Penulis

Lihat Semua
David C. McCasland

David C. McCasland

David McCasland mulai menulis untuk Our Daily Bread sejak tahun 1995. Ia telah menulis sejumlah buku untuk Discovery Series Publishers dan bekerja di televisi Day of Discovery. David dan istrinya, Luann, tinggal di Colorado Springs, Colorado. Mereka memiliki empat putri dan enam cucu.

Artikel oleh David C. McCasland

Segala Kebaikan-Nya

Perjalanan hidup kita sering menjadi sulit karena perhatian kita begitu tersita pada apa yang kita pikir kita butuhkan saat ini sehingga kita lupa pada apa yang sesungguhnya sudah kita miliki. Saya diingatkan akan hal itu ketika paduan suara di gereja kami menyanyikan sebuah pujian yang indah dari Mazmur 103. “Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya” (ay.2). Bagi kita, Tuhan itu maha pengampun, penyembuh, penebus, penyedia, pemuas, dan pembaru (ay.4-5). Bagaimana mungkin kita melupakan semua itu? Namun kenyataannya, itulah yang sering kita lakukan ketika pengalaman hidup sehari-hari membuat perhatian kita tersita oleh berbagai kebutuhan yang mendesak, kegagalan yang berulang, dan keadaan yang tidak lagi dapat kita kendalikan.

Kasih yang Ajaib

Menjelang Natal pertama sejak suaminya meninggal, teman kami Davidene menulis sepucuk surat yang luar biasa. Di dalamnya ia membayangkan seperti apa suasana di surga ketika Yesus lahir ke dunia. “Allah sudah tahu itulah yang akan terjadi,” tulisnya. “Ketiganya adalah satu, dan Dia mengizinkan terjadinya keretakan dalam kesatuan-Nya yang mulia itu demi kita. Surga ditinggalkan oleh Allah Anak.”

Pentingnya Sikap Kerja

Sambil kuliah di Sekolah Tinggi Teologi, saya dan teman saya, Charlie, bekerja di sebuah toko perabot. Kami sering melakukan pengiriman dengan didampingi seorang desainer interior yang menangani dekorasi. Ia akan berurusan dengan pihak yang membeli perabotan tersebut sementara kami memindahkannya dari atas truk ke dalam rumah. Adakalanya kami harus mengangkat naik perabot tersebut melalui tangga di dalam sebuah gedung apartemen. Kami sering membayangkan enaknya bekerja sebagai desainer interior daripada menjadi tukang angkat barang!

Makna Natal yang Sejati

Lima puluh tahun lalu, suatu program berjudul A Charlie Brown Christmas (Natal Charlie Brown) pertama kalinya disiarkan di televisi Amerika. Sejumlah pihak di pertelevisian menganggap program itu tidak akan memikat banyak orang, sementara yang lain khawatir pembacaan Alkitab dalam tayangan itu akan menyinggung perasaan pemirsa. Ada pihak yang ingin agar Charles Schulz, pencipta tokoh kartun itu, untuk meniadakan kisah tentang Natal, tetapi Schulz berkeras untuk mempertahankannya. Program itu ternyata diterima luas dan selalu disiarkan ulang setiap tahun sejak tahun 1965.

Arti Sebuah Nama

Menurut artikel di surat kabar New York Times, anak-anak di Afrika sering diberi nama mengikuti nama tokoh terkenal, peristiwa khusus, atau keadaan yang bermakna penting bagi orangtuanya. Ketika dokter memberitahukan orangtua dari seorang bayi bahwa anaknya yang sakit tak dapat disembuhkan dan hanya Allah yang tahu apakah ia akan hidup, mereka pun menamai bayi mereka Godknows (Allah tahu). Seseorang berkata ia dinamai Enough (Cukup), karena ibunya telah melahirkan 13 anak dan ia anak terakhir! Ada maksud di balik setiap nama, dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu nama mengandung arti khusus.

Memenangi Penghargaan Besar

Dalam setiap bidang pekerjaan, sebuah penghargaan dianggap sebagai lambang dari pengakuan dan kesuksesan. Medali emas Olimpiade, anugerah Grammy, piala Oscar, atau Hadiah Nobel termasuk di antara “penghargaan yang besar”. Namun demikian, ada satu penghargaan yang jauh lebih besar dan yang dapat diperoleh siapa saja.

Membawa Teman Kepada Yesus

Semasa saya kecil, salah satu penyakit yang paling ditakuti orang adalah polio. Sebagian besar yang terinfeksi polio adalah anak-anak. Sebelum vaksin pencegahan ditemukan di pertengahan dekade 1950-an, sekitar 20.000 orang telah lumpuh karena polio dan kira-kira 1.000 orang meninggal setiap tahunnya di Amerika Serikat.

Perubahan Arah dari Allah

Seabad yang lalu, Oswald Chambers, yang pada saat itu berusia 41 tahun, tiba di Mesir untuk melayani sebagai pembina rohani dari YMCA bagi pasukan Persemakmuran Inggris selama Perang Dunia I. Chambers ditempatkan di kamp di Zeitoun, sekitar 10 km di sebelah utara Kairo. Di malam pertamanya, tanggal 27 Oktober 1915, Chambers menulis dalam buku hariannya, “[Daerah] ini benar-benar merupakan gurun di tengah-tengah pasukan dan memberikan kesempatan yang luar biasa bagi kami. Semua-nya sama sekali asing dan berbeda dari apa yang biasanya aku alami, tetapi aku memandang dengan penuh harap tentang segala hal baru yang akan Allah rancang dan lakukan di sini. “

Detik-detik yang Berarti

Di usia 59 tahun, teman saya Bob Boardman menulis, “Jika masa hidup manusia pada umumnya adalah 70 tahun, dan masa itu dilihat sebagai satu hari yang berlangsung selama 24 jam, maka sekarang aku hidup pada pukul 20:30. . . . Waktu bergulir dengan begitu cepat.”