Keluarga yang Utuh
Pada tanggal 16 Juni 1858, ketika baru terpilih sebagai kandidat partai Republik untuk Senat Amerika Serikat dari negara bagian Illinois, Abraham Lincoln menyampaikan pidatonya yang terkenal, “Keluarga yang Terpecah-pecah”, yang menyoroti ketegangan di antara berbagai pihak di Amerika terkait isu perbudakan. Pidato ini mengusik banyak orang, baik teman maupun lawan Lincoln. Lincoln menganggap penting untuk memakai istilah “keluarga yang terpecah-pecah”, yang diucapkan Yesus di Matius 12:25, karena istilah tersebut sangat dikenal dan mengena. Lincoln menggunakan ungkapan ini agar pidatonya “masuk ke benak setiap orang sehingga mereka menyadari betapa gentingnya kondisi saat ini.”
Minta Saja!
Tiba-tiba saja, dari rubanah terdengar pekik gembira istri saya, Shirley. Setelah berjam-jam berkutat dengan suatu proyek buletin, ia nyaris menyerah. Dalam kecemasan dan kebimbangan tentang kelanjutan proyek itu, ia pun berdoa meminta pertolongan Allah. Ia juga meminta bantuan teman-temannya di Facebook, dan tak lama kemudian proyek itu selesai—sebagai hasil kerja bersama.
Dia Mengenal Hati Saya
Setelah seorang konsumen menyelesaikan transaksinya pada mesin pembayaran mandiri di sebuah toko swalayan, saya menghampiri mesin tersebut untuk memindai belanjaan saya. Tiba-tiba, seseorang mendekati saya dengan marah-marah. Ternyata, saya tidak menyadari bahwa orang tersebut sudah lebih dahulu mengantre di depan saya. Menyadari kesalahan itu, saya pun meminta maaf dengan tulus. “Maafkan saya.” Wanita itu menjawab (walau bukan hanya ini yang ia katakan): “Tidak, Anda tidak benar-benar menyesal!”
Di Saat Kelam, Berdoalah!
“Saya pernah mengalami masa kelam.” Lima kata itu menggambarkan penderitaan batin seorang pesohor wanita selama pandemi COVID-19. Menyesuaikan diri dengan kenormalan yang baru adalah salah satu tantangan yang dihadapinya, dan di tengah pergumulannya itu, ia mengaku bergulat dengan niat bunuh diri. Namun, upayanya untuk keluar dari situasi yang menjerumuskan itu terbantu ketika ia menceritakan pergumulannya kepada seorang teman yang mempedulikannya.
Disegarkan di Rumah Simon
Kunjungan saya ke rumah Simon sungguh tak terlupakan. Di bawah langit bertabur bintang di Nyahururu, Kenya, kami memasuki rumahnya yang sederhana untuk makan malam. Lantai tanah dan penerangan dari lentera menggambarkan kehidupan Simon yang serba sederhana. Saya sendiri tidak ingat apa yang dihidangkan malam itu. Namun, saya takkan melupakan sukacita Simon atas kunjungan kami. Kasih dan keramahtamahannya begitu serupa dengan Yesus—tanpa pamrih, menyentuh hati, dan menyegarkan.
Merasa Diri Seperti Debu
Pada pertemuan tim pelayanan mingguan, Warren berkata ia “merasa seperti debu.” Saya rasa itulah caranya mengungkapkan tantangan fisik akibat bertambahnya usia dan menurunnya kesehatan. Bagi Warren dan istrinya yang berusia di penghujung 60-an, tahun 2020 penuh dengan jadwal kunjungan ke dokter, tindakan operasi, dan mengatur ulang rumah agar dapat mengakomodasi perawatan di rumah. Perubahan kehidupan menuju masa senja itu sangat mereka rasakan.
Tangan yang Aman
Seperti tali yang terburai, benang-benang kehidupan Doug Merkey putus satu demi satu. “Ibu saya tumbang oleh kanker yang menggerogotinya; hubungan cinta yang telah lama saya jalin kandas; kondisi finansial saya buruk; karier saya suram . . . Kegelapan emosional dan spiritual yang menyelimuti dan saya alami sendiri begitu dalam, pekat, dan tak dapat ditembus,” tulis pendeta sekaligus pematung itu. Rangkaian peristiwa yang menimpanya bertubi-tubi, ditambah keadaan yang mengharuskannya tinggal di kamar loteng yang sempit, menjadi latar belakang karya pahatannya yang berjudul The Hiding Place (Tempat Persembunyian). Pahatan itu menggambarkan kedua tangan Kristus yang kuat dan berlubang paku, dalam posisi ditangkupkan, sebagai tempat yang aman.
Perdamaian yang Tepat Waktu
Kepahitan antara Simon dan Geoffrey telah terjadi selama bertahun-tahun, dan upaya Simon untuk berdamai selalu ditolak. Setelah mendengar kabar kematian ibunda Geoffrey, Simon melakukan perjalanan menuju utara Kenya untuk menghadiri upacara pemakamannya. Ia mengingat pertemuan itu: “Saya tidak terlalu mengharapkan hasil apa-apa dari pertemuan itu, [tetapi] setelah ibadah, kami mulai membuka diri dan berbicara. Kami berpelukan, berbagi perasaan, berdoa bersama, dan berencana untuk bertemu kembali.” Seandainya Simon dan Geoffrey berdamai lebih cepat, pasti banyak kepahitan yang dapat dihindari.
Iman yang Berani
Setelah pesawatnya ditembak jatuh pada Perang Dunia II, Prem Pradhan (1924–1998) mengalami cedera ketika berusaha mendarat dengan menggunakan parasut. Akibatnya, kakinya pincang seumur hidup. Ia pernah menulis, “Satu kaki saya pincang. Bukankah ajaib kalau Allah justru memanggil saya untuk mengabarkan Injil di pegunungan Himalaya?” Ia pun mengabarkan Injil di Nepal—meski bukan tanpa rintangan, termasuk dihukum dengan dimasukkan ke dalam “penjara maut bawah tanah,” tempat para tahanan menghadapi kondisi yang sangat sulit. Dalam kurun waktu lima belas tahun, Prem mendekam sepuluh tahun di empat belas penjara yang berbeda. Namun, kesaksiannya yang berani telah membuahkan hasil, berupa hidup banyak orang yang diubahkan bagi Kristus, termasuk para sipir penjara dan sesama tahanan, yang kemudian membawa kabar baik tentang Yesus tersebut kepada kaum sebangsanya.