Penulis

Lihat Semua
Anne Cetas

Anne Cetas

Anne Cetas mulai menulis untuk buku renungan ini sejak tahun 2004 dan menjabat sebagai editor pengelola publikasi. Ia dan suaminya, Carl, suka bersepeda bersama, dan melayani sebagai mentor dalam suatu pelayanan perkotaan.

Artikel oleh Anne Cetas

Penutup Kita

Ketika berbicara tentang iman kepada Yesus, terkadang kita menggunakan kata-kata tanpa memahami atau menjelaskannya. Salah satunya adalah kata kebenaran. Kita mengatakan bahwa Allah mempunyai kebenaran dan Dia membenarkan umat-Nya, tetapi hal itu bisa menjadi konsep yang sulit dipahami.

Bagaimana dengan Kamu?

Emily mendengarkan perbincangan di antara teman-temannya tentang tradisi Hari Thanksgiving yang mereka lakukan bersama keluarga. “Kami bergiliran menceritakan apa yang membuat kami bersyukur kepada Allah,” kata Gary.

Memakai Topeng

Kerri berusaha keras membuat orang mengagumi dirinya. Ia suka tampil gembira agar orang lain memperhatikan dan memujinya karena perangainya yang ceria. Ada yang mendukungnya karena melihat Kerri memang menolong orang-orang di komunitasnya. Namun suatu kali Kerri dengan jujur menyatakan, “Aku memang mengasihi Tuhan, tetapi adakalanya aku merasa seperti memakai topeng.” Perasaan tidak aman yang dimilikinya menjadi alasan di balik hampir semua upayanya untuk terlihat baik di mata orang lain, dan ia mengatakan sudah jenuh bersikap demikian.

Haruskah Berdoa?

Joie selalu memulai kebaktian anak-anak dengan berdoa, lalu dilanjutkan dengan bernyanyi bersama. Seorang anak berusia 6 tahun bernama Emmanuel duduk dengan gelisah ketika Joie kembali mengajak berdoa setelah memperkenalkan Aaron yang akan mengajar kelas itu. Aaron juga memulai dan mengakhiri pengajarannya dengan doa. Emmanuel pun mengeluh: “Banyak sekali doanya! Aku sudah tak tahan lagi!”

Gelembung Sabun

Seorang anak laki-laki menghujani saya dan suami saya, Carl, dengan gelembung-gelembung sabun sewaktu ia berlari melewati kami di atas trotoar di Atlantic City. Itulah momen ceria yang menghibur kami di suatu hari yang berat. Kedatangan kami ke kota itu adalah untuk menjenguk saudara ipar kami yang dirawat di rumah sakit dan membantu saudarinya Carl untuk memeriksakan diri ke dokter. Kami mencoba beristirahat sejenak dan menyusuri pesisir pantai, karena kami merasa agak kewalahan menghadapi beratnya pergumulan yang dihadapi keluarga kami.

Pemberi Semangat

Pada musim panas tahun 2015, Hunter (15 tahun) menggendong adik laki-lakinya, Braden (8 tahun), sepanjang 92 km dalam kegiatan jalan sehat yang diadakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan para penderita kelumpuhan otak (cerebral palsy). Dengan bobot Braden seberat 27 kg, Hunter perlu berhenti beberapa kali untuk beristirahat dan beberapa orang menolong Hunter untuk melemaskan ototnya. Hunter juga memakai gendongan khusus untuk meringankannya ketika menggendong Braden. Hunter berkata, meskipun gendongan khusus itu dapat meringankannya secara fisik, bantuan yang lebih besar diperoleh Hunter dari orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan. “Tanpa kehadiran orang-orang yang menyemangati dan ikut berjalan bersama kami, aku tak mungkin dapat melakukannya. . . . Kedua kakiku sudah begitu lelah, tetapi teman-teman terus menyemangatiku dan aku pun berhasil menyelesaikannya.”

Selalu Mendampingi

Dengan gugup, Mi’Asya berjalan menuju mimbar untuk berpidato dalam upacara wisuda kelas 5 dengan disaksikan oleh 30 teman sekelasnya dan orangtua mereka. Sementara kepala sekolah menyesuaikan ketinggian mikrofon dengan tinggi badan Mi’Asya, ia justru berbalik membelakangi mikrofon dan hadirin. Orang-orang berusaha memberi Mi’Asya dorongan dengan membisikkan: “Ayo Nak, kamu bisa melakukannya.” Namun ia bergeming. Lalu seorang teman sekelas Mi’Asya berjalan ke depan dan berdiri di sisinya. Akhirnya Mi’Asya pun membacakan pidatonya bersama-sama sang kepala sekolah dan sahabat yang mendampinginya. Sungguh suatu contoh dukungan yang luar biasa!

Ulangi Perkataan Saya

Ketika Rebecca berdiri di atas panggung untuk berbicara dalam sebuah konferensi, kalimat pertama yang diucapkannya melalui mikrofon bergema ke seluruh ruangan. Ia merasa kurang nyaman saat mendengar kembali ucapannya sendiri, tetapi ia harus menyesuaikan diri dengan kelemahan perangkat suara yang ada dan mencoba untuk tidak menghiraukan gema yang terdengar setiap kali ia mengucapkan sesuatu.

Apakah Allah Baik?

Aku tak yakin Allah itu baik,” kata seorang teman. Sudah bertahun-tahun ia mendoakan masalah-masalah dalam hidupnya, tetapi tidak ada perubahan. Ia semakin marah dan getir terhadap sikap Allah yang membisu. Saya mengenalnya dengan baik, karena itu saya dapat merasakan bahwa jauh di lubuk hatinya ia masih mempercayai Allah itu baik. Namun penderitaan yang terus menetap dalam hatinya dan perasaannya bahwa Allah tidak peduli telah menyebabkan dirinya ragu. Lebih mudah baginya untuk marah daripada terus-menerus bersedih.