Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Arthur Jackson

Meneladani Anak-anak

Ketika saya dan seorang teman berkunjung ke salah satu pemukiman kumuh di Nairobi, Kenya, hati kami terenyuh melihat kemiskinan yang terpampang di depan mata. Meski demikian, di sana kami juga merasakan emosi yang berbeda—perasaan yang menyegarkan—ketika kami menyaksikan anak-anak kecil berlari dan berteriak-teriak, “Mchungaji, Mchungaji!” (bahasa Swahili untuk kata “pendeta”). Begitulah reaksi penuh sukacita anak-anak itu begitu melihat pemimpin rohani mereka di dalam kendaraan yang membawa kami. Dengan teriakan kegirangan, anak-anak kecil itu menyambut kedatangan seorang pendeta yang sangat memperhatikan dan mempedulikan mereka.

Benar-benar Merdeka

Film berjudul Amistad bercerita tentang sekelompok budak dari Afrika Barat yang pada tahun 1839 mengambil alih kapal yang sedang membawa mereka, lalu membunuh kapten dan beberapa anak buahnya. Pada akhirnya, mereka semua tertangkap kembali, ditahan, dan diadili. Adegan paling mengesankan terjadi dalam ruang sidang, ketika Cinqué, pemimpin para budak, memohon kebebasan mereka dengan begitu gigih. Seruan “Bebaskan kami!” diucapkan berulang-ulang oleh laki-laki yang terbelenggu itu dalam lafal yang tidak sempurna tetapi dengan intensitas yang makin kuat hingga membuat seluruh pengunjung ruang sidang terdiam. Keadilan pun ditegakkan dan para budak itu dibebaskan.

Sanggup Menolong

Joe mengambil cuti delapan minggu dari pekerjaannya sebagai pekerja sosial di sebuah gereja di kota New York, tetapi bukan untuk berlibur. Kesempatan itu digunakannya, menurut kata-katanya sendiri, untuk “merasakan kembali pengalaman tinggal bersama para tunawisma, menjadi salah satu dari mereka, mengingat bagaimana rasanya lapar, lelah, dan terabaikan.” Kehidupan di jalanan tersebut pernah dialami Joe sembilan tahun sebelumnya, sewaktu ia tiba dari Pittsburgh tanpa pekerjaan dan tempat tinggal. Tiga belas hari lamanya ia menggelandang di jalan, kurang makan dan kurang tidur. Namun, itulah cara Allah menyiapkan dirinya untuk melayani orang-orang yang berkekurangan selama puluhan tahun.

Lebih Baik Daripada Hidup

Meskipun Mary mengasihi Tuhan Yesus, tetapi jalan hidupnya sangat sulit. Dua anak lelakinya sudah meninggal dunia, begitu juga dengan kedua cucu lelakinya yang sama-sama menjadi korban penembakan. Mary sendiri menderita stroke yang membuat bagian tubuh sebelah kirinya lumpuh. Namun, begitu bisa berdiri dan berjalan lagi, ia langsung pergi beribadah di gereja dan menyerukan puji-pujian bagi Allah, seperti yang biasa dilakukannya. Meski pelafalannya sudah tidak lancar, dari mulutnya masih keluar kata-kata seperti, “Aku mengasihi Yesus sepenuh jiwaku; terpujilah nama-Nya!”

Dibebaskan oleh Yesus

“Aku tinggal begitu lama di rumah ibuku sampai akhirnya beliau sendiri yang pindah!” Hal itu dikatakan KC tentang hidupnya yang kacau balau sebelum ia pulih dan percaya kepada Yesus. Dengan terus terang ia mengaku pernah mencuri demi membiayai kecanduannya, bahkan dari orang-orang yang ia cintai. Namun, kehidupan kelam tersebut sudah lama ia tinggalkan, dan secara rutin ia mengingat sudah berapa tahun, bulan, dan hari dimana ia telah bersih dari kecanduannya. Ketika kami duduk mempelajari firman Tuhan secara rutin, saya melihat KC benar-benar sudah berubah.

Ikut Merasakan

Di tahun 1994, hanya dalam kurun waktu dua bulan, sebanyak satu juta orang Tutsi dibantai di Rwanda oleh suku Hutu yang begitu bernafsu menghabisi saudara-saudara sebangsanya itu. Usai terjadinya genosida yang mengerikan ini, Uskup Geoffrey Rwubusisi meminta istrinya Mary untuk melayani para wanita yang telah kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Jawab Mary, “Aku hanya ingin menangis.” Mary sendiri juga kehilangan banyak anggota keluarganya. Layaknya pemimpin yang bijaksana dan suami yang peduli, sang uskup menanggapi dengan berkata: “Mary, kumpulkan wanita-wanita itu dan menangislah bersama mereka.” Ia tahu kepedihan yang dialami istrinya telah menyiapkannya untuk mampu merasakan kepedihan yang dialami orang lain.

Berharap kepada Tuhan Saja

Sebuah patung karya seniman Doug Merkey dengan judul Ruthless Trust menampilkan sosok manusia perunggu yang berpegangan erat pada salib yang terbuat dari kayu kenari. Ia menulis, “Inilah ungkapan yang sangat sederhana dari sikap yang perlu selalu ada dan pantas dalam hidup ini—keintiman total dan tak terbatas dalam ketergantungan kepada Kristus dan Injil.”

Berbuah Sampai Akhir

Sekalipun Lenore Dunlop “baru” berusia sembilan puluh empat tahun, pikirannya masih tajam, senyumnya lebar, dan kecintaannya yang meluap-luap kepada Yesus dapat dirasakan oleh banyak orang. Bukan hal aneh melihatnya duduk dengan anak-anak muda di gereja kami; kehadiran dan keterlibatannya membawa semangat serta sukacita bagi banyak orang. Semangat hidup Lenore begitu tinggi sehingga kematiannya membuat semua orang terkejut. Seperti pelari yang kuat, ia berlari cepat melewati garis akhir kehidupan. Energi dan gairahnya begitu meluap-luap, hingga beberapa hari sebelum kematiannya, ia baru saja menyelesaikan pelatihan sepanjang enam belas minggu tentang pelayanan pekabaran Injil kepada orang-orang di berbagai belahan dunia.

Doa yang Tidak Berkesudahan

“Doa takkan pernah mati.” Sungguh pernyataan yang menarik dari E. M. Bounds (1835–1913), yang banyak menulis tentang doa dan menginspirasi generasi demi generasi. Ia melanjutkan pernyataannya tentang kuasa dan sifat doa yang tidak berkesudahan demikian: “Bibir yang memanjatkan doa itu mungkin sudah tertutup oleh kematian, jantung yang merasakannya sudah berhenti berdetak, tetapi doa-doa mereka tetap hidup di hadapan Allah, hati Allah melekat pada doa-doa itu, dan doa-doa mereka bertahan melampaui mereka yang memanjatkannya; doa bertahan melebihi satu generasi, satu abad, bahkan satu dunia.”