Cukup Percaya
Tiga ratus anak sudah berpakaian rapi dan duduk untuk sarapan pagi, lalu suatu doa syukur dipanjatkan atas makanan mereka. Namun, anehnya, tidak ada makanan apa pun yang terhidang di atas meja! Situasi itu sudah biasa bagi George Mueller (1805–1898), sang pemimpin panti asuhan sekaligus seorang misionaris. Lagi-lagi inilah kesempatan untuk melihat bagaimana Allah akan mencukupkan kebutuhan mereka. Beberapa menit setelah Mueller selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seorang tukang roti yang sepanjang malam kemarin tidak bisa tidur. Karena merasa bahwa panti asuhan itu membutuhkan roti, ia pun membuat tiga tumpuk roti. Tak lama kemudian, tukang susu muncul. Keretanya rusak tepat di depan panti asuhan. Karena tidak ingin susu yang dibawanya menjadi basi, ia pun menawarkannya kepada Mueller.
Koreksi yang Diberikan dengan Baik
Di suatu awal musim semi, cuaca begitu menyegarkan dan saya sangat menikmati perjalanan bersama istri. Namun, indahnya kebersamaan tersebut bisa sekejap mata berubah menjadi tragedi sekiranya saat itu saya melewatkan rambu berwarna merah-putih yang memperingatkan bahwa saya sedang memasuki jalur yang salah. Karena kurang jauh menikung, saya sempat masuk ke jalur yang salah dan melihat tulisan “Dilarang Masuk” terpampang di hadapan saya. Saya cepat-cepat berbelok kembali, sambil membayangkan betapa ngerinya apabila kelalaian saya membuat kami berdua dan juga orang lain celaka apabila saya mengabaikan rambu yang mengingatkan bahwa saya salah jalur.
Bekas-Bekas Luka-Nya
Setelah mengobrol dengan teman saya, Grady, baru terpikir oleh saya mengapa ia lebih senang menyapa dengan saling membenturkan tinju daripada berjabat tangan. Berjabat tangan akan memperlihatkan bekas luka di pergelangan tangannya yang disebabkan oleh upayanya menyakiti diri sendiri. Kita terbiasa menyembunyikan luka-luka kita—baik yang terlihat dari luar ataupun yang ada di dalam batin—yang disebabkan oleh orang lain atau diri kita sendiri.
Penghapusan Utang
Terperangah adalah kata yang tepat untuk menggambarkan reaksi para hadirin di acara wisuda Morehouse College di Atlanta, Georgia. Pembicara yang berpidato dalam acara itu mengumumkan bahwa ia dan keluarganya akan mendonasikan jutaan dolar kepada kampus untuk menghapuskan pinjaman biaya pendidikan yang ditanggung seluruh mahasiswa yang diwisuda hari itu. Seorang mahasiswa dengan pinjaman sejumlah $100.000 menjadi salah satu wisudawan yang terkejut dan meluapkan kegembiraannya dengan menangis serta bersorak-sorai.
Bersama Kita Menang
Pada suatu malam, Pendeta Samuel Baggaga menerima telepon yang memintanya datang ke rumah salah seorang jemaat. Setibanya di sana, ia mendapati rumah yang didatanginya itu sedang terbakar hebat. Meski mengalami luka bakar, sang tuan rumah masuk kembali ke rumah yang terbakar untuk menyelamatkan salah seorang anaknya, dan kemudian keluar lagi dengan membopong putrinya yang tidak sadarkan diri. Di pedesaan Uganda itu, rumah sakit terdekat berjarak 10 kilometer jauhnya. Karena tidak memiliki kendaraan, si pendeta menemani sang ayah berlari membawa anak gadisnya ke rumah sakit. Ketika salah seorang dari mereka kelelahan, yang lain akan mengambil alih untuk membopong si anak. Mereka bersama-sama menempuh perjalanan panjang itu hingga akhirnya sang ayah dan putrinya memperoleh perawatan medis untuk kembali pulih sepenuhnya.
Meneladani Anak-anak
Ketika saya dan seorang teman berkunjung ke salah satu pemukiman kumuh di Nairobi, Kenya, hati kami terenyuh melihat kemiskinan yang terpampang di depan mata. Meski demikian, di sana kami juga merasakan emosi yang berbeda—perasaan yang menyegarkan—ketika kami menyaksikan anak-anak kecil berlari dan berteriak-teriak, “Mchungaji, Mchungaji!” (bahasa Swahili untuk kata “pendeta”). Begitulah reaksi penuh sukacita anak-anak itu begitu melihat pemimpin rohani mereka di dalam kendaraan yang membawa kami. Dengan teriakan kegirangan, anak-anak kecil itu menyambut kedatangan seorang pendeta yang sangat memperhatikan dan mempedulikan mereka.
Benar-benar Merdeka
Film berjudul Amistad bercerita tentang sekelompok budak dari Afrika Barat yang pada tahun 1839 mengambil alih kapal yang sedang membawa mereka, lalu membunuh kapten dan beberapa anak buahnya. Pada akhirnya, mereka semua tertangkap kembali, ditahan, dan diadili. Adegan paling mengesankan terjadi dalam ruang sidang, ketika Cinqué, pemimpin para budak, memohon kebebasan mereka dengan begitu gigih. Seruan “Bebaskan kami!” diucapkan berulang-ulang oleh laki-laki yang terbelenggu itu dalam lafal yang tidak sempurna tetapi dengan intensitas yang makin kuat hingga membuat seluruh pengunjung ruang sidang terdiam. Keadilan pun ditegakkan dan para budak itu dibebaskan.
Sanggup Menolong
Joe mengambil cuti delapan minggu dari pekerjaannya sebagai pekerja sosial di sebuah gereja di kota New York, tetapi bukan untuk berlibur. Kesempatan itu digunakannya, menurut kata-katanya sendiri, untuk “merasakan kembali pengalaman tinggal bersama para tunawisma, menjadi salah satu dari mereka, mengingat bagaimana rasanya lapar, lelah, dan terabaikan.” Kehidupan di jalanan tersebut pernah dialami Joe sembilan tahun sebelumnya, sewaktu ia tiba dari Pittsburgh tanpa pekerjaan dan tempat tinggal. Tiga belas hari lamanya ia menggelandang di jalan, kurang makan dan kurang tidur. Namun, itulah cara Allah menyiapkan dirinya untuk melayani orang-orang yang berkekurangan selama puluhan tahun.
Lebih Baik Daripada Hidup
Meskipun Mary mengasihi Tuhan Yesus, tetapi jalan hidupnya sangat sulit. Dua anak lelakinya sudah meninggal dunia, begitu juga dengan kedua cucu lelakinya yang sama-sama menjadi korban penembakan. Mary sendiri menderita stroke yang membuat bagian tubuh sebelah kirinya lumpuh. Namun, begitu bisa berdiri dan berjalan lagi, ia langsung pergi beribadah di gereja dan menyerukan puji-pujian bagi Allah, seperti yang biasa dilakukannya. Meski pelafalannya sudah tidak lancar, dari mulutnya masih keluar kata-kata seperti, “Aku mengasihi Yesus sepenuh jiwaku; terpujilah nama-Nya!”