Monica Dwi Chresnayani

Beberapa waktu lalu, terbetik berita yang cukup mengagetkan: Ribuan Gugatan Cerai Masuk ke Pengadilan Agama Soreang. Berita tersebut sontak menjadi viral, apalagi disertai foto yang menunjukkan antrean warga yang hendak memasukkan gugatan. Dalam sekejap, berita yang awalnya diangkat di situs berita, beredar dengan cepat melalui chat di grup-grup percakapan.

Periode April dan Mei 2020, pendaftaran cerai masih di bawah angka 20 ribu yang tercatat di Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Lantas meningkat pada masa adaptasi kebiasaan baru, melonjak menjadi 57 ribu perceraian pada Juni hingga Juli 2020. Menurut berita, sebagian besar alasan bercerai dipicu oleh faktor ekonomi akibat pandemi. Ketidakpuasan dan ketidakmampuan menerima keadaan yang tidak enak menyebabkan banyak rumah tangga gonjang-ganjing.

Namun, benarkah perceraian menjadi jalan keluar?

Dalam keadaan emosional karena faktor ekonomi, sulit memang untuk berpikir jernih. Baik suami maupun istri, masing-masing merasa ekspektasi mereka saat menikah tidak terpenuhi, yang berakibat pada ketidakpuasan dan berujung pada keinginan mengakhiri kebersamaan. Bukan mereka saja, terkadang orang-orang terdekat mungkin malah setuju bahwa perceraian menjadi jalan keluar yang terbaik. “Ya, daripada cekcok terus-terusan, tidak baik untuk perkembangan anak. Lebih baik pisah saja, daripada semua jadi gila.”

Benarkah pemikiran seperti itu? Sebagai orang percaya, seharusnya kita berpaling kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah kita, bukan mendengarkan hikmat duniawi yang seringkali keliru!

Ingatlah, bahwa pasangan orang percaya tidak selalu mengalami hidup yang berkecukupan secara materi. Di Alkitab kita melihat ada juga pasangan orang percaya yang mengalami badai hidup, seperti Abram dan Sarai, yang mengalami kelaparan sehingga harus mengungsi ke Mesir (Kej. 12:10). Begitu juga dengan Ishak dan Ribka yang mengalami kelaparan di Gerar (Kej. 26:1) Yusuf dan Maria juga sejak awal sudah diterpa berbagai masalah, mulai dari Yusuf yang nyaris hilang kesetiaannya pada Maria ketika Maria mengandung dari Roh Kudus padahal mereka masih bertunangan, kesulitan mendapat tempat bersalin, hingga melarikan diri ke Mesir. Namun berbagai tantangan itu tidak melunturkan komitmen mereka dalam berumah tangga.

Pernikahan adalah komitmen seumur hidup.

Pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Dalam janji pernikahan, kita berucap akan tetap setia pada pasangan “dalam susah dan senang, dalam sehat dan sakit.” Dan janji itu diucapkan bukan hanya kepada pasangan, tetapi juga kepada Tuhan! “Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu” (Maleakhi 2:14).

Allah menghendaki kita menjaga komitmen kesetiaan kita kepada pasangan karena pasangan kita adalah “teman pewaris kasih karunia” (1 Petrus 3:7) yaitu kehidupan. Kita butuh kasih karunia Tuhan untuk memulihkan, untuk mengangkat dan membawa kita masuk dalam rencana dan panggilan-Nya. Banyak kemustahilan yang hanya bisa dilewati dengan kasih karunia Tuhan, yang akan melepaskan kita dari keadaan yang menekan. Tanpa pasangan yang sudah Tuhan tetapkan bagi kita, kita tidak dapat meraih janji-janji Tuhan itu.

Jadi, badai dalam rumah tangga bukan alasan untuk berpisah.

Jadi, badai dalam rumah tangga bukan alasan untuk berpisah. Justru di tengah badai hebat yang melanda, kita dapat membuktikan bahwa kita serius pada janji yang pernah kita ucapkan di hadapan Tuhan. Sekaranglah saatnya bergandengan tangan, saling menguatkan dan mendoakan, seperti kata Pengkhotbah “berdua lebih baik dari seorang diri” karena kalau “mereka jatuh, yang seorang dapat menarik temannya” (Pengkhotbah 4:10-11). Inilah seni hidup berumah tangga. Menerima dan mengampuni kekurangan pasangan, termasuk bila ia gagal memenuhi ekspektasi akan gambaran ideal kita tentang pernikahan. Karena sekali lagi, pernikahan adalah soal komitmen: meski dikecewakan, gagal, susah, sakit, bangkrut, tetaplah setia, seperti Yesus yang tetap setia mengasihi kita sekalipun kita jatuh dan mengecewakan Dia.

Bertahanlah. Percayalah, bila menjalaninya bersama Tuhan, Dia tidak membiarkan biduk kita karam.

Baca Juga:

Bila Kata-Kata Melukai Hati

Buku ini ditulis dengan tujuan agar kita memperhatikan kekuatan kata-kata yang dapat menolong atau justru menyakiti sesama. Sebenarnya keprihatinan utama kita terletak pada begitu banyaknya suami dan istri yang membutuhkan bantuan dalam memahami dan merespons dengan benar terhadap berbagai tingkat pengendalian dan bahaya kata-kata. Bersama-sama, kita perlu memikirkan dengan hati-hati tiap perkataan yang dapat merusak jiwa dan janji ikatan pernikahan.


Jika Anda diberkati melalui materi-materi ini dan ingin melihat lebih banyak orang diberkati, Anda dapat juga mendukung pelayanan kami.