Ketika Yesus Kristus datang ke dunia, Dia tidak hanya datang sebagai Penebus, tetapi juga sebagai Pelayan. Dia melayani dan menghibur orang-orang yang sakit di dalam penderitaan mereka. Dia menyembuhkan tubuh sekaligus jiwa, dan jamahan-Nya berdampak hingga hidup yang kekal. Apa yang bisa kita pelajari dari Tuhan kita, Sang Teladan utama dalam melayani orang lain?

Dia memperoleh kuasa yang berasal dari pengenalan akan diri-Nya sendiri. Sebagai manusia, sama seperti kita, Yesus juga rentan terhadap kelelahan, keletihan, keputusasaan, dan frustrasi (Markus 6:31). Ingatlah ketika berada di Taman Getsemani, menjelang kematian-Nya, Yesus juga merasakan beban tanggung jawab yang besar—dan ingin bebas dari tanggung jawab itu (Lukas 22:42). Namun, Dia juga tahu bahwa sebagai Putra Allah, tersedia bagi-Nya kuasa Allah yang tiada habisnya (Yohanes 6:35-38). Jadi, Dia memakai kuasa yang berasal dari hubungan-Nya tersebut, dengan hidup dalam persekutuan yang intim dengan Bapa surgawi-Nya melalui pelayanan Roh Kudus. Ini memberinya kesanggupan sekaligus keintiman dengan Allah yang membentuk setiap tindakan, pemikiran, percakapan, dan motivasi pelayanan-Nya.

Kita juga perlu mendasarkan peran dan tugas pelayanan kasih terhadap sesama pada identitas kita sebagai anak-anak Allah. Kemudian kita boleh memakai kekayaan kuasa-Nya yang tiada tara, dengan percaya bahwa Allah tidak hanya mengerti kebutuhan dan kerinduan kita yang terdalam, tetapi juga selalu siap untuk memenuhi semua itu.

Dia menaruh kepercayaan-Nya kepada Bapa. Ketika Iblis mencobai-Nya, Yesus menyikapinya dengan keyakinan yang teguh. Dia mampu melakukannya karena Dia mengenal siapa diri-Nya, dan juga sumber kuasa-Nya (Matius 4:1-10). Ketika Pontius Pilatus menanyai-Nya, Yesus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan penuh kuasa—sekali lagi karena Allah Bapa yang Dia percayai (Yohanes 18:33-37). 

Kapan pun krisis datang, Yesus tidak panik, memanipulasi keadaan, atau mencoba menimpakan kesalahan kepada yang lain. Sebaliknya, Dia berdiri dengan keyakinan dalam identitas-Nya sebagai Putra Allah dan memperkatakan kebenaran. Banyak dari kita cenderung hidup dalam kepanikan, berbicara dan berperilaku seolah-olah Allah kehilangan kuasa-Nya atas dunia ini. Namun, Yesaya 32:17 mengingatkan kita bahwa kebenaran Allah akan berbuah kedamaian, ketenangan, dan keyakinan yang kekal.

Dia berdoa setiap waktu. Betapa pun sibuknya Dia, Yesus selalu meluangkan waktu menarik diri dari aktivitas-Nya untuk berdoa (Markus 1:35, Lukas 6:12). Dia tahu bahwa tinggal dalam persekutuan dengan Sang Bapa akan menyegarkan roh-Nya dan memberi-Nya kekuatan serta keberanian untuk menghadapi penolakan dalam pelayanan-Nya. Kehidupan doa pribadi Yesus itulah yang menopang pelayanan-Nya di tengah umat.

Di masa pergumulan kita, perlu bagi kita meluangkan waktu bersama Allah. Kita perlu sungguh-sungguh bersandar pada kekuatan-Nya dan berseru kepada-Nya untuk meminta hikmat. Kapan terakhir kali Anda bersekutu secara pribadi dengan Allah? Kapan terakhir kali Anda mengambil waktu istirahat yang sangat dibutuhkan tubuh dan jiwa kita—untuk tidur, melihat matahari terbenam, atau mencurahkan segala keluh-kesah Anda kepada Allah?

Di saat yang lain, Dia berdoa bersama sahabat-sahabat-Nya. Bagi Yesus, doa bukan hanya saat persekutuan dengan Bapa, tetapi juga saat keintiman dengan teman-teman terdekat. Dia bisa saja menjadikan doa-Nya sebagai waktu untuk menyendiri, tetapi Dia memilih mengundang orang lain untuk bergabung dengan-Nya (Lukas 11:1-4). Kita juga membutuhkan persekutuan dan dukungan dari teman-teman serta orang-orang terkasih. Jiwa kita disegarkan ketika mengetahui bahwa mereka memahami pergumulan kita.

