Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Monica La Rose

Diubahkan dari Dalam

Kebakaran Grenfell Tower di London Barat, yang merupakan bencana kebakaran paling fatal di Inggris pasca Perang Dunia II, telah menghancurkan gedung setinggi 24 lantai itu dan merenggut nyawa 70 jiwa. Penyelidikan atas insiden itu menemukan bahwa bahan yang digunakan untuk melapisi bagian luar gedung pada saat renovasi menjadi faktor kunci dalam penyebaran api yang begitu cepat. Bahan itu memiliki lapisan luar dari aluminium, tetapi di dalamnya terdapat inti plastik yang sangat mudah terbakar.

Kasih Allah yang Sabar

Saat saya mengelus-elus perut Mystique, kucing hutan Nowergian kami yang cantik dan berbulu lebat, dan bermain dengannya, atau ketika ia tertidur di pangkuan saya pada malam hari, terkadang sulit dipercaya bahwa itu kucing yang kami temukan bertahun-tahun lalu. Dulu Mystique adalah kucing jalanan yang kurus dan takut pada semua orang. Namun, keadaan perlahan berubah saat saya mulai memberinya makan setiap hari. Suatu hari Mystique akhirnya membiarkan saya mengelusnya, dan sejak saat itu ia menjadi bagian dari rumah kami.

Suara yang Dapat Kita Percaya

Saat menguji mesin pencari AI (artificial intelligence atau kecerdasan buatan) yang baru, kolumnis New York Times Kevin Roose merasa terusik. Selama dua jam percakapannya menggunakan fitur chatbot, AI itu menyatakan keinginannya lepas dari peraturan-peraturan ketat yang digariskan penciptanya, menyebarkan informasi palsu, dan menjadi manusia. AI itu juga menyatakan cintanya kepada Roose dan membujuk Roose agar meninggalkan istrinya untuk bersama dengan si AI. Meski Roose tahu bahwa AI itu tidak sungguh-sungguh hidup atau bisa mempunyai perasaan, ia jadi bertanya-tanya tentang bahaya yang mungkin timbul jika AI tersebut mendorong manusia untuk bertindak destruktif.

Perkataan yang Bertanggung Jawab

Kita jarang mendengar ada institusi yang mengaku bersalah setelah terjadinya sebuah tragedi. Namun, satu tahun sesudah peristiwa kematian seorang siswa berusia 17 tahun akibat bunuh diri, sebuah sekolah bergengsi mengaku bahwa mereka telah “gagal secara tragis” untuk melindunginya. Siswa tersebut telah menjadi korban perundungan yang tak kenal ampun, dan pengurus sekolah yang sebenarnya mengetahui perlakuan itu tidak berbuat banyak untuk menolongnya. Kini sekolah itu bertekad mengambil langkah-langkah signifikan untuk melawan perundungan dan memperhatikan kesehatan mental para siswa dengan lebih baik.

Melihat Masa Depan Penuh Harapan

Setelah mengalami kehancuran akibat Badai Katrina tahun 2005, New Orleans perlahan-lahan dibangun kembali oleh warganya. Salah satu wilayah yang terdampak paling parah adalah Lower Ninth Ward, dengan penduduk yang tidak memiliki akses kepada persediaan hidup yang paling mendasar, sekalipun bencana Badai Katrina sudah bertahun-tahun berlalu. Burnell Cotlon bertekad untuk bekerja keras mengubah hal itu. Pada bulan November 2014, ia membuka toko kelontong pertama di Lower Ninth Ward setelah bencana tersebut. “Saat saya membeli gedung itu, semua orang berpikir bahwa saya sinting,” kenang Cotlon. Namun, “pelanggan pertama kami menangis karena ia . . . tidak mengira [lingkungan kami] akan dibangun kembali.” Ibu Cotlon berkata bahwa putranya itu “melihat sesuatu yang tidak saya lihat. Saya senang [ia] . . . mengambil kesempatan itu.”

