Marlia Kusuma Dewi dan Dhimas Anugrah

Memento Mori, istilah Latin yang artinya “ingat kematian” menjadi begitu populer dalam dunia filsafat Yunani-Romawi. Konon istilah ini berawal dari cerita tentang seorang pelayan yang ditugaskan berdiri di dekat seorang jenderal yang menang saat ia berparade di kota. Saat sang jenderal menikmati kerumunan yang mengaguminya dengan bersorak-sorai, pelayan itu akan berbisik di telinga sang jenderal, “Respice post te! Hominem te esse! Memento mori!” (Lihat di belakangmu! Ingatlah bahwa kamu hanyalah seorang pria! Ingatlah bahwa kamu akan mati!).

Di Indonesia, konsep “mengingat kematian” dijadikan sebagai tradisi turun temurun oleh umat Kristen di Tamiang Layang, Kalimantan. Tradisi yang diakulturasi pada zaman Belanda sejak abad ke-19 itu diadakan pada malam menjelang Paskah. Dalam acara tersebut mereka akan mengadakan pawai di jalan, lalu membersihkan dan mengunjungi makam keluarga. Bahkan, ada juga yang bermalam di makam, sekadar untuk mengingatkan mereka kembali bahwa manusia pada akhirnya akan mati.

Mengisi waktu hidup di dunia yang paling baik adalah memberi diri dituntun Roh Kudus untuk melatih mengosongkan diri, seperti yang diteladankan Tuhan Yesus (Filipi 2:5-7).

Dalam iman Kristen, kematian pun perlu dipandang secara serius oleh setiap orang percaya. Hidup ini fana dan setiap orang akan menghadapi kematian. Maka, setiap orang Kristen bertanggung jawab mengisi waktu hidupnya di dunia dengan sebaik-baiknya, sebelum akhirnya meninggal dunia. Mengisi waktu hidup di dunia yang paling baik adalah memberi diri dituntun Roh Kudus untuk melatih mengosongkan diri, seperti yang diteladankan Tuhan Yesus (Filipi 2:5-7). Bagi kita, penerapan dari kenosis—istilah bahasa Yunani dari perbuatan mengosongkan diri tersebut—adalah dengan memeriksa dan mengikis segala nafsu atau ambisi pribadi kita, supaya kepentingan Tuhan ditempatkan di atas kepentingan kita.  

Dalam pemikiran Yunani Kuno, jiwa manusia terdiri dari tiga hal, yaitu hasrat dari perut ke bawah (makan, minum, seks), hasrat di dada (pengakuan, harga diri), dan rasio (logika). Keutamaan seorang manusia dinilai ketika rasio mampu mengelola kedua bagian jiwa lainnya secara normal atau proporsional. Ketidakmampuan manusia mengelola hasrat dari kedua bagian jiwa itu akan membuatnya dikuasai gejolak nafsu, hingga pada akhirnya terjebak mengejar kepuasan duniawi yang tiada habisnya. Contoh, hasrat untuk makan dan minum adalah alamiah, tetapi akan menjadi masalah jika seseorang tidak bisa mengendalikan nafsu makannya (rakus), yang bisa mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Paulus menyebut nafsu-nafsu semacam itu sebagai keinginan daging (Galatia 5:19-21). 

Karena didorong oleh kasih yang teramat besar kepada manusia berdosa, Sang Putra Allah memberikan teladan pengosongan diri dengan menempuh jalan inkarnasi. Seperti yang dijelaskan oleh Paulus dalam Filipi 2:5-11, “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

F. B. Meyer mengatakan, “Allah mengosongkan diri-Nya, yaitu menolak untuk menggunakan sifat-sifat ilahi-Nya, agar Dia dapat mengajarkan arti ketergantungan mutlak kepada Bapa. Sebagai hamba, Dia mematuhi hukum-hukum Allah yang bersumber dari diri-Nya.”

Dalam nats ini Rasul Paulus menjelaskan, kenosis berarti Allah dengan sengaja meletakkan atribut-Nya sebagai Allah, melepaskan hak prerogatif-Nya, dan mengambil rupa seorang budak. Jadi, Dia bukan hanya menjadi manusia, tetapi manusia yang begitu rendah, sama seperti budak yang tidak menerima imbalan apa pun untuk apa yang dikerjakannya. F. B. Meyer mengatakan, “Allah mengosongkan diri-Nya, yaitu menolak untuk menggunakan sifat-sifat ilahi-Nya, agar Dia dapat mengajarkan arti ketergantungan mutlak kepada Bapa. Sebagai hamba, Dia mematuhi hukum-hukum Allah yang bersumber dari diri-Nya.” Suatu bentuk perendahan diri yang luar biasa, dan itu dilakukan-Nya dengan setia selama Dia hidup sebagai manusia sampai kematian-Nya di kayu salib. 

Kenosis mendorong kita mengikut Kristus dengan mengelola keinginan daging kita lewat penyangkalan diri dan memikul salib kita masing-masing (Lukas 9:23). Kita melihat kepada Yesus yang telah menunjukkan teladan teragung dengan mengalahkan rasa lapar, godaan memperoleh kekuasaan besar, bahkan tawaran kekayaan dunia dalam pencobaan di padang gurun (Matius 4:3-10). Kesadaran akan hidup yang fana dan berujung kepada kematian ragawi ini sepatutnya mendorong kita menjadi orang percaya yang bertanggung jawab mengisi masa hidup kita dengan memberi diri dituntun Roh Kudus dan melatih mengosongkan diri, seperti yang Kristus teladankan. 

Pada akhirnya, pengosongan diri Yesus yang teragung tampak dalam ketergantungan yang mutlak pada Bapa-Nya. Dalam banyak peristiwa Yesus tidak langsung menggunakan otoritas ilahi-Nya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan manusia, melainkan Dia berdoa kepada Bapa. Contohnya pada saat Dia membangkitkan Lazarus (Yohanes 11:41-42), memberi makan lima ribu orang (Markus 6:41), bergumul di taman Getsemani (Matius 26:39), bahkan menjelang Dia menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib dengan berseru, “Eloi Eloi lama Sabakhtani” (Markus 15:34). Yesus bertahan dalam kenosis sampai pada saat Dia menyerahkan nyawa-Nya dan menuntaskan karya penebusan manusia (Yohanes 19:30).

Kita didorong untuk melepaskan kepentingan diri sendiri, termasuk hasrat mengejar popularitas dan pengakuan, demi mengarahkan kehidupan kita yang singkat ini kepada apa yang menjadi kepentingan Kerajaan Allah.

Setelah diselamatkan, kita mengerti bahwa Tuhanlah yang menjadi penguasa (Tuan) atas kehidupan kita, sehingga kita diundang untuk tidak berfokus melakukan apa yang menjadi keinginan diri sendiri, melainkan keinginan Dia sebagai Sang Tuan. Kita didorong untuk melepaskan kepentingan diri sendiri, termasuk hasrat mengejar popularitas dan pengakuan, demi mengarahkan kehidupan kita yang singkat ini kepada apa yang menjadi kepentingan Kerajaan Allah. Kiranya kerendah-hatian Yesus yang tampak dalam pengosongan diri-Nya menjadi semangat pembaru dalam hati kita untuk menjalani hidup di dunia ini, sebelum pada akhirnya kita, yang adalah debu, kembali menjadi debu.


Baca Juga:

Harapan Setelah Kematian

Kematian membayang-bayangi kehidupan kita dan mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita sayangi dapat hilang dalam sekejap. Apakah ada jalan bagi kita untuk meloloskan diri dari kematian?


Persembahan kasih seberapa pun dari para pembaca di Indonesia memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.