Penulis

Lihat Semua

Artikel oleh Monica La Rose

Kemurahan Hati yang Melimpah Ruah

Tak ada orang yang di ujung hidupnya pernah dengan bangga berkata demikian: “Aku senang sudah menjalani kehidupan yang mementingkan, melayani, dan melindungi diriku sendiri,” kata penulis Parker Palmer dalam pidatonya di suatu acara wisuda. Ia bermaksud mengajak para wisudawan dan wisudawati untuk “mempersembahkan diri [mereka] bagi dunia . . . dengan kemurahan hati yang melimpah ruah.”

Setiap Duka

“Kutimbang setiap Duka yang kujumpai,” tulis penyair abad ke-19 Emily Dickinson, “Dengan mata menyipit penuh selidik – / Apakah bobotnya serupa dengan Lukaku, ingin aku tahu – / Ataukah bebannya sedikit lebih Mudah.” Puisi tersebut merupakan perenungan yang mendalam tentang kecenderungan manusia untuk terus mengingat-ingat bagaimana mereka telah dilukai di sepanjang hidup mereka. Dickinson mengakhiri puisinya, hampir seperti bimbang, dengan satu-satunya pelipur lara yang ia dapatkan: “Penghiburan dari luka tusukan paku” saat memandang Kalvari, dan menemukan lukanya sendiri tecermin dalam luka Sang Juruselamat: “Masih tertegun saat menyadari / Ada Luka – yang tak berbeda dari lukaku sendiri –.”

Perlindungan Kita yang Aman

Seorang pensiunan guru, Debbie Stephens Browder, berusaha meyakinkan sebanyak mungkin orang untuk menanam pohon. Alasannya? Cuaca panas. Panas ekstrem di Amerika Serikat adalah penyebab kematian nomor satu yang terkait dengan cuaca. Untuk menanggapi hal itu, Debbie berkata, “Saya akan mulai dengan menanam pohon.” Naungan yang diperoleh dari rindangnya pepohonan adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi masyarakat. “Ini urusan nyawa, bukan sekadar untuk mempercantik lingkungan.”

Bukan Mimpi

Rasanya seperti sedang bermimpi tetapi Anda tidak bisa bangun dari mimpi itu. Mereka yang bergumul dengan apa yang terkadang disebut sebagai “derealisasi” atau “depersonalisasi” sering merasa bahwa tidak ada yang nyata di sekitar mereka. Orang-orang yang merasakan hal itu untuk waktu yang lama bisa didiagnosis mengidap gangguan serius. Meski demikian, perasaan itu diyakini merupakan masalah kesehatan mental yang umum terjadi, terutama dalam masa-masa sulit. Namun, kadang kala perasaan itu tetap muncul meski hidup tampak baik-baik saja. Seolah-olah pikiran kita tidak bisa percaya bahwa hal-hal baik sungguh terjadi.

Berlari demi Sesuatu yang Berarti

Rasanya tidak mungkin untuk tidak menangis saat membaca status teman saya, Ira. Status itu dibagikannya pada tahun 2022, hanya beberapa hari setelah ia terpaksa meninggalkan rumahnya di Kyiv, ibu kota Ukraina yang sedang terkepung. Dalam postingan itu, ia menampilkan foto lama dirinya mengangkat bendera Ukraina, setelah berhasil menyelesaikan perlombaan lari. Ira menulis, “Kita semua berlari dengan sebaik-baiknya dalam suatu maraton yang disebut kehidupan. Dalam saat-saat seperti ini, marilah kita melakukannya dengan lebih baik lagi. Melakukannya dengan sesuatu yang takkan pernah padam dalam hati kita.” Pada hari-hari berikutnya, saya menyaksikan Ira melanjutkan perlombaan hidupnya dengan berbagai cara, sembari terus membagikan kabar dan pokok doa tentang orang-orang sebangsanya yang masih menderita.

Awal yang Baru

“Kesadaran Kristen diawali dengan kesadaran yang pahit bahwa apa yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran, sebenarnya merupakan kebohongan,” tulis Eugene Peterson dalam perenungannya yang luar biasa mengenai Mazmur 120. Mazmur 120 adalah mazmur pertama dari rangkaian “nyanyian ziarah” (Mzm. 120–134) yang dinyanyikan para musafir dalam perjalanan ke Yerusalem. Seperti yang ditelusuri Peterson dalam buku A Long Obedience in the Same Direction, mazmur-mazmur tersebut juga memberikan kepada kita gambaran mengenai perjalanan rohani seseorang kepada Allah.

Maju Terus, Tetap Teguh!

Dalam sajak berjudul “Rest” (Istirahat), sang penyair dengan halus menegur kecenderungan kita memisahkan waktu “istirahat” dari waktu “bekerja”. Ia bertanya, “Bukankah sungguh-sungguh istirahat / Berarti bekerja sungguh-sungguh?” Jika kita ingin mengalami istirahat yang sesungguhnya, alih-alih menghindar dari tanggung jawab dalam hidup ini, sang pujangga mendorong kita: “Lakukan yang terbaik; gunakan, jangan sia-siakan,—/Selain itu bukanlah istirahat. / Maukah kaulihat keindahan / Dekat denganmu? Di sekitarmu? / Hanya dengan kerja / Kauperoleh semua itu.”

Kasih Karunia Allah yang Lembut

“Nyatakanlah seluruh kebenaran, tetapi lakukan dengan tidak langsung,” tulis penyair Emily Dickinson. Maksudnya, karena kebenaran dan kemuliaan Allah “terlalu menyilaukan” bagi manusia yang rapuh untuk dapat memahami atau menerimanya sekaligus, maka cara terbaik untuk menerima dan membagikan kasih karunia dan kebenaran Allah adalah dengan lemah lembut dan tidak langsung. Oleh karena itu, kata Dickinson, “Kebenaran harus bersinar perlahan-lahan / Supaya manusia tidak menjadi buta.”

Pertolongan Allah untuk Masa Depan

Menurut psikolog Meg Jay, kita cenderung memikirkan diri kita di masa depan seperti bagaimana kita memikirkan orang asing. Mengapa? Hal itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang kadang-kadang disebut sebagai “kesenjangan empati”. Sulit bagi kita untuk berempati dan peduli pada orang yang kita tidak kenal secara pribadi—bahkan diri sendiri versi masa depan. Karena itu, dalam pekerjaannya, Jay berusaha menolong orang-orang muda membayangkan diri mereka di masa depan dan mengambil langkah untuk peduli. Hal ini termasuk menyusun rencana bagi diri mereka di masa depan, supaya terbuka jalan bagi mereka untuk mengejar impian mereka dan terus berkembang.