Kasih dan Damai
Saya selalu takjub menyaksikan bagaimana damai—damai yang berkuasa dan melampai segala akal (Flp. 4:7)—dapat menguasai hati kita bahkan di tengah kedukaan yang mendalam. Baru-baru ini, saya mengalaminya dalam kebaktian penghiburan ayah saya. Ketika deretan kerabat mengungkapkan rasa dukacita mereka, saya merasa lega melihat seorang sahabat di SMA. Tanpa sepatah kata pun, ia memeluk saya dengan erat beberapa waktu lamanya. Bentuk perhatiannya yang tenang itu mengalirkan damai yang baru saya rasakan di tengah duka pada hari yang berat itu. Saya disadarkan bahwa saya tidak benar-benar sendirian.
Lagu di Malam Hari
Sepanjang hidupnya, ayah saya merasakan kekosongan. Ia mendambakan kesehatan, tetapi penyakit Parkinson secara perlahan melumpuhkan pikiran dan tubuhnya. Ia mendambakan kedamaian, tetapi tersiksa oleh depresi yang sangat menekan. Ia rindu dikasihi dan dihibur, tetapi sering merasa sendirian.
Hal Buruk dan Hal Indah
Rasa takut dapat membuat kita tak berdaya. Kita tahu segala hal yang bisa membuat kita takut—segala sesuatu yang menyakiti kita di masa lalu, yang sangat mudah melukai kita kembali. Jadi terkadang kita terperangkap—tak bisa mengulang kembali, tetapi terlalu takut untuk melangkah maju. Aku tak bisa melakukannya. Aku tak cukup pintar, tak cukup kuat, tak cukup berani untuk maju, karena aku khawatir akan disakiti seperti itu lagi.
Bagi Sahabat-Sahabat Kita
Dalam novel Wuthering Heights karya Emily Bronte, seorang tokoh pemarah yang sering mengutip ayat Alkitab untuk mengkritik orang lain digambarkan seperti “orang Farisi yang merasa paling benar, yang selalu menyelidiki Alkitab untuk mengumpulkan janji-janji di dalamnya bagi dirinya sendiri, tetapi melontarkan kutuk kepada orang-orang di sekitarnya.”
Pemulihan yang Besar
Saya sangat menyukai hujan lebat. Waktu masih kanak-kanak, manakala hujan lebat datang—dengan guntur yang menggelegar dan air yang turun menghunjam ke bumi—saya dan saudara-saudara saya langsung lari keluar rumah untuk bermain air dan meluncur di bawah guyuran hujan. Setelah beberapa saat lamanya, kami pun masuk kembali ke rumah dalam keadaan basah kuyup.
Menyadari Ketidaksempurnaan
Seorang dosen di kampus memberi saya nasihat yang bijak setelah melihat sifat perfeksionis membuat saya sering menunda-nunda. “Jangan biarkan kesempurnaan mematikan apa yang baik,” katanya. Ia menjelaskan bahwa usaha menampilkan sesuatu yang sempurna bisa menghalangi risiko-risiko yang sebenarnya diperlukan seseorang untuk bertumbuh. Dengan menerima kenyataan bahwa pekerjaan saya tidak akan pernah sempurna, saya justru memperoleh kebebasan untuk terus bertumbuh.
Berkat di Tengah Kekacauan
Kadang saya berpikir, ketika saya membuat kacau, saya sendiri yang harus membereskannya. Walaupun saya percaya bahwa Allah penuh kasih sayang, saya cenderung bersikap seolah-olah Dia hanya mau menolong pada saat keadaan saya baik-baik saja.
Bebas Mengikut
Pelatih lari lintas alam di SMA saya dahulu pernah menasihati saya sebelum lomba, “Jangan berusaha untuk memimpin. Mereka yang berada di depan biasanya akan cepat kelelahan.” Ia menyarankan agar saya berlari dekat dengan para pelari yang tercepat. Dengan membiarkan mereka mengatur kecepatan, saya dapat menjaga kekuatan mental dan fisik yang saya butuhkan untuk menyelesaikan perlombaan dengan baik.
Kebaikan Orang yang Tak Dikenal
Ketika baru lulus kuliah, keadaan mengharuskan saya untuk membatasi uang belanja saya tidak lebih dari 25 dolar seminggu. Suatu hari, saat sedang antre membayar, saya merasa bahwa total harga dari barang-barang yang saya ingin beli lebih besar daripada sisa uang yang saya kantongi. Oleh karena itu, saya berkata kepada kasir, “Tolong berhenti kalau total harganya sudah 20 dolar.” Ternyata saya dapat membeli semua barang yang saya pilih, kecuali sebungkus merica.