Hidup dalam Terang
Saya dan seorang rekan pernah ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke suatu tempat sejauh 400 km. Malam telah larut ketika kami mulai berjalan pulang. Tubuh dan mata saya yang renta membuat saya kesulitan mengemudi di malam hari. Meski demikian, saya memilih giliran pertama untuk menyetir. Dengan tangan mencengkeram kemudi, mata saya pun memelototi jalan yang temaram. Saya bisa melihat jalanan dengan lebih jelas ketika mobil-mobil di belakang kami menyalakan lampu sorotnya. Betapa leganya saya ketika akhirnya tiba giliran teman saya untuk mengemudi. Saat itulah ia mendapati bahwa sejak tadi saya menyetir dengan lampu kabut, bukan lampu utama!
Doa yang Sarat Pertanyaan
Dalam perjalanan jarak jauh (bahkan jarak dekat), sering terdengar pertanyaan, “Sudah sampai belum?” atau “Berapa lama lagi?” Hal itu tidak jarang terlontar dari mulut anak-anak maupun orang dewasa yang ingin segera tiba di tujuan. Namun, orang-orang di segala zaman juga cenderung menanyakan hal itu saat mereka didera kelelahan karena menghadapi tantangan hidup yang tampaknya tak pernah usai.
“Kepunyaan Tuhan”
Zaman sekarang, banyak sekali orang yang bertato. Ada tato yang sangat kecil sehingga hampir tidak kelihatan. Ada juga atlet, aktor, hingga orang biasa yang hampir seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tato warna-warni berupa tulisan dan gambar. Tren yang menghasilkan pemasukan sebesar 3 milyar dolar AS sepanjang tahun 2014 itu—dan 66 juta dolar untuk usaha penghapusan tato—tampaknya masih akan bertahan lama.
Aman dalam Tangan-Nya
Cuaca di luar sangat tidak bersahabat, dan pemberitahuan yang saya terima di ponsel memperingatkan saya akan kemungkinan terjadinya banjir bandang. Banyak sekali kendaraan diparkir di lingkungan tempat tinggal saya selagi para orangtua dan yang lainnya menjemput anak-anak di tempat pemberhentian bus sekolah. Saat bus tiba, hujan pun sudah turun. Saat itulah saya mengamati seorang wanita keluar dari mobil dan mengambil payung dari bagasi. Ia menjemput seorang anak kecil dan memastikannya terlindungi dari hujan sampai mereka masuk kembali ke dalam mobil. Itulah gambaran yang indah akan pengasuhan dan perlindungan dari orangtua yang mengingatkan saya pada pemeliharaan Bapa Surgawi kita yang sempurna.
Dengarkan Saudara Seiman Anda
“Dengarkan aku, aku ini kakakmu!” Permohonan yang diucapkan seorang kakak di lingkungan tempat tinggal kami itu ditujukan kepada adiknya yang ingin pergi jauh, dan keputusan itu membuat kakaknya khawatir. Jelaslah sang kakak lebih bijak untuk menentukan apa yang terbaik dalam situasi yang mereka hadapi.
Teguh Berdiri
Suatu hari di musim dingin yang beku, setelah berkendara pulang, yang saya pikirkan hanyalah bagaimana saya dapat segera merasakan kehangatan di rumah. Namun, tiba-tiba saja saya telah terkapar di tanah, dengan kedua lutut terpelecok dan tungkai kaki saya menderita keseleo. Tidak ada tulang yang patah, tetapi saya sangat kesakitan. Sakitnya bahkan bertambah parah dan butuh beberapa minggu sebelum saya kembali pulih.
Tenanglah, Hai Jiwaku!
Bayangkanlah orangtua yang dengan penuh kasih berusaha menenangkan anaknya yang sedang sedih, kecewa, atau menderita. Dengan lembut ia bergumam ke telinga sang anak—“ssttt.” Sikap tubuh dan gumaman sederhana itu dimaksudkan untuk menghibur dan menenangkan si buah hati. Kita dapat membayangkannya karena itu terjadi di mana saja dan kapan saja. Banyak dari kita pernah memberi atau menerima ungkapan penuh kasih seperti itu. Gambaran itulah yang terlintas di benak saya ketika merenungkan Mazmur 131:2.
Seruan Orang Buta
Beberapa tahun lalu, seorang rekan perjalanan memperhatikan bahwa saya berusaha sangat keras untuk dapat melihat benda-benda yang terletak di kejauhan. Ia kemudian melakukan satu hal yang sederhana, tetapi mengubah hidup saya. Ia melepas kacamatanya dan meminta saya untuk memakainya. Ketika saya memakai kacamatanya, penglihatan saya yang semula kabur, langsung menjadi jelas. Akhirnya saya pun pergi ke dokter dan ia meresepkan sepasang kacamata yang bisa saya pesan untuk memperbaiki masalah penglihatan saya.
Pandanglah Yesus!
Salah seorang yang saya kagumi kesetiaannya adalah Brother Justice. Ia setia dalam pernikahannya, berdedikasi dalam pekerjaannya sebagai karyawan kantor pos, dan setiap hari Minggu melayani sebagai pemimpin di gereja lokal kami. Baru-baru ini saya mengunjungi kembali gereja di masa kecil saya. Di atas piano gereja, masih ada satu lonceng yang biasa dibunyikan Brother Justice untuk memberitahukan kepada kami bahwa waktu pendalaman Alkitab akan segera berakhir. Ketahanan lonceng itu telah teruji oleh waktu. Meski Brother Justice telah lama berpulang kepada Tuhan, kesetiaannya masih dikenang oleh banyak orang.