Penulis

Lihat Semua
Anne Cetas

Anne Cetas

Anne Cetas mulai menulis untuk buku renungan ini sejak tahun 2004 dan menjabat sebagai editor pengelola publikasi. Ia dan suaminya, Carl, suka bersepeda bersama, dan melayani sebagai mentor dalam suatu pelayanan perkotaan.

Artikel oleh Anne Cetas

Jangan Lupa!

Bersama keponakan saya dan Kailyn, putrinya yang berusia empat tahun, saya menghabiskan Sabtu sore yang menyenangkan. Kami meniup gelembung sabun di luar rumah, mewarnai buku gambar, dan makan roti berlapis selai kacang dan stroberi. Ketika sudah waktunya mereka pulang, Kailyn berseru dari balik jendela mobilnya yang terbuka, “Jangan lupakan aku ya, Tante Anne.” Saya cepat-cepat menghampiri mobil dan berbisik di telinganya, “Tante tidak akan melupakanmu. Lain kali kita pasti ketemu lagi.”

Saya Mau

Shirley baru saja duduk santai setelah melalui hari yang sangat padat. Lalu ia memandang ke luar jendela dan melihat sepasang orang lanjut usia sedang bersusah payah memindahkan sepotong pagar tua yang boleh diambil orang secara cuma-cuma. Shirley memanggil suaminya, lalu mereka keluar untuk membantu pasangan tua tersebut. Dengan susah payah, mereka berempat mengangkat potongan pagar tadi ke atas gerobak dan mendorongnya di jalan raya sampai tiba di rumah pasangan tersebut. Di sepanjang jalan mereka tertawa-tawa membayangkan bagaimana orang-orang pasti bingung melihat apa yang mereka lakukan. Ketika kembali untuk mengambil potongan lain dari pagar tersebut, si wanita bertanya kepada Shirley, “Mau jadi temanku?” “Ya, saya mau,” jawab Shirley. Ia kemudian mengetahui bahwa teman-teman barunya itu berasal dari Vietnam dan kurang lancar berbahasa Inggris. Pasangan itu merasa kesepian karena anak-anak mereka sudah dewasa dan pindah ke kota lain yang jauh dari situ.

Mulai Dari Sekarang

Pada akhir Februari 2017, ketika biopsi yang dijalani kakak sulung saya menunjukkan ia terkena kanker, saya berkata kepada teman-teman, “Saya perlu meluangkan waktu sebanyak mungkin bersama Carolyn—mulai dari sekarang.” Sejumlah teman mengatakan bahwa saya memberikan reaksi yang berlebihan terhadap berita itu. Namun, Carolyn meninggal dunia sepuluh bulan kemudian. Saya memang menghabiskan waktu berjam-jam bersamanya, tetapi ketika kita mengasihi seseorang, rasanya tidak pernah ada cukup waktu bagi kita untuk menunjukkan kasih tersebut.

Bisakah Kita Tenang?

Darnell memasuki ruang fisioterapi dengan kesadaran bahwa ia akan mengalami rasa sakit yang amat sangat. Terapis merentangkan dan menekuk lengan Darnell, lalu menahannya dalam posisi yang sudah berbulan-bulan tidak dialaminya sejak cedera. Setelah menahan setiap posisi yang tidak nyaman itu selama beberapa detik, sang terapis akan berkata kepada Darnell dengan lembut: “Ok, sekarang bisa rileks.” Belakangan, Darnell berkata, “Rasanya aku mendengar kalimat itu setidaknya lima puluh kali setiap sesi: ‘Ok, sekarang bisa rileks.’”

Semua yang Kulihat

Di tengah musim dingin, pada suatu hari yang bersalju, Krista berdiri sembari memandang keindahan mercusuar yang tertutup salju di tepi danau. Saat mengeluarkan ponsel untuk memotret pemandangan itu, kacamatanya ditutupi kabut. Karena tak bisa melihat apa pun, ia memutuskan untuk mengarahkan kamera ponsel ke arah mercusuar dan mengambil tiga gambar dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Setelah melihat hasil fotonya, ia baru sadar kalau kameranya diatur di posisi selfie. Sambil tertawa, ia berkata, “Fokusku selalu aku, aku, dan aku. Semua yang kulihat hanya diriku sendiri.” Foto-foto Krista membuat saya terpikir tentang kesalahan serupa yang kita lakukan: Kita bisa terlalu berfokus pada diri sendiri hingga gagal melihat gambaran yang lebih besar dari rencana Allah.

Juruselamat Seperti Apakah Dia?

Tahun lalu, saya dan teman-teman mendoakan kesembuhan tiga wanita yang berjuang melawan kanker. Kami tahu Allah berkuasa melakukannya, maka setiap hari kami meminta-Nya untuk menyembuhkan mereka. Kami pernah melihat karya-Nya di masa lalu dan percaya bahwa Dia sanggup melakukannya lagi. Ada hari-hari ketika mereka tampaknya benar-benar akan sembuh, dan itu sempat membuat kami bersukacita. Namun, ketiganya meninggal dunia pada musim gugur tahun lalu. Kata orang, kematian adalah “kesembuhan sejati”, dan memang kita bisa melihatnya seperti itu. Namun, kepergian mereka tetap menyakitkan. Kami ingin Allah menyembuhkan mereka—dalam kehidupan yang sekarang—tetapi entah mengapa, tak ada mukjizat yang terjadi.

Menemukan Pengharapan

Elizabeth pernah sangat lama bergumul dengan masalah kecanduan obat terlarang. Setelah pulih, ia ingin menolong orang lain yang mengalami pergumulan serupa. Ia pun mulai membuat tulisan-tulisan pendek dan secara anonim menyebarkannya di kota tempat tinggalnya. Elizabeth menyelipkan tulisannya pada pembersih kaca mobil dan menempelkannya pada tiang-tiang taman. Dahulu ia merindukan pengharapan, tetapi sekarang ia meneruskan pengharapan kepada orang lain dengan apa yang bisa ia lakukan. Salah satu tulisan pendeknya diakhiri dengan kata-kata ini: “Engkau dikasihi. Teruslah berharap.”

Melalui Salib

Rekan kerja saya, Tom, memiliki salib kaca berukuran 20 x 30,5 cm di atas mejanya. Phil, seorang teman yang juga penyintas kanker seperti Tom, memberikan salib itu untuk membantu Tom melihat segala sesuatu “melalui salib”. Salib kaca tersebut selalu mengingatkannya pada kasih dan tujuan Allah yang baik atas hidupnya.

Meluangkan Waktu

Rima, seorang wanita asal Suriah yang baru-baru ini pindah ke Amerika Serikat, menggunakan gerakan tangan dan bahasa Inggris yang terbatas untuk menjelaskan kekecewaannya kepada tutornya. Air mata mengalir di pipinya saat ia mengangkat sepiring besar fatayer (semacam roti berisi daging, keju, dan bayam) yang telah dibuat dan ditatanya dengan indah. Lalu ia berkata, “Satu orang,” sembari menunjuk pintu rumah ke ruang tamu lalu kembali ke pintu. Tutor itu lalu teringat bahwa ada beberapa orang dari gereja dekat sana yang seharusnya datang mengunjungi Rima dan keluarganya serta membawa sejumlah hadiah untuk mereka. Namun, ternyata hanya satu orang yang datang. Orang itu pun buru-buru masuk, menaruh sekotak barang-barang, lalu keluar begitu saja. Ia sibuk menjalankan tanggung jawabnya, sementara Rima dan keluarganya merasa kesepian dan merindukan suatu komunitas tempat mereka bisa berbagi fatayer dengan teman-teman barunya.