Penulis

Lihat Semua
David C. McCasland

David C. McCasland

David McCasland mulai menulis untuk Our Daily Bread sejak tahun 1995. Ia telah menulis sejumlah buku untuk Discovery Series Publishers dan bekerja di televisi Day of Discovery. David dan istrinya, Luann, tinggal di Colorado Springs, Colorado. Mereka memiliki empat putri dan enam cucu.

Artikel oleh David C. McCasland

Kepuasan Instan

Ketika kamera Polaroid SX-70 diper-kenalkan pada tahun 1972, terjadilah revolusi dalam dunia fotografi. Sebuah artikel yang ditulis Owen Edward di majalah Smithsonian menggambarkan kamera tersebut sebagai “sebuah keajaiban dalam bidang fisika, optik, dan elektronik”. Ketika kamera itu dijepret, “selembar kertas kosong berukuran kotak persegi akan keluar dari bagian depan kamera dan gambarnya berangsur-angsur muncul di depan mata kita”. Orang-orang tertarik untuk membelinya karena hasil fotonya bisa dilihat langsung saat itu juga.

Kuasa Kasih

Buku-buku tentang topik kepemimpinan sering masuk dalam daftar buku terlaris. Kebanyakan dari buku-buku itu mengajarkan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang tangguh dan berhasil. Namun buku berjudul In the Name of Jesus: Reflections on Christian Leadership (Dalam Nama Yesus: Refleksi Tentang Kepemimpinan Kristen) dituliskan oleh Henri Nouwen dari suatu sudut pandang yang berbeda. Mantan pengajar universitas yang pernah bertahun-tahun melayani sebuah komunitas bagi orang dewasa dengan keterlambatan pertumbuhan mental ini menulis: “Pertanyaannya bukanlah: Berapa banyak orang yang memperhatikan Anda? Berapa banyak yang akan Anda capai? Adakah hasil yang Anda raih? Melainkan ini: Apakah Anda mengasihi Yesus? . . . Dalam dunia yang penuh dengan orang yang kesepian dan putus asa ini, alangkah dibutuhkannya para pria dan wanita yang mengenal isi hati Allah, suatu hati yang mengampuni, yang peduli, yang rela menjangkau, dan rindu membawa kesembuhan.”

Siarkan Di Atas Bukit

Saya terkesima membaca sebuah artikel di surat kabar nasional yang memuji sekelompok pemain snowboard (papan luncur salju) berusia remaja yang mengada-kan kebaktian mingguan di suatu lereng ski di Colorado. Artikel oleh Kimberly Nicoletti dalam Summit Daily News itu menarik perhatian khalayak luas dengan kisah tentang para remaja yang suka bermain snowboard sambil bersaksi tentang Yesus yang telah mengubah kehidupan mereka. Para remaja itu didukung oleh suatu lembaga pelayanan pemuda yang memberikan pembekalan bagi usaha mereka menunjukkan kasih Allah.

Karakter Atau Reputasi?

John Wooden (1910–2010), seorang pelatih bola basket legendaris, meyakini bahwa karakter seseorang jauh lebih penting daripada reputasinya. “Reputasi Anda adalah anggapan orang lain tentang diri Anda,” demikian kata-kata yang sering Wooden ucapkan kepada para pemain asuhannya, “tetapi karakter Anda adalah jati diri Anda yang sebenarnya. Andalah satu-satunya orang yang mengenal karakter Anda. Anda bisa menipu orang lain, tetapi Anda tak bisa menipu diri sendiri.”

Hati Yang Tertuduh

Baru-baru ini saya membaca tentang seorang detektif swasta di AS yang biasa mengetuk pintu, menunjukkan lencananya, lalu berkata, “Saya rasa kami tak perlu memberitahukan alasan kami datang kemari.” Sering kali, tuan rumahnya akan tertegun dan berkata, “Bagaimana Anda bisa tahu?” untuk kemudian menjelaskan tentang suatu tindak kriminal di masa silam yang belum pernah terungkap. Dalam tulisannya di majalah Smithsonian, Ron Rosenbaum menyebut reaksi itu sebagai “terkuaknya kesadaran nurani, monolog batin dari hati yang tertuduh.”

Berharga Di Mata Allah

Sebagai tanggapan terhadap kabar telah berpulangnya seorang teman dekat kami, seorang saudara seiman yang bijak mengirimkan kepada saya kata-kata berikut, “Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mzm. 116:15). Iman teman kami yang menyala-nyala kepada Yesus Kristus menjadi karakteristik dominan yang menandai hidupnya. Oleh karena itu, kami yakin ia sudah pulang ke rumah Bapa di surga, dan keluarganya pun memiliki keyakinan yang sama. Hanya saja, saya masih begitu terfokus dengan dukacita yang mereka alami. Memang selayaknya kita menunjukkan kepedulian kepada orang lain yang berduka dan mengalami kehilangan.

Hari Yang Biasa-Biasa Saja

Ketika menyusuri suatu pameran bertajuk “A Day in Pompeii” (Suatu Hari di Pompeii) di suatu museum, saya pun tersentak oleh satu benang merah yang berulang kali menunjukkan bahwa tanggal 24 Agustus tahun 79 M diawali sebagai suatu hari yang biasa-biasa saja. Orang sedang melakukan kegiatan mereka sehari-hari di rumah, pasar, dan pelabuhan yang terdapat di kota Romawi yang makmur itu dan berpenduduk sekitar 20.000 orang. Pada pukul 8 pagi, serangkaian emisi kecil (pancaran gas panas) terlihat datang dari Gunung Vesuvius yang dekat dengan kota itu, kemudian dilanjutkan dengan letusan hebat pada sore harinya. Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, Pompeii dan sebagian besar penduduknya telah terkubur di bawah lapisan debu vulkanik yang tebal. Sungguh tidak terduga.

Tenda Kecil

Sepanjang rangkaian kebaktian kebangunan rohani bersejarah yang diadakan oleh Billy Graham di Los Angeles pada tahun 1949, orang-orang memadati sebuah tenda raksasa yang dapat menampung lebih dari 6.000 orang setiap malamnya selama 8 minggu berturut-turut. Di dekat tenda raksasa itu, ada sebuah tenda yang lebih kecil yang disediakan untuk pelayanan konseling dan doa. Cliff Barrows, seorang pemimpin musik, sahabat karib sekaligus rekan pelayanan Graham, sering mengatakan bahwa karya penginjilan yang sesungguhnya terjadi dalam “tenda kecil” itu, di mana sekumpulan orang berlutut untuk berdoa sebelum dan selama kebaktian kebangunan rohani berlangsung. Seorang wanita asal Los Angeles bernama Pearl Goode menjadi penggerak dari persekutuan doa tersebut dan dalam banyak kebaktian yang diadakan selanjutnya.

Perkataan Yang Memulihkan

Pada tanggal 19 November 1863, dua orang terkenal memberikan pidato pada acara peresmian Taman Makam Militer di Gettysburg, Pennsylvania. Pembicara utama-nya, Edward Everett, adalah mantan anggota kongres, gubernur, dan presiden dari Universitas Harvard. Everett yang dipandang sebagai salah satu orator ulung di zamannya itu berpidato selama 2 jam. Setelah selesai, tiba giliran Presiden Abraham Lincoln menyampaikan pidatonya, dan ia hanya berbicara selama 2 menit.