Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Amy Boucher Pye

Memberikan Pengampunan

Ketika mengenang pengalamannya mengampuni Manasseh, pria yang membunuh suami dan sejumlah anaknya dalam peristiwa genosida di Rwanda, Beata berkata, “Pengampunanku didasari pada apa yang telah Yesus lakukan. Dialah yang menanggung hukuman untuk setiap perbuatan jahat yang diperbuat manusia sepanjang zaman. Salib-Nya adalah satu-satunya tempat kita memperoleh kemenangan!” Bukan cuma sekali Manasseh mengirimkan surat kepada Beata dari penjara untuk memohon pengampunan-nya—dan pengampunan Allah—sambil menceritakan mimpi buruk yang sering menghantuinya. Awalnya, Beata tidak mau memberikan pengampunan, karena ia membenci pria yang telah menghabisi keluarganya itu. Namun kemudian, “Yesus mengusik pikirannya” dan dengan pertolongan Allah, sekitar dua tahun kemudian, Beata pun mengampuni Manasseh.

Menjamu Tamu Agung

Setelah bertemu dengan Ratu Inggris di sebuah pesta dansa di Skotlandia, Sylvia dan suaminya menerima pesan bahwa keluarga kerajaan akan mengunjungi mereka untuk minum teh. Sylvia yang merasa gugup karena akan menjamu keluarga kerajaan itu mulai membersihkan rumah dan menyiapkan segala sesuatu. Sebelum para tamu agung itu tiba, ia memetik beberapa kuntum bunga dari taman untuk ditata di atas meja. Dengan jantung yang masih berdebar-debar, ia merasa Allah mengingatkannya bahwa Dialah Raja di atas segala raja, dan Dia menyertainya setiap hari. Sylvia pun langsung menjadi tenang dan berpikir, “Ah, yang datang ini hanya Ratu!”

Lebih Manis dari Madu

Pada Oktober 1893, kota Chicago di Amerika Serikat menyelenggarakan pekan raya World’s Fair secara besar-besaran. Semua gedung pertunjukan di kota itu tutup karena para pemilik membayangkan semua orang pasti akan pergi menghadiri pekan raya tersebut. Lebih dari tujuh ratus ribu orang memang menghadirinya, tetapi Dwight Moody (1837–1899) justru berencana mengadakan kebaktian dan pengajaran Alkitab di sebuah gedung pertunjukan musik di sisi kota yang lain. Kawannya, R. A. Torrey (1856–1928), tidak yakin Moody dapat menghimpun massa sebanyak itu pada hari yang sama dengan penyelenggaraan pekan raya. Namun, berkat kemurahan Allah, Moody berhasil melakukannya. Di kemudian hari, Torrey menyimpulkan, orang banyak datang karena Moody memahami “satu-satunya Kitab yang paling dirindukan dunia ini—Alkitab.” Torrey rindu agar banyak orang juga mencintai Alkitab seperti Moody, tekun membacanya secara teratur dengan penuh kesungguhan.

Baru Tiap Pagi

Adik saya, Paul, menderita epilepsi sejak kecil, dan memasuki masa remaja, penyakitnya semakin memburuk. Secara khusus malam hari menjadi beban berat baginya dan bagi orangtua kami, karena ia bisa terus-menerus mengalami kejang, yang sering berlangsung hingga lebih dari enam jam. Dokter tidak menemukan pengobatan yang dapat meredakan gejala-gejalanya sambil membuatnya tetap sadar, setidaknya untuk setengah hari. Orangtua saya sering berseru dalam doa: “Ya Allah, oh Allah, tolonglah kami!”

