Ketika Allah Berfirman
Seorang penerjemah Alkitab bernama Lily ditahan di bandara ketika hendak terbang pulang ke negaranya. Telepon selulernya digeledah, dan ketika petugas menemukan Perjanjian Baru versi audio di dalamnya, mereka menyita teleponnya dan menginterogasinya selama dua jam. Di satu titik mereka meminta Lily membuka aplikasi Alkitab suara itu, yang sedang menampilkan Matius 7:1-2: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Mendengar kata-kata tersebut diucapkan dalam bahasa mereka sendiri, salah seorang petugas langsung pucat pasi. Akhirnya, Lily dibebaskan tanpa syarat.
Mengasihi Orang Asing
Ketika saya pindah ke luar negeri, ada sebuah pengalaman di awal yang membuat saya merasa kurang diterima. Setelah duduk di sebuah gereja kecil tempat suami saya akan berkhotbah hari itu, seorang lelaki tua membuat saya kaget ketika tiba-tiba ia berkata dengan nada kasar, “Minggir.” Istrinya meminta maaf dan menjelaskan bahwa saya duduk di bangku yang selalu mereka duduki. Bertahun-tahun kemudian baru saya tahu bahwa gereja itu pernah menyewakan tempat duduk untuk pendanaan gereja, sekaligus memastikan bahwa bangku-bangku tertentu tidak akan ditempati oleh orang lain. Rupanya sebagian jemaat masih memelihara mentalitas seperti itu hingga puluhan tahun kemudian.
Mencerminkan Kristus
Theresia dari Lisieux adalah anak yang tadinya ceria dan riang, tetapi berubah menjadi pemalu dan mudah gelisah setelah ibunya meninggal waktu ia baru berumur empat tahun. Namun, bertahun-tahun kemudian pada malam Natal, semuanya berubah. Setelah merayakan kelahiran Kristus bersama komunitas gerejanya, ia merasakan bagaimana Allah melepaskannya dari rasa takut dan memberinya sukacita. Ia mengaitkan perubahan itu dengan kuasa dari Allah, yang datang dari surga menjadi manusia dalam diri Yesus, dan melalui kehadiran Kristus dalam hidupnya.
Menghentikan Kabar Angin
Setelah ditunjuk sebagai gembala Gereja Trinitas Kudus di Cambridge, Inggris, Charles Simeon (1759–1836) menghadapi perlawanan selama bertahun-tahun. Karena sebagian besar anggota jemaat menolak Simeon dan menginginkan wakil gembala untuk menduduki jabatan tersebut, mereka menyebarkan kabar angin tentang dirinya dan menentang pelayanannya—bahkan pernah sampai mengunci gereja agar Simeon tidak bisa masuk. Namun Simeon, yang rindu dikuasai oleh Roh Allah, mencari jalan untuk menghadapi kabar angin tersebut dengan menyusun beberapa prinsip sebagai pedoman hidupnya. Salah satunya, orang tidak boleh mempercayai kabar angin kecuali kabar itu 100% benar. Prinsip lainnya adalah “selalu percaya bahwa seandainya pihak yang berlawanan diberi kesempatan berbicara, ceritanya pasti akan sangat berbeda.”
Dilarang Memancing
Salah seorang yang selamat dari peristiwa Holocaust, Corrie ten Boom, sangat tahu pentingnya pengampunan. Dalam buku Tramp for the Lord, Corrie mengatakan bahwa ia paling senang membayangkan dosa-dosa yang sudah diampuni dibuang ke laut. “Ketika kita mengakui dosa-dosa kita, Allah membuang semuanya ke samudra yang terdalam, hilang untuk selama-lamanya. . . . Saya yakin Allah lalu meletakkan tanda peringatan di sana dengan tulisan ‘Dilarang Memancing.’”
Mempercayai Allah di Masa Sulit
Ketika John mengetahui bahwa ia mengidap kanker stadium akhir, ia dan Carol, istrinya, merasa bahwa Allah memanggil mereka untuk membagikan kisah perjuangan mereka dengan penyakit itu di dunia maya. Karena percaya bahwa Allah akan bekerja melalui keterbukaan itu, mereka pun mengunggah momen-momen sukacita maupun kesedihan dan penderitaan yang mereka alami selama dua tahun.
Dia Mengubahku
Ketika John, pengelola rumah bordil terbesar di London, dijatuhi hukuman penjara, ia masih meyakini bahwa dirinya “orang baik”. Selama di penjara, ia memutuskan untuk menghadiri kegiatan pendalaman Alkitab dengan niat agar bisa menikmati kue dan kopi yang disuguhkan. Namun, ia sangat terkejut melihat bagaimana sesama narapidana di sana terlihat begitu bersukacita. John menangis saat lagu pertama dinyanyikan, lalu seseorang memberinya sejilid Alkitab. Sebuah ayat yang dibacanya dari kitab Yehezkiel membuatnya seperti “disambar petir”. Ayat yang mengubah hidupnya itu berbunyi: “Kalau orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, . . . ia pasti hidup, ia tidak akan mati” (Yeh. 18:27-28). Firman Tuhan membuka matanya dan membuatnya tersadar, “Aku bukan orang baik . . . aku orang jahat yang harus berubah.” Ketika berdoa dengan pembina rohani di penjara, ia berkata, “Aku sudah bertemu dengan Yesus Kristus dan Dia mengubahku.”
Kekuatan dalam Perjalanan
Pada suatu musim panas, saya menghadapi tugas yang tampaknya mustahil diselesaikan. Saya diminta untuk menulis tentang topik yang besar dengan tenggat yang pendek. Setelah beberapa hari berkutat sendirian, berusaha keras menuangkan buah pikiran saya ke atas kertas, saya merasa begitu lelah dan ciut sehingga rasanya ingin berhenti saja. Seorang teman yang bijaksana bertanya kepada saya, “Kapan terakhir kalinya kau merasa disegarkan? Mungkin sekali-sekali kau perlu beristirahat dan menikmati makanan yang enak.”
Berdiri Teguh
Di negara tempat tinggalnya, Adrian dan keluarganya mengalami penganiayaan karena iman mereka kepada Yesus. Namun, di tengah berbagai pergumulan itu mereka tetap menunjukkan kasih Kristus. Saat berdiri di halaman gereja yang temboknya dipenuhi bekas peluru karena digunakan para teroris sebagai sasaran latihan menembak, ia berkata, “Hari ini Jumat Agung. Saat bagi kita untuk mengenang bagaimana Yesus menderita bagi kita di kayu salib.” Penderitaan, lanjutnya, merupakan makanan sehari-hari orang-orang percaya di negaranya. Meski demikian, keluarganya memilih tetap tinggal di sana: “Kami masih di sini, dengan tetap berdiri teguh.”