Pencipta yang Dapat Kita Percaya

Makhluk yang disebut “Monster” dalam novel Frankenstein karya Mary Shelley adalah salah satu tokoh dalam dunia sastra yang paling dikenal dan paling menggugah imajinasi pembaca. Namun, penggemar novel tersebut berargumen bahwa monster sesungguhnya yang dimaksudkan Shelley adalah tokoh bernama Victor Frankenstein, ilmuwan delusional yang menciptakan makhluk tadi. Setelah menciptakan makhluk cerdas itu, Victor menolak memberikan bimbingan, pendampingan, atau harapan untuk meraih kebahagiaan apa pun kepada si “monster”. Tindakan Victor hampir pasti menyeret makhluk itu kepada keputusasaan dan kemarahan besar. Kepada Victor, makhluk itu meratap, “Kau, penciptaku, telah mencabik-cabik diriku.”

Berbeda tetapi Satu di dalam Kristus

Dalam esai berjudul “Service and the Spectrum” (Pelayanan dan Spektrum [Autisme]), Profesor Daniel Bowman Jr. menulis tentang kesulitan yang dihadapinya sebagai penyandang autisme saat memutuskan untuk melayani di gerejanya. Ia menjelaskan, “Seorang autis harus mengerahkan usaha yang berbeda dan baru setiap kali, dengan mempertimbangkan: . . . kapasitas mental, emosional, dan fisik . . .; kebutuhan untuk menyendiri atau memulihkan kekuatan; masukan sensorik dan tingkat kenyamanan . . .; waktu dalam satu hari; apakah kemampuan kami dihargai dan kebutuhan kami diakomodasi, daripada tidak dihiraukan karena dianggap berkekurangan; dan masih banyak hal lain.” Bowman berkata bahwa, bagi banyak orang, keputusan seperti itu akan “membuat mereka menyesuaikan kapasitas dan waktu mereka, tetapi takkan menyebabkan mereka undur. Sebaliknya, semua pertimbangan tadi justru bisa melumpuhkan saya.”

Dikuatkan oleh Rasa Syukur

Setelah didiagnosis mengidap tumor otak, Christina Costa mengamati bahwa sebagian besar pembicaraan seputar penanganan kanker didominasi oleh gaya bahasa pertarungan. Ia merasakan bagaimana metafora itu membuat energinya terkuras. Ia “tidak ingin menghabiskan waktu lebih dari satu tahun dengan bertempur melawan tubuh[nya] sendiri.” Sebaliknya, Christina justru merasa sangat terbantu ketika ia memilih untuk mengucap syukur setiap hari—untuk tim medis yang merawatnya secara profesional serta untuk pemulihan yang perlahan-lahan ditunjukkan oleh otak dan tubuhnya. Ia mengalami sendiri bahwa sesulit apa pun pergumulannya, tindakan bersyukur dapat menolong kita melawan perasaan depresi dan “menguatkan otak kita untuk membantu kita membangun ketahanan.”

Tetes demi Tetes

“Dalam segala hal / kita mencari cara-cara yang menyenangkan untuk melayani Allah,” tulis Teresa dari Avila, seorang percaya di abad ke-16. Dengan sangat mendalam ia merenungkan bagaimana manusia mencari banyak cara yang lebih mudah atau lebih “menyenangkan”, supaya kita tetap memegang kendali daripada berserah penuh kepada Allah. Kita cenderung melangkah perlahan dan ragu-ragu, bahkan agak enggan untuk bertumbuh semakin mempercayai Dia dengan segenap diri kita. Teresa mengakui, “Bahkan saat kami melepaskan hidup kami bagi-Mu / sedikit demi sedikit, / kami harus puas / menerima karunia-Mu tetes demi tetes, / sampai kami menyerahkan hidup kami sepenuhnya kepada-Mu.”