Dia secara terbuka bersyukur dan mengembalikan kemuliaan kepada Allah. Setelah sepanjang hari melayani orang banyak, Yesus tidak segera menarik diri dan bersembunyi. Sebaliknya, Dia secara terbuka bersyukur dan memuji Allah, sehingga orang-orang menyadari kebaikan dan pemeliharaan Bapa-Nya (Matius 14:19). Yesus melakukan hal yang sama setiap kali Dia menghadapi keraguan, kesulitan, dan kritik. Alih-alih bersungut-sungut atau menyalahkan Tuhan, Dia mengubah itu semua menjadi kesempatan untuk memuliakan Allah.

Ketika kita berbicara tentang keadaan kita sendiri, kita juga dapat memilih untuk menunjukkan kebenaran dalam percakapan kita dengan orang lain. Alih-alih mengeluh, bersikap seolah-olah Allah telah menjerumuskan kita, lalu menarik perhatian pada diri kita sendiri, kita dapat memilih untuk memuliakan Allah dan berbicara tentang keyakinan kita kepada-Nya.

Dia membagi beban pelayanan kepada orang lain. Sekalipun Yesus memiliki kuasa untuk melakukan segala mukjizat, Dia tidak selalu melakukan semuanya sendiri. Terkadang Dia memilih untuk mendelegasikan pekerjaan dan tanggung jawab kepada murid-murid-Nya. Misalnya, ketika memberi makan lima ribu orang, Dia meminta murid-muridnya yang membagikan lima roti dan dua ikan—meskipun Dia dapat dengan mudah membuat makanan itu muncul di tangan setiap orang (Markus 6:30-44). Kita bisa membayangkan bahwa Dia melakukan itu karena para murid perlu belajar sesuatu dari pengalaman itu—bisa jadi kesempatan untuk terlibat dalam suatu karya mukjizat, sehingga mereka dapat merasakan berkat Allah untuk diri mereka sendiri.

Teman-teman Anda mungkin ingin membantu Anda karena mereka peduli kepada Anda. Jika Anda bersikeras melakukan semuanya sendiri, itu mungkin menunjukkan bahwa Anda tidak menghargai atau mempercayai mereka. Izinkan mereka membantu. Tunjukkan bahwa sebagai sahabat, Anda bersedia menerima bantuan mereka.

Dia berduka atas kematian orang-orang yang Dia kasihi dengan sudut pandang kekekalan. Ketika Dia mendengar bahwa Yohanes Pembaptis telah dibunuh, Yesus pergi untuk berduka sendirian (Matius 14:13). Ketika diberi tahu bahwa Lazarus telah mati, Dia berkabung bersama Maria dan Marta, meskipun Dia akan membangkitkan Lazarus dari kematian (Yohanes 11:32-35).

Yesus tahu bagaimana perasaan kita. Dia mengenal kedalaman duka kita dan memahami perasaan kehilangan serta kepedihan yang kita rasakan ketika kita merawat orang lain. Namun, dukacita kita bukanlah dukacita tanpa pengharapan; kita diberikan sudut pandang dari kekekalan. Kita berduka dengan kesadaran penuh bahwa Allah telah menulis akhir dari seluruh kisah kita—akhir yang menjanjikan penebusan dan masa depan yang melampaui apa yang kita lihat dan alami sekarang.

Tidak Ada yang Terlalu Kecil

Baca di sini
Pernahkah kita merasa enggan mendoakan hal-hal kecil karena kita menganggap Allah hanya sibuk mengurusi hal-hal besar? Padahal, menurut Alkitab, Allah peduli bahkan pada hal-hal kecil sekalipun. Di antara hukum-hukum yang Allah tetapkan lewat Musa dalam kitab Keluaran terdapat hal-hal mendetail tentang kerugian akibat kebakaran, batas-batas tanah, pakaian yang hilang, dan utang yang tidak dibayar.

Pertemuan yang Mengubahkan

Baca di sini
Semua pertemuan bukanlah sekadar peristiwa pemberian bantuan, melainkan momen-momen pertemuan yang mengubahkan. Ketika Yesus bertemu dan menjawab kebutuhan mereka, saat itulah Dia berkesempatan untuk membagikan belas kasihan, menunjukkan keintiman, dan menyingkapkan siapa diri-Nya serta Allah Bapa yang mengutus-Nya.

Diterjemahkan dari He Walks with Me: Devotions for Your Caregiving Journey with God © 2018 Our Daily Bread Ministries