Kita Bukan Tuhan

Dalam buku Mere Christianity, C. S. Lewis menyarankan kita agar merenungkan beberapa pertanyaan untuk menyelidiki apakah sebenarnya kita angkuh atau tinggi hati: “Seberapa besar rasa tidak suka saya ketika orang lain menolak saya, atau tidak menghiraukan saya, . . . atau memandang rendah saya, atau menyombongkan diri di depan saya?” Lewis memandang keangkuhan sebagai sifat “yang terburuk dari yang buruk” dan penyebab utama kesengsaraan dalam rumah tangga dan negara. Ia menyebutnya sebagai “kanker jiwa” yang membuat seseorang sama sekali tidak bisa mengasihi, merasa puas, atau bahkan menggunakan akal sehatnya. 

Menyerahkan Segalanya

Ada dua orang yang dikenang karena melayani Tuhan dengan jalan meninggalkan karier dalam bidang seni untuk menjawab panggilan dari Allah atas hidup mereka. James O. Fraser (1886–1938) memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai pianis solo di Inggris demi melayani suku Lisu di Tiongkok, sementara Judson Van DeVenter (1855–1939) asal Amerika Serikat memilih menjadi penginjil dan meninggalkan karier sebagai seniman. Di kemudian hari, ia menulis lagu pujian yang terkenal, “Berserah kepada Yesus.”

Proses Pematangan

Pada awal pelayanannya yang akhirnya berlangsung lima puluh tahun di Cambridge, Inggris, Charles Simeon (1759–1836) pernah bertemu dengan gembala gereja tetangga, Henry Venn, dan anak-anak perempuannya. Setelah kunjungan itu, anak-anak perempuan Venn mengomentari sikap Simeon muda yang menurut mereka kasar dan terlalu percaya diri. Venn menanggapi dengan menyuruh anak-anak perempuannya memetik sebutir buah persik dari pohon. Ketika anak-anaknya bingung mengapa sang ayah menyuruh mereka memetik buah yang belum matang, Venn menjawab, “Ya, anak-anakku, buah ini sekarang masih hijau, jadi kita harus menunggu; tetapi dengan bantuan sinar matahari, dan jika rajin disiram, persik ini akan menjadi matang dan manis. Demikian juga dengan Tn. Simeon.”

Membangun Kembali Reruntuhan

Pada usia tujuh belas tahun, Dowayne harus meninggalkan rumah keluarganya di Manenberg, Cape Town, Afrika Selatan, karena kebiasaannya mencuri dan kecanduannya pada heroin. Ia tidak pergi jauh, hanya ke halaman belakang rumah ibunya. Di sana ia mendirikan pondok dari seng bekas, yang kemudian dikenal dengan julukan Casino, sebagai tempatnya menggunakan narkoba. Namun, pada usia sembilan belas tahun, Dowayne bertobat dan percaya kepada Yesus. Perjuangannya melepaskan diri dari narkoba begitu panjang dan melelahkan, tetapi akhirnya ia berhasil bebas berkat pertolongan Allah dan dukungan teman-temannya sesama orang percaya. Sepuluh tahun setelah Dowayne mendirikan Casino, ia bersama teman-temannya mengubah pondok itu menjadi sebuah gereja rumah. Tempat yang dahulu gelap dan menakutkan sekarang menjadi tempat untuk beribadah dan berdoa.

Bersyukur Selalu

Pada abad ke-17, Martin Rinkart melayani sebagai rohaniwan di Saxony, Jerman, selama lebih dari tiga puluh tahun semasa perang dan wabah merebak. Dalam satu tahun, ia memakamkan lebih dari 4.000 orang, termasuk istrinya sendiri, dan adakalanya makanan sangat sulit didapat sehingga keluarganya harus menahan lapar. Meski ia dapat memilih berputus asa dalam kondisi seperti itu, imannya kepada Allah tetap kuat, bahkan ia selalu mengucap syukur. Ia pun mencurahkan rasa syukurnya dengan menulis sebuah lagu berjudul “Nun danket Alle Gott,” atau “Sekarang B’ri Syukur” (judul dalam Kidung Jemaat No. 287), yang kemudian menjadi himne yang terkenal dan disukai banyak orang.