Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Monica La Rose

Pencipta yang Dapat Kita Percaya

Makhluk yang disebut “Monster” dalam novel Frankenstein karya Mary Shelley adalah salah satu tokoh dalam dunia sastra yang paling dikenal dan paling menggugah imajinasi pembaca. Namun, penggemar novel tersebut berargumen bahwa monster sesungguhnya yang dimaksudkan Shelley adalah tokoh bernama Victor Frankenstein, ilmuwan delusional yang menciptakan makhluk tadi. Setelah menciptakan makhluk cerdas itu, Victor menolak memberikan bimbingan, pendampingan, atau harapan untuk meraih kebahagiaan apa pun kepada si “monster”. Tindakan Victor hampir pasti menyeret makhluk itu kepada keputusasaan dan kemarahan besar. Kepada Victor, makhluk itu meratap, “Kau, penciptaku, telah mencabik-cabik diriku.”

Berbeda tetapi Satu di dalam Kristus

Dalam esai berjudul “Service and the Spectrum” (Pelayanan dan Spektrum [Autisme]), Profesor Daniel Bowman Jr. menulis tentang kesulitan yang dihadapinya sebagai penyandang autisme saat memutuskan untuk melayani di gerejanya. Ia menjelaskan, “Seorang autis harus mengerahkan usaha yang berbeda dan baru setiap kali, dengan mempertimbangkan: . . . kapasitas mental, emosional, dan fisik . . .; kebutuhan untuk menyendiri atau memulihkan kekuatan; masukan sensorik dan tingkat kenyamanan . . .; waktu dalam satu hari; apakah kemampuan kami dihargai dan kebutuhan kami diakomodasi, daripada tidak dihiraukan karena dianggap berkekurangan; dan masih banyak hal lain.” Bowman berkata bahwa, bagi banyak orang, keputusan seperti itu akan “membuat mereka menyesuaikan kapasitas dan waktu mereka, tetapi takkan menyebabkan mereka undur. Sebaliknya, semua pertimbangan tadi justru bisa melumpuhkan saya.”

Dikuatkan oleh Rasa Syukur

Setelah didiagnosis mengidap tumor otak, Christina Costa mengamati bahwa sebagian besar pembicaraan seputar penanganan kanker didominasi oleh gaya bahasa pertarungan. Ia merasakan bagaimana metafora itu membuat energinya terkuras. Ia “tidak ingin menghabiskan waktu lebih dari satu tahun dengan bertempur melawan tubuh[nya] sendiri.” Sebaliknya, Christina justru merasa sangat terbantu ketika ia memilih untuk mengucap syukur setiap hari—untuk tim medis yang merawatnya secara profesional serta untuk pemulihan yang perlahan-lahan ditunjukkan oleh otak dan tubuhnya. Ia mengalami sendiri bahwa sesulit apa pun pergumulannya, tindakan bersyukur dapat menolong kita melawan perasaan depresi dan “menguatkan otak kita untuk membantu kita membangun ketahanan.”

Tetes demi Tetes

“Dalam segala hal / kita mencari cara-cara yang menyenangkan untuk melayani Allah,” tulis Teresa dari Avila, seorang percaya di abad ke-16. Dengan sangat mendalam ia merenungkan bagaimana manusia mencari banyak cara yang lebih mudah atau lebih “menyenangkan”, supaya kita tetap memegang kendali daripada berserah penuh kepada Allah. Kita cenderung melangkah perlahan dan ragu-ragu, bahkan agak enggan untuk bertumbuh semakin mempercayai Dia dengan segenap diri kita. Teresa mengakui, “Bahkan saat kami melepaskan hidup kami bagi-Mu / sedikit demi sedikit, / kami harus puas / menerima karunia-Mu tetes demi tetes, / sampai kami menyerahkan hidup kami sepenuhnya kepada-Mu.”

Membangun Niat Baik

Ketika berpikir tentang praktik bisnis yang paling berhasil, yang pertama terlintas dalam pikiran kita mungkin bukan sifat-sifat seperti kebaikan dan kemurahan hati. Namun, itulah yang diyakini oleh pengusaha James Rhee. Pengalaman Rhee sebagai CEO sebuah perusahaan yang nyaris bangkrut mengajarkannya bahwa dengan memprioritaskan apa yang ia sebut “niat baik”––suatu “budaya kebaikan” dan semangat rela memberi—ia dapat menyelamatkan dan bahkan mengembangkan perusahaannya. Mengutamakan sifat-sifat tersebut dapat memberikan harapan dan motivasi yang dibutuhkan untuk bersatu, berinovasi, dan memecahkan masalah. Rhee menjelaskan bahwa “Niat baik . . . adalah aset nyata yang dapat dilipatgandakan dan diperkuat.”

Keterampilan untuk Berbelas Kasihan

“Sebilah duri telah menyisip di kakimu—itu sebabnya terkadang engkau menangis di malam hari,” tulis Katarina dari Siena pada abad ke-14. Ia melanjutkan, “Ada orang-orang yang dapat mengeluarkannya. Keterampilan yang dibutuhkan untuk itu dipelajari dari [Allah].” Katarina mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan “keterampilan” tersebut, dan sampai sekarang masih dikenang karena kemampuannya yang luar biasa dalam berempati dan berbelas kasihan kepada orang-orang yang menderita.

Di Bawah Sayap Allah

Sejumlah keluarga angsa kanada dengan anak-anaknya sering menempati kolam dekat kompleks apartemen kami. Anak-anak angsa kecil itu sangat halus bulunya dan menggemaskan, sehingga sulit untuk tidak mengamati mereka ketika saya sedang berjalan-jalan atau berlari mengelilingi kolam. Namun, saya sudah belajar untuk menghindari kontak mata dan menjaga jarak dari angsa-angsa itu, karena jika tidak, bisa-bisa induk angsa yang protektif menganggap saya sebagai ancaman lalu mendesis dan mengejar saya!

Kasih Karunia yang Bertahan Lama

Pernahkah Anda mendengar tentang #slowfashion? Tagar tersebut menggambarkan sebuah gerakan yang gigih menolak fast fashion (harfiah: busana cepat), suatu industri busana yang didominasi oleh jenis-jenis pakaian yang dibuat dengan biaya murah dan dengan cepat dibuang. Dalam fast fashion, pakaian masuk ke pasar dan dalam waktu cepat sudah ketinggalan zaman. Sejumlah merek membuang banyak sekali produk mereka setiap tahunnya.

Aku Bukan Siapa-Siapa! Siapa Dirimu?

Dalam sebuah puisi yang dibuka dengan baris, “Aku bukan siapa-siapa! Siapa dirimu?” Emily Dickinson menyindir segala upaya yang dilakukan manusia untuk menjadi “seseorang” yang diakui dan dihargai. Sang pujangga justru menganjurkan kita untuk menikmati kebebasan penuh sukacita dengan menjalani hidup tanpa dikenali. “Alangkah menyedihkan – menjadi Seseorang! Di depan umum – seperti seekor Katak – / Namanya diserukan – di sepanjang bulan Juni / kepada seluruh Rawa yang terpesona!”