Penulis

Lihat Semua
Cindy Hess Kasper

Cindy Hess Kasper

Cindy Hess Kasper telah melayani di RBC selama lebih dari 30 tahun, dimana kini ia menjadi wakil editor untuk renungan Our Daily Bread. Cindy adalah putri dari editor senior RBC, Clair Hess, yang darinya Cindy belajar untuk mencintai tulisan. Cindy dan suaminya, Tom, memiliki tiga anak dan tujuh cucu.

Artikel oleh Cindy Hess Kasper

Hancur dari Dalam

Ketika saya masih remaja, ibu saya sempat melukis sebuah mural pada dinding ruang tamu rumah kami dan lukisan itu bertahan selama beberapa tahun. Gambarnya menunjukkan pemandangan kuil Yunani kuno yang sudah runtuh, lengkap dengan tiang-tiang penyangga berwarna putih yang ambruk di sekitarnya, air mancur yang tumbang, dan patung yang rusak. Saat saya memandangi gambar bangunan ala Yunani yang pernah menjulang indah nan megah tersebut, saya berusaha membayangkan apa yang kira-kira menyebabkan semua kehancuran itu. Saya penasaran, terutama ketika saya mulai mempelajari tragedi dari suatu peradaban yang pernah jaya dan berkembang pesat, tetapi yang kemudian rusak dan hancur dari dalam.

Seorang Pendoa

Keluarga kami mengenang kakek saya sebagai seorang yang teguh beriman dan tekun berdoa. Namun, itu baru terjadi setelah beliau mengalami perubahan dalam hidupnya. Bibi saya ingat saat ayahnya pertama kali berkata kepada seluruh keluarga, “Mulai sekarang kita akan berdoa dahulu sebelum makan.” Doa pertamanya diucapkan dengan terbata-bata, tetapi beliau tekun berdoa setiap hari hingga akhir hidupnya lima puluh tahun kemudian. Ketika beliau wafat, suami saya memberikan tanaman doa (maranta) kepada nenek saya sambil berkata, “Kakek sungguh seorang pendoa yang tekun.” Keputusan kakek saya untuk mengikut Allah dan berbicara kepada-Nya setiap hari telah menjadikannya seorang pelayan Kristus yang setia.

Allah Tahu Kisah Hidup Anda

Dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis makan siang bersama seorang teman baik, saya mengucap syukur kepada Allah untuk dirinya. Sahabat saya itu mengenal dan mengasihi saya meskipun ada hal-hal pada diri saya yang tidak saya sukai. Ia salah satu dari sejumlah kecil teman yang menerima saya apa adanya—segala keunikan, kebiasaan, dan kegagalan saya. Meskipun demikian, masih ada bagian-bagian dalam kisah hidup saya yang tidak ingin saya bagikan dengannya atau dengan orang-orang yang saya kasihi. Itulah saat-saat ketika saya hidup jauh dari harapan, ketika saya cenderung menghakimi orang lain, atau bersikap tidak baik, atau tidak memancarkan kasih.

Sukacita yang Diberikan Allah

Ketika berada di tempat umum, Marcia selalu berusaha tersenyum kepada siapa saja. Itulah caranya menjangkau orang-orang yang mungkin butuh melihat wajah yang bersahabat. Umumnya, orang-orang membalasnya dengan senyuman juga. Namun, ketika keadaan mengharuskannya untuk mengenakan masker, Marcia sadar orang tidak bisa lagi melihat bibirnya, sehingga mereka juga tidak bisa lagi melihat senyumnya. Sayang sekali, pikirnya, tetapi aku tidak mau berhenti. Barangkali mereka bisa melihatku tersenyum dari sorot mataku.

Apa Rencana Anda?

Caden, seorang pemuda berusia hampir delapan belas tahun, sudah menanti-nantikan saatnya memulai perkuliahan di perguruan tinggi pilihannya. Ia pernah aktif dalam pelayanan kampus semasa SMA dan berharap dapat terlibat dalam pelayanan serupa di lingkungan yang baru. Ia pun sudah menabung gaji dari pekerjaan paruh waktunya, dan memiliki prospek bagus untuk mendapat pekerjaan baru. Ia bahkan sudah menetapkan sejumlah target, dan kelihatannya semua berjalan baik sesuai rencana. Namun, pada musim semi 2020, krisis kesehatan yang melanda dunia mengubah segalanya. 

Kapan Pun, Di Mana Pun

Pada tanggal 28 Januari 1986, pesawat ulang alik Challenger milik Amerika Serikat meledak tujuh puluh tiga detik setelah lepas landas. Dalam pidato untuk menguatkan bangsanya yang berduka karena tragedi itu, Presiden Reagan mengutip puisi “High Flight” karya John Gilespie Magee, seorang pilot pada masa Perang Dunia II. Dalam puisi itu, ia menulis tentang pergi ke “angkasa tinggi yang suci dan tak terlampaui” dan merasa sedang mengulurkan tangan, hendak menyentuh “wajah Tuhan.”

Teguran Penuh Kasih

Selama lebih dari lima puluh tahun, ayah saya selalu berusaha menghasilkan suntingan yang bermutu tinggi. Yang ia usahakan bukan hanya membetulkan berbagai kesalahan penulisan, melainkan juga membuat tulisan tersebut lebih jernih, masuk akal, mengalir, dan akurat secara tata bahasa. Ayah saya menggunakan tinta hijau untuk menandai pembetulan, bukan tinta merah. Goresan hijau dirasakannya “lebih ramah”, sementara coretan merah bisa jadi terlihat garang bagi seorang penulis pemula atau pengarang yang kurang percaya diri. Ayah saya bermaksud menunjukkan cara penulisan yang lebih baik dengan penuh kasih.

Investasi Iman

Pada hari Natalnya yang kedua belas, seorang anak lelaki dengan bersemangat menunggu saatnya membuka hadiah-hadiah yang diletakkan di bawah pohon Natal. Ia ingin sekali mendapat sepeda baru, tetapi harapannya pupus—hadiah terakhir yang ia buka adalah sebuah kamus. Pada halaman pertamanya tertulis pesan, “Untuk Charles dari Ibu dan Ayah, 1958. Teriring kasih dan harapan besar untuk keberhasilanmu di sekolah.”

Ikan Kecil

Selama bertahun-tahun, sepasang suami-istri asal Inggris yang tinggal di Afrika Barat telah menjalin persahabatan dengan seorang pria di kota mereka dan sering membagikan kasih serta kisah Yesus dengannya. Akan tetapi, teman mereka itu masih enggan melepaskan kepercayaan yang sudah dianutnya sejak lama, meskipun sudah menyadari bahwa iman di dalam Kristus adalah ”kebenaran yang lebih agung.” Keengganannya sebagian karena alasan keuangan, sebab ia adalah seorang pemimpin umat dan kehidupannya bergantung pada kompensasi yang diterimanya. Ia juga takut reputasinya jatuh di tengah komunitasnya sendiri.