Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Amy Boucher Pye

Hari untuk Beristirahat

Pada suatu hari Minggu, saya berdiri di tepi aliran sungai yang bergemericik dan mengalir berkelok melintasi wilayah kami di London bagian utara. Saya menikmati keindahan sungai itu di tengah wilayah yang penuh dengan bangunan ini. Saya merasa begitu santai saat mendengar deru aliran air dan kicauan burung-burung. Saya pun terdiam sejenak untuk bersyukur kepada Tuhan karena Dia telah menolong kita mengalami keteduhan bagi jiwa kita.

Iman dalam Perbuatan

Ketika teman saya berkendara menuju ke pasar swalayan, ia melihat seorang wanita yang sedang berjalan di tepi jalan. Teman saya merasa bahwa ia perlu memutar balik mobilnya dan menawarkan tumpangan kepada wanita itu. Setelah melakukannya, hatinya tersentuh saat mendengarkan bahwa si wanita itu tidak punya cukup uang untuk naik bus sehingga ia harus pulang berjalan kaki sekian kilometer di bawah cuaca yang panas dan lembap. Tidak hanya menempuh perjalanan panjang untuk pulang, ia juga telah berjalan kaki berjam-jam pagi itu agar dapat tiba di tempat kerjanya pukul 04:00.

Ikatan Damai Sejahtera

Setelah saya mengirimkan e-mail kepada seorang teman tentang masalah yang membuat kami berbeda pendapat, ia tidak pernah membalasnya. Saya pun bertanya-tanya apakah sikap saya terlalu berlebihan. Saya tidak ingin memperkeruh suasana dengan terus mengusiknya, tetapi saya juga tidak ingin membiarkan masalah itu menggantung sebelum ia pergi ke luar negeri. Setiap kali bayangannya muncul di benak saya sepanjang hari-hari berikutnya, saya tergerak untuk berdoa baginya, meski tidak tahu lagi apa yang masih perlu saya lakukan. Pada suatu pagi ketika sedang berjalan-jalan di taman kota, saya melihatnya. Perasaan tidak senang tampak jelas di wajahnya saat ia memandang sekilas ke arah saya. Saya berdoa, “Terima kasih, Tuhan, sekarang aku bisa bicara dengannya,” sambil mendekati dan menyambutnya dengan senyuman. Kami pun berbicara apa adanya dan dapat menyelesaikan persoalan yang ada.

Damai Sejahtera yang Sempurna

Seorang sahabat menceritakan kepada saya bahwa selama bertahun-tahun ia mencari kedamaian dan kepuasan hati. Ia dan suaminya membangun usaha yang sukses sehingga mampu membeli rumah besar, pakaian mewah, dan perhiasan mahal. Namun, semua harta dan pertemanannya dengan orang-orang yang berpengaruh tidak juga memuaskan kerinduan hatinya akan kedamaian. Lalu suatu hari, ketika ia merasa terpuruk dan putus asa, seorang teman membawakannya kabar baik tentang Yesus Kristus. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sang Raja Damai, dan pemahamannya tentang arti kedamaian dan kepuasan yang sejati pun berubah selamanya.

Diberi Allah Pakaian yang Baru

Ketika anak-anak saya masih batita, mereka biasa bermain di luar rumah, di atas rumput yang basah. Tidak lama kemudian tubuh mereka sudah penuh dengan lumpur. Demi kebaikan mereka dan kebersihan lantai rumah, saya menanggalkan baju mereka di depan pintu dan menyelimuti mereka dengan handuk sebelum memandikan mereka. Mereka pun segera berubah dari kotor menjadi bersih dengan bantuan sabun, air, dan pelukan.

Sang Penolong

Saat memasuki pesawat yang akan membawa saya ke suatu kota berjarak seribu mil dari rumah untuk meneruskan studi, saya merasa begitu gugup dan sendirian. Namun selama penerbangan, saya ingat bahwa kepada murid-murid-Nya, Yesus menjanjikan Roh Kudus yang akan hadir untuk menolong dan menghibur mereka.

Tinggal Bersama Yesus

“Tiada tempat seindah rumah.” Frasa itu mencerminkan kerinduan mendalam di hati kita untuk memiliki tempat di mana kita dapat beristirahat, berdiam, dan diterima sepenuhnya. Setelah Yesus dan murid-murid-Nya menikmati perjamuan mereka yang terakhir, Dia membahas tentang kerinduan untuk memiliki kediaman itu saat berbicara mengenai kematian dan kebangkitan-Nya yang segera tiba. Yesus berjanji bahwa meskipun Dia akan pergi, Dia akan datang kembali untuk menjemput mereka. Dia akan menyediakan tempat bagi mereka. Sebuah tempat untuk berdiam. Sebuah rumah.

Karena Kasih

Putri kami menangis dengan sedihnya saat kami harus mengucapkan selamat jalan pada kedua orangtua saya. Setelah mengunjungi kami di Inggris, mereka akan menempuh perjalanan yang panjang untuk pulang ke Amerika Serikat. “Aku tak mau mereka pergi,” kata putri saya. Saat saya berusaha menghiburnya, suami saya berkata, “Kesedihanmu wajar karena kamu mengasihi mereka.”

Mengapa Mengampuni?

Ketika seorang teman mengkhianati saya, saya tahu bahwa saya harus mengampuninya, tetapi saya tak yakin dapat melakukannya. Kata-katanya begitu dalam menusuk hati sehingga saya pun tersentak dalam kepedihan dan kemarahan. Meski kami telah membicarakan masalah itu dan saya berkata kepadanya bahwa saya telah mengampuninya, tetapi untuk beberapa waktu lamanya, saya masih merasakan sakit hati setiap kali melihatnya. Saya pun menyadari bahwa masih ada kebencian yang melekat pada diri saya. Namun suatu hari, Allah menjawab doa-doa saya dan memberi saya kesanggupan untuk mengampuni teman saya itu sepenuhnya. Saya akhirnya terlepas dari kebencian.