapun beberapa aspek hidup saya sudah kadung larut ke dalam fasilitas 4G dan kuota gigabit dalam setahun terakhir. Saya menatap layar telepon pintar saya ratusan kali dalam sehari, mengunduh dan mengunggah kata dan suara setiap jam. Bahkan, saya kerap mempersiapkan khotbah dan mengeksegesis firman Tuhan di layar dua dimensi. Maka, adalah naif jika saya berdalih tidak tahan dengan gaya hidup dua dimensi. Lantas apa masalahnya?
Satu gejala lain mungkin dapat membantu kita melihat gambaran keseluruhan. Selain menurunnya antusiasme mengikuti kebaktian, interaksi maya di antara sesama anggota jemaat pun tampaknya mulai memudar. Dulu, beberapa orang segera turut mengucapkan selamat ulang tahun setelah saya pertama-tama mengumumkan pada hari itu. Sekarang, kepedulian yang sama terasa kurang “menggigit”. Dulu, ada masa-masa ketika satu berita dapat memicu percakapan berlarut-larut. Dalam satu minggu terakhir, hampir-hampir saya mendengar suara jangkrik di dalam grup WhatsApp. Ke mana semua orang? Well, avatar mereka masih ada di sana, tetapi antusiasme sepertinya ikut mengisolasi diri.
Sekali lagi, saya mencoba mencari pembenaran akan hal ini. Praktik Kerja dari Rumah (KDR) tentu telah menyedot banyak energi dan daya pikir. Ritme dan pola kerja yang baru seolah-olah menuntut adaptasi tiada akhir. Masalah-masalah baru terus muncul, sedangkan masalah-masalah lama belum terselesaikan dengan baik. Dahulu, paradigma lama kerja dari kantor adalah 8 jam per hari. Sekarang, berkat daya infiltrasi internet, seseorang bisa bekerja 18 jam sehari kecuali gawainya dimatikan atau kuota internet habis. Setidaknya, itulah yang saya dengar dari beberapa anggota jemaat.
Karena itu, saya sungguh memahami bila sebagian besar orang Kristen tidak lagi antusias beribadah. Saya bisa paham apabila kasih dan kepedulian beberapa orang menjadi dingin. Namun, di situlah bahayanya. Itu pulalah maksud dari tulisan ini.
Di kalangan sarjana Alkitab, Matius 24–25 sering disebut sebagai Diskursus Akhir Zaman. Di situ Tuhan Yesus menyingkapkan beberapa fakta dan perumpamaan yang terkait dengan hal-hal menjelang kedatangan-Nya yang kedua. Perumpamaan tentang Gadis-Gadis Bijaksana dan Gadis-Gadis Bodoh adalah salah satunya. Secara singkat, perumpamaan itu menyamakan kedatangan Tuhan Yesus kembali dengan kedatangan mempelai pria dalam tradisi Israel abad ke-1. Meski, di banyak tempat, Alkitab secara konsisten melambangkan gereja dengan mempelai wanita, dalam perumpamaan ini, para gadis pendamping mempelai adalah juga bagian dari gereja. Masalah, dan sekaligus fokus, dari perumpamaan ini melibatkan pemahaman tentang siapa 5 gadis bijaksana dan 5 gadis bodoh itu.
Tuhan Yesus sendiri menjelaskan: “Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka” (Mat. 25:3-4). Para bapa gereja kerap berbeda pendapat tentang apa yang dilambangkan oleh “minyak” itu. Krisostomus (abad 4) menafsirkannya sebagai derma atau kemurahan hati orang Kristen; John Calvin menganggapnya sebagai “zeal”, yaitu semangat menyala-nyala bagi Tuhan; sedangkan Barnes menyamakannya dengan “true grace” atau anugerah yang sejati. Tanpa mengabaikan pendapat mereka yang telah menggumuli Alkitab lebih banyak, kita bisa menafsirkan bahwa gadis-gadis bodoh itu tidak mempertahankan anugerah Roh Kudus di dalam diri mereka, yang sanggup membuat mereka menyala-nyala bagi Tuhan menjelang kedatangan-Nya. Salah satu akibatnya, “kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin”, bahkan di dalam jemaat Kristen (Mat. 24:12).
Saya pikir tidaklah berlebihan jika perspektif “gadis-gadis bodoh” itu menjadi peringatan bagi gereja di zaman kita. Terlebih, setelah kita mencermati indikasi kejenuhan yang telah menggejala di dalam banyak jemaat pada masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Entah berapa banyak orang Kristen yang semakin “longgar” dalam ibadahnya, baik pada kebaktian Minggu maupun dalam saat teduh pribadi.
Jadi, pertanyaan di benak banyak orang kemudian adalah, apa yang harus kita lakukan sekarang? Saya bisa saja memberikan nasihat-nasihat praktis seperti “Bangun lagi mezbah keluarga!”, “Kembalikan disiplin doa dan puasa!”, atau “Bertobatlah sekarang juga!”, tetapi beberapa minggu kemudian kita akan jatuh ke lubang yang sama, dan orang lain akan kembali menulis peringatan seperti ini. Namun, saya ingin kembali kepada hal yang mendasar, yaitu iman. Iman yang sejati didasarkan pada kasih karunia Allah, yang kemudian memampukan kita semakin mengasihi Dia, bahkan di tengah kejenuhan dan kelemahan kita.
“Karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman”, kata Rasul Paulus oleh iluminasi Roh Kudus (Ef. 2:8). Itu berarti, iman diperoleh hanya jika dikaruniakan dari surga. “Itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.” Perjalanan ziarah rohani seumur hidup kita dimulai dengan karunia iman dan terus menerus diperbarui serta dikuatkan dengan iman. Dengan kata lain, it’s up to God. Jadi, jika segala pemberian bergantung pada karunia Allah, maka satu-satunya cara untuk memperoleh pemberian itu adalah dengan meminta.
Seperti para murid yang meminta kepada Sang Guru Agung, “Tambahkanlah iman kami!” (Luk. 17:5), kita dapat memohon dalam keyakinan pada inisiatif dan kuasa Allah yang dapat menolong kita mengatasi kelemahan kita dan kembali mengasihi Dia dengan sungguh-sungguh. Permohonan ini bersifat mendesak sekaligus strategis. Mendesak, karena itu tidak bisa ditunda. Kita memerlukan kuasa Roh Allah setiap saat. Strategis, karena dengan memintanya, kita menyadari bahwa tanpa anugerah-Nya kita akan terhanyut. Kita memerlukannya sekarang! Mintalah saat ini juga!
Ya Allahku, terkadang aku merasa jenuh dan kehilangan semangat, bahkan untuk mencari wajah-Mu. Namun, sekarang aku datang dalam kelemahanku, supaya Engkau memperbarui kembali semangatku bagi-Mu dan bagi pelayananku kepada sesamaku. Kobarkanlah jiwaku, ya Tuhan! Amin.